OPINI: Parodi Tri Suaka dan Zinidin Zidan yang Berbuah Tragedi (Bagian 1)

Mengapa parodi yang dilakukan Tri Suaka dan Zinidin Zidan berbuah kisruh dan tragedi? Ini adalah bagian pertama dari dua keping tulisan.

oleh Liputan6.com diperbarui 29 Apr 2022, 19:30 WIB
Mengapa parodi yang dilakukan Tri Suaka dan Zinidin Zidan berbuah kisruh dan tragedi? Ini adalah tulisan pertama dari dua keping tulisan. (YouTube Musisi Jogja Project)

Liputan6.com, Jakarta Oleh: Akmal Nasery Basral, Sosiolog dan Penerima penghargaan National Writer’s Award 2021 dari Perkumpulan Penulis Nasional Satupena.

Bumi kita satu tetapi dunia kita banyak.  Sementara tentara Israel kembali menggeruduk jamaah Masjid Al Aqsha, perang Rusia-Ukraina juga kian mengoyak-koyak. Di belahan bumi lain, satu partai mahasiswa yang baru berdiri membuat publik menduga-duga dari mana sumber dana operasional yang pastilah tak murah. Ada lagi kisah dua musisi bernama Tri Suaka dan Zinidin Zidan yang sepekan belakangan penuh drama sumpah serapah.

“Realitas adalah sebuah konstruksi sosial,” ujar Sosiolog Peter Berger satu ketika berdekade-dekade lalu. Realitas tak pernah bersifat independen selain tergantung pada tafsir kolektif mayoritas.

Makna yang mereka berikan terhadap satu peristiwa bisa menaklukkan motif awal yang dilakukan individual. Tafsir kolektif mayoritas itulah yang menjadi ‘dunia’ yang kita jalani, meski sebagai individu tetap bisa bereaksi dengan menciptakan ‘dunia sendiri’ yang ansos (antisosial) yang tak tunduk pada kehendak publik.

Inilah yang belum dipahami Tri dan Zidan, dua penyanyi yang terempas telak melalui sebuah video dagelan, salang satunya terhadap Andika Mahesa, vokalis Kangen Band. Tri, 27 tahun, berasal dari Baturaja, Sumatra Selatan, sedangkan Zidan, 23 tahun, dari Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.

Garis nasib mempertemukan keduanya di Yogyakarta setelah jatuh bangun merintis karier masing-masing. Mereka lalu memutuskan bersekutu membawakan lagu-lagu cover version dari repertoar grup dan penyanyi lain yang lebih beken.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Awal Mula Prahara

Potret Penyanyi Tri Suaka yang Viral. (Sumber: Instagram/xdjtrisuaka)

Arkian di bulan Desember 2021, keduanya membuat acara live TikTok. Sebuah jumpa fans. Follower mereka lumayan sudah jutaan. Bahkan video cover lagu “Buih Menjadi Permadani” (aslinya dari grup Malaysia Exists, 1997) sudah ditonton 124 juta kali dalam enam bulan sejak diunggah Oktober silam (dibawakan Zidan ft. Nabila Maharani, perempuan penyanyi yang menjadi vokalis ketiga dalam formasi mereka). 

Nah, saat live itu ada permintaan fans agar mereka—tanpa Nabila—membawakan beberapa lagu penyanyi lain. Tri dan Zidan memilih lagu Kangen Band, Armada, Agnez Mo, Iwan Fals, Ebiet G. Ade, dan Rhoma Irama. Sebagai spesialis pembawa lagu-lagu cover version mereka punya keahlian menekuk-nekuk vokal dan mimik wajah mendekati ekspresi penyanyi aslinya. Namanya juga impersonasi dengan mereka sebagai impersonator.

Sampai di sini tak ada masalah. Toh begitu banyak impersonator di dunia hiburan baik parodi atau nonparodi. Salah satu yang paling sohor adalah Alfred Matthew ‘Weird Al’ Yankovic, yang banyak memparodikan lagu penyanyi dunia dan, uniknya, lagu-lagu versi Weird Al malah bisa tembus tangga lagu Billboard atau bahkan diputar di kanal musik MTV meski aransemen lagunya plek ketiplek sama dengan lagu asli, hanya mengubah kata dan judul lagu.


Parodi Artis Ternama

Zinidin Zidan. (Foto: Dok. Instagram @zin_zidan111)

Balik pada acara Tri dan Zidan, sepanjang lagu dibawakan—Tri menggenjreng gitar duduk bersila di depan kamera sembari menyanyi, dan Zidan di belakang juga menimpali dengan vokalnya—keduanya berulang kali terkikik geli. Kadang-kadang sembari memeyot-meyotkan mulut mereka secara atraktif atau membekap mulut sendiri untuk menahan ledakan tawa. Terutama dilakukan Zidan yang (tampaknya) gampang terpingkal-pingkal.

Menutup mulut saat tertawa—pada sebagian besar situasi sosial—adalah selaras dengan tata krama Timur warisan leluhur. Tetapi kali ini  berbeda menurut tafsir mayoritas warganet yang menonton video itu—yang entah mengapa—baru viral sejak 21 April pekan lalu.

Tak cuma itu. Sejak kemarin muncul kerat video selanjutnya dimana mereka melakukan parodi terhadap Iwan Fals (dilakukan Tri) dan Ebiet G. Ade serta Rhoma Irama (oleh Zidan). Dari segi vokal, kemiripan yang tercipta lumayan mengagumkan. Membuktikan Tri dan Zidan memang punya bakat impersonator.


Reaksi yang Sang Target Parodi

Potret Penyanyi Tri Suaka yang Viral. (Sumber: Instagram/xdjtrisuaka)

Masalahnya, lagi-lagi, ya soal cengangas-cengenges sepanjang lagu yang dilihat netizen sebagai ledekan terhadap tiga ikon musisi tanah air yang sudah sampai tahap legenda hidup di genre masing-masing. Maka muncul imbauan baru dari sebagian netizen yang kalap agar “kawal kasus Tri-Zidan, miskinkan sampai mereka jadi pengamen lagi.”

Menanggapi perkembangan terbaru ini, Andika Kangen Band mengimbau agar warganet segera menyudahi. “Saya sudah ikhlas memaafkan mereka. Apalagi saat kita sedang di bulan puasa. Semua orang pernah salah,” katanya dalam podcast dengan Deddy Corbuzier, kemarin (Rabu, 27/4).

Adapun kepada kedua juniornya, Andika menenteramkan mereka dengan mengatakan bahwa “semoga Allah akan meningkatkan derajat kalian melalui peristiwa ini. Diambil saja hikmahnya.”


Perkara Simbol

Mengapa kisruh parodi menjadi tragedi ini terjadi? Saya melihatnya dari kegagalan—atau lebih tepatnya pada kebelumpahaman—Tri dan Zidan terhadap makna-makna dalam interaksionisme simbolis. Ada simbol-simbol universal yang sudah disepakati bersama di belahan dunia mana pun, namun ada juga simbol-simbol yang rawan dalam perbedaan tafsir kerumun.

Simbol universal yang tak mungkin disalahartikan warga dunia contohnya lampu lalu lintas. Merah adalah tanda berhenti, kuning tanda harus memelankan kecepatan, dan hijau tanda boleh melaju. Ini simbol yang disepakati di semua negara.

Tak ada komunitas yang membuat lampu lalu lintas dengan pilihan warna sendiri, misalkan mengganti dengan lampu warna nila, ungu, dan jingga. Tak ada.


Canda Melebihi Takaran

Tetapi menyangkut selera humor, urat tawa manusia berbeda-beda. Jika parodi dilakukan oleh komika (stand-up comedy) atau pelawak dalam sebuah pertunjukan, publik masih mafhum. Bahkan presiden pun bisa diparodikan seperti dulu kerap dilakukan seniman Butet Kertaradjasa yang piawai melakukan impersonator terhadap Pak Harto. Itu dilakukan Butet bukan hanya 1-2 kali, melainkan berkali-kali, dan dia tak pernah tersandung kasus hukum yang diperkarakan Keluarga Cendana karena merasa terhina, misalnya.

Kegagalan memahami simbol oleh Tri-Zidan ini karena mereka adalah penyanyi junior yang melakukan parodi terhadap para senior dalam sebuah manner yang kurang patut. Tekor attitude. Sekiranya sejak awal Tri-Zidan memahami konstelasi dunia simbol—yang eksis di setiap dunia profesi—mereka tak akan terempas sekeras dan setelak ini. 

Saya sendiri berpendapat setelah menganalisis gestur Tri dan Zidan dalam video parodi serta menyimak belasan video dan podcast yang menghadirkan keduanya sebagai bintang tamu—selalu dengan wajah pucat dan tegang—sejatinya mereka hanya melakukan overjoke. Canda yang melebihi takaran tanpa punya niat (sengaja) menghina senior-senior mereka seperti anggapan sebagian besar netizen yang murka.

Bersambung

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya