"Saya dipaksa untuk bertanggung jawab terhadap perbuatan anak buah saya. Tapi sebagai pemimpin saya harus siap bertanggung jawab."
Liputan6.com, Jakarta - Bantahan tersebut disampaikan Bupati Bogor Ade Yasin setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana suap terhadap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jawa Barat. Dia mengaku dipaksa bertanggung jawab atas perbuatan anak buahnya di Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bogor.
Pengakuan itu disampaikan Ade Yasin sesaat sebelum diseret ke dalam mobil tahanan yang telah terparkir di halaman Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (28/4/2022) dini hari.
Baca Juga
Advertisement
Pemilik nama lengkap Ade Munawaroh Yasin itu mengaku tidak mengetahui adanya transaksi tersebut. Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini juga menegaskan, bahwa dirinya tidak terlibat dan tidak pernah memerintahkan anak buahnya melakukan penyuapan.
"Itu ada inisiatif dari mereka. Jadi ini namanya IMB ya, Inisiatif Membawa Bencana," kata Ade Yasin kepada wartawan yang menunggunya di depan Gedung KPK.
Terkait hal ini, KPK menegaskan bahwa penetapan tersangka terhadap Ade Yasin telah dilakukan berdasarkan bukti-bukti yang kuat. Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri menyatakan bahwa bantahan yang disampaikan Ade Yasin merupakan hal yang lumrah.
"Bantahan tersangka hal lumrah dan umum disampaikan. Itu hak yang bersangkutan. KPK dalam menaikkan proses penyidikan dugaan tindak pidana korupsi perkara ini, tentu sudah mengantongi berbagai bukti yang kuat dan cukup menurut ketentuan hukum," kata Ali dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Kamis sore.
Namun dia mengingatkan pihak-pihak yang dipanggil KPK dalam penanganan perkara hukum agar bersikap koperatif. Sebab ada hukuman yang dapat diterapkan bagi pihak-pihak yang merintangi proses penyidikan kasus korupsi.
"Kami berharap kepada para tersangka dan pihak-pihak yang nantinya dipanggil KPK agar kooperatif menerangkan apa adanya di hadapan Tim Penyidik," ucap Ali Fikri.
Pengamat politik, Jamaluddin Ritongan menilai bahwa penangkapan terhadap Bupati Bogor Ade Yasin ini menunjukkan bahwa OTT KPK belum memberi efek jera bagi para koruptor.
"OTT kali ini menambah deretan kepala daerah ditangkap KPK. OTT KPK tampaknya tidak membuat efek jera bagi kepala daerah," kata Jamaluddin saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (27/4/2022).
Jamaluddin menilai, masih banyaknya pejabat yang terjerat korupsi dipengaruhi tiga faktor, pertama vonis hukuman yang dijatuhkan kepada koruptor terlalu rendah. Banyak kepala daerah yang terjerat kasus korupsi hanya divonis hukuman di bawah 5 tahun penjara.
"Vonis tersebut juga tidak diikuti upaya pemiskinan bagi si koruptor. Hal itu, tentunya tidak membuat jera para koruptor," ujar dia.
Faktor kedua, masyarakat dapat menerima koruptor setelah selesai menjalani hukuman. Bahkan ada kesan masyarakat menyambut koruptor dengan suka cita.
"Hal itu tentunya membuat koruptor tidak merasa diasingkan oleh masyarakat. Akibatnya, sang koruptor merasa tetap nyaman setelah berbaur kembali dengan masyarakat," katanya.
Faktor terakhir yakni besarnya biaya politik untuk menjadi kepala daerah. Ini menjadi faktor fundamental yang paling berpotensi memicu pejabat berperilaku koruptif, karena modal yang besar tidak mungkin bisa dikembalikan hanya dari gaji dan tunjangannya selama lima tahun menjabat.
"Akibatnya, kepala daerah akan menutupi biaya politik itu dengan cara tidak halal. Mereka mencari sumber keuangan yang dapat menutupi cost politik tersebut. Akibatnya, korupsi jalan yang paling cepat untuk menutupi semua cost politik," ucap Jamaluddin.
"Selama tiga hal itu masih berlaku, maka kepala daerah akan tetap ada yang terkena OTT oleh KPK,” ujarnya menambahkan.
Selain itu, kasus Bupati Bogor ini juga membuktikan bagaimana politik dinasti sangat merugikan masyarakat. Ade Yasin diketahui merupakan adik kandung Bupati Bogor periode 2008-2013 dan 2013-2014, Rachmat Yasin. Bupati Bogor dua periode itu juga dua kali ditangkap KPK.
“Politik dinasti memang membutakan masyarakat untuk memilih pemimpinnya. Masyarakat dininabobokan sehingga tidak menjadi kritis memilih pemimpinnya. Akibatnya, terpilihnya seseorang menjadi kepala daerah bukan karena prestasi, tapi lebih dominan karena kekuatan finansial,” ucap Jamaluddin.
“Akibatnya semakin besar finansial dikeluarkan untuk menjadi kepala daerah. Hal ini kiranya akan menambah subur praktik korupsi,” katanya memungkasi.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti bahwa kasus jual beli predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dalam laporan keuangan yang melibatkan internal BPK telah berulang kali terjadi. ICW menilai bahwa instrumen pengawasan internal BPK gagal menjalankan fungsinya.
"Ini menunjukkan BPK tidak pernah serius membenahi instansinya. Padahal BPK adalah salah satu lembaga yang mestinya menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi," ujar Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Egi Primayogha dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Kamis.
ICW pun menegaskan bahwa predikat WTP dari BPK tidak menjamin institusi yang menerimanya bebas dari korupsi. Musababnya, penekanan yang diberikan BPK adalah kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku, ataupun laporan keuangan yang sudah sesuai dengan Standar Pelaporan Keuangan Negara.
"Kasus-kasus korupsi bahkan kerap terjadi di daerah yang mendapat predikat WTP. Jual beli predikat itu condong dilakukan untuk menjaga gengsi atau membohongi publik, bahwa institusi yang dipimpinnya bersih dari korupsi. Padahal belum tentu demikian. Jangan sampai publik keliru memahami itu," tutur Egi.
Korupsi kepala daerah yang terjadi berulangkali juga harus menjadi fokus partai politik (parpol) untuk membenahi diri. ICW menilai, terus berulangnya kepala daerah terjerat korupsi menunjukkan bahwa parpol gagal dalam melakukan fungsi rekrutmen politik dan kaderisasi anggota.
"Korupsi kepala daerah tidak terlepas dari pemilihan umum yang berbiaya tinggi. Ini membuat kepala daerah terdorong melakukan praktik koruptif agar bisa digunakan untuk memberi mahar pada parpol, jual beli suara, kampanye dalam Pilkada ataupun balas jasa ketika ia terpilih," katanya.
ICW juga menyoroti praktik politik dinasti di Kabupaten Bogor. Egi mengingatkan bahwa natur dari politik dinasti adalah untuk berkuasa dan melayani diri sendiri.
"Sehingga orientasi untuk kepentingan publik dipinggirkan. Dampaknya praktik-praktik koruptif akan marak terjadi," ucap Egi menandaskan.
Balada Politik Dinasti Yasin
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Yenti Garnasih menilai bahwa perkara suap yang menjerat Bupati Bogor Ade Yasin menjadi kasus dinasti politik terburuk di Indonesia. Ade Yasin ditangkap menyusul kakaknya, Rachmat Yasin yang sudah dua kali dicokok KPK terkait penyelewengan kekuasaan di daerah yang sama, Kabupaten Bogor.
"Sejak awal kan saya yang paling anti-dinasti politik. Saya khwatir terjadi seperti ini, tapi dianulir oleh MK (Mahkamah Konstitusi) dengan alasan HAM, karena semua berhak (dipilih). Tapi kepatututan tidak pernah dipikirkan di Indonesia," ujar Yenti saat berbincang dengan Liputan6.com melalui sambungan telepon, Kamis.
Dia mengingatkan bahwa aturan yang berlaku di Indonesia sebenarnya tidak hanya hukum tertulis, tetapi juga hukum-hukum yang dikaitkan dalam kondisi kehidupan sosial masyarakat. "Jangan kita samakan seperti di Amerika, ada klan Kennedy, klan Hillary, kita belum siap seperti itu. Akhirnya yang terjadi penyalahgunaan, mumpung ada kesempatan ya jadi mumpung-mumpung".
Ketua Pansel Capim KPK 2019-2023 ini getol menentang politik dinasti karena khawatir terjadi penyelewengan kekuasaan jika ada kepala daerah yang memiliki kaitan keluarga dengan kepala daerah lainnya, misalnya gubernur dengan bupati di satu wilayah atau bupati dengan bupati di wilayah lain.
"Kalau yang ini sangat keterlaluan, satu kabupaten yang sama, bupati yang lama kakaknya sedang dipenjara karena korupsi lalu adiknya naik," ucap Yenti.
Bahkan dia mendengar kabar bahwa adik kandung Ade Yasin juga tengah disiapkan menggantikan dirinya menjadi Bupati Bogor karena masa jabatannya akan berakhir pada 2022 ini.
"Kalau benar ada adiknya AY disiapkan menggantikan dirinya, partai tempatnya bernaung harus bijak membatalkan dinastinya. Jadi insiden ini betul-betul menampar kita bagaimana pemidanaan terhadap koruptor selama ini tidak mencegah dan tidak (memberi) efek jera," ujar Pakar Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) tersebut.
Menurut dia, ada andil besar elite parpol untuk meruntuhkan politik dinasti di suatu daerah, sekaligus mencegah potensi lahirnya kepala daerah yang koruptif. Ketum parpol tidak boleh mencalonkan kader yang keluarganya memiliki rekam jejak korupsi.
"Lalu solusinya juga edukasi. Edukasi ke masyarakat jangan pilih mereka yang berdinasti karena rawan akan terjadi rasuah," kata Yenti Garnasih.
Lebih lanjut, Yenti mengaku sangat kecewa terhadap BPK yang seharusnya berfungsi sebagai kontrol pemerintahan, tapi justru masih bisa disuap.
"Untuk apa punya badan audit negara seperti BPK kalau bisa disuap? Kalau begini bukan check and balances, tapi di-balances-kan saja. BPK harus sadar dia mengemban amanah rakyat untuk mengawasi. Apakah kita harus sewa auditor asing atau dari swasta karena kita tidak percaya lagi audit pemerintah?" ujarnya.
Selain itu, Ketua Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (Mahupiki) ini juga tidak setuju dengan penempatan napi koruptor di dalam satu lembaga pemasyarakatan, seperti di Lapas Sukamiskin.
Sebab, kata dia, kondisi itu justru akan menciptakan faktor kriminogen atau faktor yang membuat orang menjadi kriminal dari satu kesamaan hukuman.
"Mereka pelaku rasuah seharusnya ditempatkan sendiri-sendiri, yang berat-berat ditaruh saja di Pulau Buru sana, karena koruptor-koruptor yang punya power dulunya malah jadi berkumpul maka ada istilah power tends to corrupt dan akhirnya tidak ada efek jera kepada meraka usai dibui," ucap Yenti menandaskan.
Advertisement
Bongkar Motif Besar di Balik Suap WTP
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) Zainur Rahman menyayangkan opini WTP dari BPK masih bisa dibeli dengan sejumlah uang. Kasus suap Bupati Bogor ini menjadi catatan tersendiri bagi BPK untuk melakukan perbaikan internal secara mendasar.
"Tidak sekedar dalam bentuk jargon-jargon tetapi yang paling penting yaitu perbaikan kultur di BPK, agar BPK menjadi lembaga negara yang independen, mandiri, yang tidak mudah dibeli dengan sejumlah uang," ujar Zainur saat dihubungi Liputan6.com, Kamis.
Masih banyaknya pegawai atau pejabat BPK yang terjerat kasus hukum berupa penerimaan suap dan gratifikasi menunjukkan bahwa ada kultur buruk yang belum hilang di internal lembaga audit tersebut.
"Tentu untuk menghilangkan kultur itu harus ada upaya pengawasan bagaiman pengawasan internal BPK yang dapat menjamin para auditornya itu tidak bermain mata dengan auditee, tidak mudah menerima iming-iming apalagi sampai dalam bentuk pemberian," katanya.
Yang membuat miris, kata Zainur, auditor yang ditangkap KPK ini banyak yang masih berusia muda. "Artinya kalau tidak ada perbaikan mendasar, ya kita ke depan masih melihat lagi kemungkinan auditor dari BPK tersangkut kasus suap dari para penyelenggara negara."
Namun di balik kasus suap predikat WTP ini, menurut Pukat UGM, ada motif besar yang menjadi pekerjaan rumah (PR) KPK untuk segera diungkap ke publik. Apalagi nilai suap yang diberikan hanya untuk status WTP tidak sedikit, mencapai Rp 1,9 miliar.
"Saya ragu itu (suap) hanya untuk sekedar citra yang baik (memperoleh WTP). Ini harus didalami oleh KPK kenapa harus ada pemberian suap. Yang harus didalami oleh KPK adalah apa yang ingin ditutupi sampai harus memberikan suap atau gratifikasi itu," ucap Zainur.
Menurut dia, proyek Jalan Pakansari, Bogor harus diteliti secara mendalam oleh KPK apakah ada dugaan pelanggaran hukum di dalamnya atau tidak. Jika KPK bisa menemukan alat bukti tindak pidana terkait pembangunan Jalan Pakansari, maka harus segera dibuka dengan penyidikan perkara baru.
"Catatan saya lainnya adalah ini suap nilainya relatif besar Rp 1,9 M, ini kan auditor level jabatan muda. KPK harus mendalami dari mana para penyuap pejabat di Bogor itu memperoleh uang Rp 1,9 M. Apakah uang pribadi? Sepertinya tidak mungkin," kata Zainur.
Dalam praktik korupsi, uang yang digunakan untuk menyuap oleh pejabat negara biasanya berasal dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan, misal dari penyedia barang dan jasa, atau dari pihak yang berusaha mengurus perizinan, tapi juga mungkin dari kas lembaga atau instansi pemerintah.
"Nah itu harus dibuka seterang-terangnya. Ini bisa jadi pengumpulan uang Rp 1,9 M itu juga dari hasil korupsinya, sehingga ini bisa jadi kasus korupsi baru," tutur dia.
Lebih lanjut, Pukat UGM juga menyoroti pernyataan Ade Yasin yang membantah keterlibatan dirinya dalam kasus suap ini. Bahkan dia cenderung menyalahkan anak buahnya yang seolah-olah menyeret dirinya dalam lingkaran setan.
"Menurut saya itu bukan sikap pemimpin yang bertanggung jawab ya. Seharusnya pemimpin itu bisa menolak dengan tegas inisiatif dari anak buahnya yang bermaksud melakukan tindak pidana bukan dengan menyetujuinya, mendukungnya, itu artinya masih bersifat korup, karena tanggung jawab terakhir ada di bupati."
Menurut dia, seorang bupati seharusnya sejak awal menolak inisiatif buruk dari anak buahnya. Bahkan anak buah tersebut harus diberi sanksi tegas, bukan justru didukung.
"Tidak bisa menyalakan anak buah. Anak buah punya inisiatif seperti itu karena berarti anak buahnya menganggap pemimpinnya itu punya kecenderungan untuk melakukan hal-hal yang melanggar hukum, sehingga ada inisiatif untuk melakukan suap itu," demikian kata Zainur Rahman.
Tambah Daftar Panjang Kepala Daerah Ditangkap KPK
Sebelumnya, KPK telah menetapkan Ade Yasin bersama tiga anak buahnya yakni Sekretaris Dinas PUPR Kabupaten Bogor Maulana Adam (MA), Kasubid Kas Daerah BPKAD Kabupaten Bogor Ihsan Ayatullah (IA), dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dinas PUPR Kabupaten Bogor Rizki Taufik (RT). Mereka dijerat sebagai pihak pemberi suap.
Sementara tersangka penerima suap adalah Kasub Auditorat Jabar III BPK Jabar Anthon Merdiansyah (ATM), Ketua Tim Audit Interim BPK Kabupaten Bogor Arko Mulawan (AM), serta dua pemeriksa BPK Jabar Hendra Nur Rahmatullah (HNRK) dan Gerri Ginajar Trie Rahmatullah (GGTR).
Ade Yasin dan tiga tersangka pemberi suap disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sementara pihak penerima disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau b atau Pasal 11 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Penangkapan Ade Yasin ini menambah daftar panjang kepala daerah yang terjaring OTT KPK. Sebelum Ade, pada tahun ini KPK tercatat telah menjaring tiga kepala daerah dalam operasi senyap tersebut.
Pada Rabu 5 Januari 2022, KPK menangkap Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi. Seminggu setelahnya, giliran Bupati Penajam Paser Utara (PPU) Abdul Gafur Mas'ud yang dijaring KPK.
Selanjutnya, tim KPK kembali bergerak dan berhasil menangkap Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin pada Selasa 18 Januari.
Tahun lalu, beberapa kepala daerah juga terkena OTT KPK. Mulai dari Bupati Musi Banyuasin Dodi Reza Alex Noerdin, Bupati Kolaka Timur Andi Merya Nur, Bupati Banjarnegara Budhi Sarwono, Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari, Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat, dan Gubernur Sulawesi Selatan Nurdin Abdullah.
Ketua KPK, Firli Bahuri mengungkapkan, pemberian suap dilakukan agar Kabupaten Bogor menerima predikat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari BPK. Hal itu disampaikan Firli dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (28/4/2022) dini hari.
Firli menyebut, awalnya tim pemeriksa dari BPK Jabar ditugaskan sepenuhnya mengaudit berbagai pelaksanaan proyek pada Dinas PUPR Kabupaten Bogor.
Tim pemeriksa tersebut yakni Kasub Auditorat Jabar III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jabar Anthon Merdiansyah, Ketua Tim Audit Interim BPK Kabupaten Bogor Arko Mulawan, dan para pemeriksa BPK Jabar Hendra Nur Rahmatullah, Gerri Ginajar Trie Rahmatullah, dan Winda Rizmayani.
Firli mengatakan, atas keinginan Ade Yasin agar Kabupaten Bogor menerima opini WTP itu, pada sekitar Januari 2022, diduga ada kesepakatan pemberian sejumlah uang antara Hendra Nur dengan Kasubid Kas Daerah BPKAD Kabupaten Bogor Ihsan Ayatullah dan Sekretaris Dinas PUPR Kabupaten Bogor Maulana Adam dengan tujuan mengondisikan susunan tim audit interim (pendahuluan).
Sebagai realisasi kesepakatan, Ihsan dan Maulana diduga memberikan uang sekitar Rp 100 juta dalam bentuk tunai kepada Kasub Auditorat Jabar III BPK Jabar Anthon Merdiansyah di salah satu tempat di Bandung.
Anthon kemudian mengondisikan susunan tim sesuai dengan permintaan Ihsan di mana nantinya obyek audit hanya untuk SKPD tertentu. Kemudian audit dilaksanakan mulai Februari 2022 hingga April 2022.
Adapun temuan fakta tim audit di Dinas PUPR, salah satunya pekerjaan proyek peningkatan jalan Kandang Roda - Pakan Sari dengan nilai proyek Rp 94,6 miliar yang pelaksanaannya diduga tidak sesuai kontrak.
"Selama proses audit, diduga ada beberapa kali pemberian uang kembali oleh AY (Ade) melalui IA (Ihsan) dan MA (Maulana) kepada tim pemeriksa di antaranya dalam bentuk uang mingguan dengan besaran minimal Rp 10 juta hingga total selama pemeriksaan telah diberikan sekitar sejumlah Rp 1,9 miliar," kata Firli.
Kini Ade Yasin telah ditahan di Tumah Tahanan (Rutan) Polda Metro Jaya untuk 20 hari pertama terhitung sejak 27 April-16 Mei 2022. Dalam operasi ini, KPK juga menyita uang senilai Rp 1,024 miliar dalam bentuk tunai dan tabungan.
Advertisement