Liputan6.com, Jakarta - Polisi di Maroko telah menangkap beberapa orang di sebuah kafe di kota besar Casablanca karena dicurigai tidak menjalankan puasa Ramadhan, yang dihukum oleh hukum Maroko, media lokal melaporkan.
"Pelanggan dan karyawan kafe, yang terletak di pusat Casablanca, ditangkap di tengah pertemuan besar warga," situs berita Hespress melaporkan tanpa menyebutkan jumlah orang yang ditangkap pada hari Rabu.
Advertisement
Dilansir dari laman Africa News, Jumat (29/4/2022), Televisi web Chouf TV menyiarkan video yang memperlihatkan petugas polisi memimpin anak perempuan dan laki-laki, satu per satu, dari kafe ke mobil van polisi.
Di kerumunan yang berkumpul di sekitar tempat kejadian, "sebagian besar menyambut intervensi polisi untuk menghormati keyakinan orang Maroko, sementara yang lain mencelanya," lapor Hespress.
Selama bulan suci Ramadhan, salah satu dari lima rukun Islam, orang-orang beriman diminta untuk menahan diri dari minum, makan, dan menahan nafsu dari fajar hingga matahari terbenam.
Di Maroko, di mana Islam menjadi hukum utama, Pasal 222 KUHP menetapkan bahwa berbuka di depan umum dapat dihukum hingga enam bulan penjara.
Kasus penangkapan karena berbuka puasa telah menjadi berita utama dalam beberapa tahun terakhir, banyak yang kecewa dengan segelintir aktivis yang membela hak untuk tidak berpuasa.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Puasa Pengaruhi Kesehatan Jiwa
Menjalankan puasa di bulan Ramadhan rupanya memiliki korelasi dengan kesehatan jiwa.
Seperti halnya aspek psikologis berefek pada fisiologis manusia. Saat seseorang dilanda stres, daya tahan tubuh seketika drop atau kulit berubah menjadi kusam.
Dokter spesialis kesehatan jiwa di RSJ Soeharto Heerjan, Jakarta, dr Agung Frijanto SpKJ M H mengatakan bahwa Ramadhan juga disebut sebagai syahrut tarbiyah atau bulan pendidikan. Yang mengharuskan setiap individu untuk mampu menjalankan sarana-sarana tarbiyah selama menjalani proses pembentukan ruhiyah maknawiyah.
Dari segi neurosains, lanjut Agung, dalam konsep pendidikan tarbiyah disebut bahwa sel otak bisa berubah sifat dan fungsinya sesuai dengan paparan yang diterima secara berulang dan terus menerus.
Bila paparan bersifat positif, akan terbentuk sirkuit positif. Bila yang terjadi sebaliknya, sirkuit negatif yang akan dia terima.
"Karena memori iulah yang menjadi dasar perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Artinya, bila memori yang terkandung berisi negatif akan terbentuk perilaku yang negatif pula, pun sebaliknya," kata Agung dalam sebuah webinar Ramadhan Mubarak Seri 4 belum lama ini.
Advertisement
Beri Stimulus pada Otak
Dijelaskan Agung bahwa puasa pada bulan Ramadhan melatih seseorang untuk mengaktifkan otak dengan cara memberi stimulus kepada otak agar berperilaku sesuai fitrah manusia.
Infak sedekah dan amal sosial lainnya bukan hanya dilipatgandakan pahalanya, tapi juga bermanfaat bagi kesehatan orang yang mengerjakannya.
"Begitu juga larangan berbuat tidak baik (fashsya mungkar), terdapat faedah luar biasa," katanya.
Lebih lanjut Agung, mengatakan, ada sebuah riset yang mengaitkan tentang sedekah dan kebahagiaan.
Ketika dibandingkan pada subjek diberi dan memberi uang, hasil MRI pada orang yang bersedekah didapatkan area otak yang menjadi pusat senang dan bahagia (Nukleus Accumbens) mengalami ekskalasi listrik dan didapat neurotransmitter dopamin dan serotonin --- zat kimia otak yang menyebabkan rasa bahagia.
Merujuk pada UU Kesehatan Jiwa No.18/2014, Agung, mengatakan, secara eksplisit bahwa kondisi sehat jiwa adalah sehat dan berkembang secara fisik, mental, dan spiritual.
"Masalah kesehatan jiwa dari tahun-ketahun semakin bertambah, atau bisa kita sebut sebagai disablity-adjusted life years. Dan, beberapa jenis penyakit Kejiwaan ini terus berkembang," katanya.
Masalah Depresi
Sebagai contoh adalah depresi yang diprediksi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akan menjadi masalah utama dalam beberapa tahun ke depan.
Apalagi situasi pandemi COVID-19 di dua tahun belakangan menjadi stressor dan memengaruhi kesehatan jiwa masyarakat.
Agung, melanjutkan, Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia juga melakukan penelitian terkait pandemi selama dua tahun belakangan yang dihubungkan dengan kesehatan jiwa.
"Kami melakukan swa-periksa terhadap kurang lebih 15.000 responden sekitar 76 persen perempuan dan 24 persen laki-laki dengan sebaran terbesar di pulau Jawa dan tergolong usia produktif," kata Agung.
"Dari hasil tersebut yang didapatkan adalah bahwa hampir sekitar 80 persen terdapat masalah kesehatan jiwa, cemas, depresi, dan bahkan ada ide-ide bunuh diri. Hal ini membuktikan masalah kesehatan jiwa utamanya di pandemi COVID-19 semakin penting untuk diperhatikan," ujarnya.
Advertisement