Liputan6.com, Jakarta Hemofilia merupakan kondisi langka genetik atau bawaan yang membuat proses pembekuan darah mengalami gangguan dan tidak berjalan seperti pada umumnya.
Pasien hemofilia diketahui dapat mengalami pendarahan lebih lama dari yang seharusnya. Kondisi satu inipun ternyata lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita.
Advertisement
Dokter spesialis anak sekaligus anggota Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia, Dr dr Novie Amelia Chozie mengungkapkan bahwa hemofilia merupakan kondisi yang diturunkan melalui kromosom X.
Pada umumnya, pria hanya memiliki satu kromosom X dan satu kromosom Y. Sehingga apabila kromosom X ibu memiliki hemofilia, maka anak laki-laki yang dilahirkannya juga kemungkinan akan memiliki hemofilia.
Berbeda dengan wanita yang memiliki dua kromosom X. Jika satu kromosom memiliki hemofilia, maka masih ada kromosom X lainnya yang sehat dan dapat menutupi.
"Perempuan kromosom X-nya ada dua. Jadi kalau dia punya satu yang mengandung gen hemofilia, dia masih bisa tertutupi oleh X yang normal," ujar Novie dalam forum edukasi media Mengawal Masa Depan Hemofilia di Indonesia ditulis Kamis, (28/4/2022).
"Sehingga biasanya perempuan itu adalah sebagai pembawa sifat, yang mengalami hemofilia (kebanyakan) adalah laki-laki," tambahnya.
Hemofilia sendiri terbagi menjadi dua jenis yakni hemofilia A dan hemofilia B. Pada pasien hemofilia A, seseorang kekurangan delapan dari 13 faktor pembekuan darah, dan hemofilia B ketika seseorang kekurangan sembilan diantaranya.
"Dengan adanya kekurangan faktor pembekuan darah ini, penyandang hemofilia mudah mengalami pendarahan," kata Novie.
Dari memar hingga kerusakan sendi
Hemofilia terbagi menjadi tiga jenis gejala yakni ringan, sedang, dan berat. Ketiganya bergantung pada banyaknya kadar faktor pembekuan yang dimiliki oleh pasien hemofilia.
"Gejala yang sedang dan berat itu biasanya dia sering lebam-lebam, sering memar, biru-biru. Paling sering juga sendinya bengkak dan nyeri akibat adanya pendarahan di sendi atau otot walaupun tanpa adanya benturan ataupun trauma," kata Novie.
Sendi yang mengalami pendarahan tersebut akan bengkak, terasa nyeri, sulit untuk digerakan. Bila terjadi berulang, kondisi tersebut pun bisa menyebabkan kerusakan pada sendi.
Begitupun saat pasiennya sedang melakukan operasi atau tindakan kecil, pendarahan bisa begitu sulit untuk berhenti.
Pada individu tanpa hemofilia, pendarahan yang terjadi ketika operasi atau tindakan kecil seperti cabut gigi akan berlangsung dengan minim darah.
Namun berbeda pada pasien hemofilia. Novie memaparkan, pendarahan bisa begitu sulit untuk berhenti bila tidak adanya persiapan lebih dulu dengan faktor pembekuan.
Advertisement
Menjepit saraf atau pembuluh darah
Tak hanya dapat mempengaruhi sendi, hemofilia juga dapat menyebabkan pasiennya mengalami pengaruh pada ototnya.
"Bukan hanya pendarahan sendi, tapi pendarahan otot juga demikian. Bahkan kalau pendarahan otot itu bisa menjepit saraf atau pembuluh darah yang lewat didalamnya. Sehingga bisa terjadi perubahan bentuk dan gangguan fungsi," kata Novie.
Pendarahan pada hemofilia juga bisa terjadi pada organ mana saja, termasuk organ-organ yang mengancam jiwa. Seperti di otak, leher, atau saluran cerna yang berujung pada kematian.
Maka berkaitan dengan hal tersebut, pasien hemofilia harus ditangani dengan tepat dan cepat untuk menghindari adanya pendarahan terus-menerus dan kerusakan pada sendi.
"Kalau tidak diobati dengan baik, tidak ditatalaksana dengan baik, pada usia dekade kedua atau ketiga itu sudah mulai terjadi kerusakan sendi. Sehingga bisa terjadi kecacatan atau disabilitas," ujar Novie.
Namun sayangnya, pemeriksaan hemofilia di Indonesia masih terbatas. Terutama untuk memeriksakan darah untuk mencari tahu terkait faktor delapan dan sembilan pasien.
Pemeriksaan terbatas
Menurut Novie, laboratorium untuk pemeriksaan hemofilia di Indonesia masih terbatas untuk memeriksa faktor delapan dan sembilan.
"Untuk pemeriksaan ini masih relatif terbatas di Indonesia. Seperti misalnya untuk pemeriksaan faktor 8-9 itu hanya bisa dilakukan di rumah sakit rujukan dan provinsi yang lengkap," kata Novie.
Terlebih, rumah sakit tersebut pun tidak bisa untuk melakukan pemeriksaan rutin. Melainkan hanya sekitar satu bulan sekali.
Lebih lanjut Novie menjelaskan, upaya yang dilakukan untuk dapat mencegah hemofilia adalah dengan terapi gen atau gene therapy.
"Sampai sekarang orang masih berupaya bagaimana bisa melakukan apa yang disebut dengan terapi gen. Ini masih dalam pengembangan," ujar Novie.
"Walaupun hasilnya cukup menggembirakan, tetapi kita masih menunggu apakah ini sudah bisa dilakukan sebagai pelayanan rutin atau belum, dan juga biayanya memang sangat mahal," tambahnya.
Terlebih, cara mendeteksi hemofilia sejak dalam kandungan juga terbilang beresiko karena pemeriksaan harus dilakukan dengan menggunakan cairan ketuban atau biopsi plasenta.
Advertisement