Liputan6.com, Jakarta - Bagi beberapa orang Indonesia, mungkin tidak asing bila mendengar celetukan yang mengasosiasikan memar dengan gigitan setan.
Hal tersebut menjadi sesuatu yang begitu sering didengar sejak dahulu kala. Memar muncul karena digigit, dicubit, atau dijilat setan.
Advertisement
Padahal, munculnya memar bisa jadi karena beberapa hal lho. Selain karena adanya benturan, memar juga menjadi salah satu gejala dari hemofilia.
Hemofilia adalah kelainan pembekuan darah bawaan atau genetik, yang menyebabkan pasiennya dapat mengalami pendarahan yang lebih lama dari yang seharusnya.
Bahkan, pada pasien hemofilia, memar bisa muncul meski tidak ada benturan yang terjadi pada tubuh. Gejalanya terbagi menjadi tiga yakni ringan, sedang, dan berat.
Dokter spesialis anak sekaligus anggota Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia, Dr dr Novie Amelia Chozie mengungkapkan bahwa gejala tersebut bergantung pada banyaknya kadar faktor pembekuan darah yang dimiliki oleh pasien hemofilia.
Pada individu tanpa hemofilia, terdapat setidaknya 13 faktor pembekuan darah. Namun, pada pasien hemofilia A, seseorang kekurangan delapan faktor di antaranya.
Sedangkan pada pasien hemofilia B, seseorang kekurangan sembilan faktor pembekuan darah dalam tubuhnya.
"Gejala yang sedang dan berat itu biasanya dia sering lebam-lebam, sering memar, biru-biru," ujar Novie dalam forum edukasi media Mengawal Masa Depan Hemofilia di Indonesia pada Selasa, 26 April 2022.
"Paling sering juga sendinya bengkak dan nyeri akibat adanya pendarahan di sendi atau otot walaupun tanpa adanya benturan ataupun trauma," Novie menambahkan.
Bisa sebabkan kerusakan sendi
Lebih lanjut, Novie menjelaskan bahwa sendi yang mengalami pendarahan pada pasien hemofilia juga bisa diikuti oleh pembengkakan, terasa nyeri, dan sulit untuk digerakan.
Bahkan, bila terjadi secara berulang, kondisi pendarahan tersebut bisa menyebabkan kerusakan pada sendi. Begitupun saat pasiennya sedang melakukan operasi atau tindakan kecil.
Pada individu tanpa hemofilia, pendarahan yang terjadi ketika operasi atau tindakan kecil seperti cabut gigi akan berlangsung dengan minim darah.
Namun berbeda pada pasien hemofilia. Novie memaparkan, pendarahan bisa begitu sulit untuk berhenti bila tidak adanya persiapan lebih dulu dengan faktor pembekuan.
"Demikian juga sunat, karena pasiennya ini laki-laki pada hemofilia ini seringkali kita dapat rujukan kasus pasien mengalami pendarahan setelah sunat. Setelah diperiksa, oh diketahui hemofilia," kata Novie.
Maka berkaitan dengan hal tersebut, pasien hemofilia harus ditangani dengan tepat dan cepat untuk menghindari adanya pendarahan terus-menerus dan kerusakan pada sendi.
"Kalau tidak diobati dengan baik, tidak ditatalaksana dengan baik, pada usia dekade kedua atau ketiga itu sudah mulai terjadi kerusakan sendi. Sehingga bisa terjadi kecacatan atau disabilitas," ujar Novie.
Advertisement
Bisa terjadi pada organ vital
Tak hanya dapat mempengaruhi sendi, hemofilia juga dapat menyebabkan pasiennya mengalami pengaruh pada ototnya.
"Bukan hanya pendarahan sendi, tapi pendarahan otot juga demikian. Bahkan kalau pendarahan otot itu bisa menjepit saraf atau pembuluh darah yang lewat didalamnya. Sehingga bisa terjadi perubahan bentuk dan gangguan fungsi," kata Novie.
Pendarahan pada hemofilia juga bisa terjadi pada organ mana saja, termasuk organ-organ yang mengancam jiwa. Seperti di otak, leher, atau saluran cerna yang berujung pada kematian.
Novie menjelaskan, pemeriksaan hemofilia bisa dilakukan dengan pemeriksaan darah untuk memeriksa faktor 8 dan 9.
Namun sayangnya, menurut Novie, laboratorium untuk pemeriksaan hemofilia di Indonesia masih terbatas untuk memeriksa faktor 8 dan 9.
"Untuk pemeriksaan ini masih relatif terbatas di Indonesia. Seperti misalnya untuk pemeriksaan faktor 8-9 itu hanya bisa dilakukan di rumah sakit rujukan dan provinsi yang lengkap," kata Novie.
Terlebih, rumah sakit tersebut pun tidak bisa untuk melakukan pemeriksaan rutin. Melainkan hanya sekitar satu bulan sekali.
Banyak terjadi pada laki-laki
Dalam kesempatan yang sama, Novie menuturkan bahwa hemofilia juga banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Hal ini lantaran hemofilia diturunkan melalui kromosom X, yang mana lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan.
Pada umumnya, pria hanya memiliki satu kromosom X dan satu kromosom Y. Sehingga apabila kromosom X ibu memiliki hemofilia, maka anak laki-laki yang dilahirkannya juga kemungkinan akan memiliki hemofilia.
Berbeda dengan wanita, yang memiliki dua kromosom X. Sehingga jika satu kromosom mengalami kelainan, masih ada kromosom X lainnya yang sehat.
"Pada kurang lebih 70-80 persen pasien itu mempunyai riwayat keluarga karena ini memang diturunkan secara genetik," kata Novie.
Tak hanya itu, pada individu tanpa hemofilia, ketika mengalami pendarahan, pembuluh darah akan secara otomatis mengerut untuk menghentikan pendarahan.
Pendarahan tersebut pun perlahan akan tertutup dengan trombosit yang saling berkumpul dan diperkuat oleh adanya pembekuan.
"Nah pada hemofilia, ini tidak bisa terjadi karena ada kekurangan salah satu dari faktornya tadi. Sehingga kalau ada pendarahan, prosesnya terhenti --- Pendarahannya akan terus terjadi tidak bisa dihentikan," ujar Novie.
Advertisement