Pembangunan Jalan ke Kawasan Wisata Hutan Bowosie Diadang Warga, Badan Otorita Labuan Bajo Bersuara

Sejumlah warga mengklaim mereka memiliki hak milik atas sebagian tanah Hutan Bowosie yang akan dijadikan kawasan wisata alam oleh Badan Otorita Labuan Bajo Flores.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 30 Apr 2022, 03:02 WIB
Warga yang mengklaim sebagai pemilik lahan kawasan Hutan Bowosie mengadang ekskavator yang akan digunakan untuk membuka akses jalan ke ekowisata yang akan dikelola Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF). (dok. BPOLBF)

Liputan6.com, Jakarta - Pengembangan kawasan wisata alam di Hutan Bowosie di Labuan Bajo mulai digarap. Langkah pertama dimulai dengan membangun jalan ke kawasan hutan. Namun, proses itu tak berjalan mulus.

Dalam rilis yang diterima Liputan6.com, Jumat (29/4/2022), sekelompok warga mengadang para pekerja dan membentangkan spanduk protes sambil berteriak menuntut petugas untuk menghentikan pembangunan pada Senin, 25 April 2022. Ekskavator pun tak bisa bergerak. Para pemrotes itu mengklaim lahan di hutan itu adalah milik mereka.

Direktur Utama Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF), Shana Fatina, menanggapi protes warga itu. Ia menyatakan pembangunan akses jalan sudah dilakukan sesuai prosedur dan punya dasar hukum yang kuat.

Ia merujuk pada Surat Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor: S.220/Menlhk/Setjen/PLA.2/5/2021 tanggal 31 Mei 2021 mengenai Persetujuan Dispensasi Penggunaan Kawasan Hutan Produksi Tetap untuk kegiatan Pembangunan Sarana dan Prasarana Pariwisata dan pendukungnya oleh Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores di Kabupaten Manggarai Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur seluas sekitar 14 hektare.

"Saya dan tim BPOLBF sejak tahun 2019 sudah melakukan komunikasi intens dengan masyarakat sekitar, dan selalu melibatkan desa sekitar dalam setiap langkah kegiatan dan pembangunan, seperti Desa Golo Bilas, Desa Gorontalo, dan Kelurahan Wae Kelambu sebagai desa penyangga kawasan," kata Shana. 

Sejauh ini, BPOLBF melalui tim terpadu telah berkoordinasi dengan dua kantor desa dan satu kantor kelurahan yang tercatat sebagai desa penyangga itu. Mereka pun mengaku telah menyosialisasikan rencana pengembangan kawasan wisata di Hutan Bowosie yang akan dilaksanakan oleh BPOLBF.

Pihaknya juga mengklaim telah mengkaji rencana pembangunan itu secara ilmiah. AMDAL yang menjadi acuan dalam membangun di kawasan itu juga sudah keluar. Proses penyusunan itu dikatakan melibatkan berbagai pihak. "Termasuk dari pihak kelurahan dan desa penyangga, yaitu para lurah dan kepala desa," imbuh Shana.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Bantahan Pemerintah

Hutan Bowosie Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. (dok. BPOLBF)

Sementara itu, Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Wilayah Manggarai Barat, Stefanus Nali, berpendapat penolakan warga atas pembukaan jalan akses menuju kawasan wisata di hutan Bowosie dinilai tidak tepat karena lahan yang diklaim adalah lahan negara yang dirambah.

"Lahan yang dipermasalahkan masuk kawasan Hutan Nggorang-Bowosie. Dalam catatannya, perambahan liar terjadi sejak 1998, dan pada 2015 pihaknya menemukan patok-patok yang terpancang secara ilegal, lalu kami laporkan ke polisi," kata dia.

Nali menjelaskan status hukum Kawasan Hutan Nggorang Bowosie (RTK 108) sebagai lahan negara tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dengan nomor 89/Kts-II/1983 tertanggal 2 Desember 1983. SK ini memuat ketentuan terkait Penunjukan Areal Hutan di Wilayah Provinsi Dati I Nusa Tenggara Timur seluas kurang lebih 1.667.962 hektare sebagai kawasan hutan yang di dalamnya termasuk kawasan hutan Nggorang Bowosie.

Nali mengatakan, bertambahnya warga yang menghuni hutan telah mengancam kelestarian hutan. Pasalnya, mereka yang semestinya ikut menjaga alam justru terlibat dalam perambahan liar hingga memperparah kerusakan hutan di kawasan Hutan Bowosie. Pihaknya menyebut sudah berusaha menertibkan keberadaan mereka, tapi keterbatasan personel menyulitkan pengawasan lantaran tidak sebanding dengan luasan areal hutan.

"Sebagai contoh, dari luas lahan 400 hektare yang akan dikelola BPOLBF, kurang lebih 135 hektare atau 34 persen telah rusak dan kondisinya telah dibabat habis dan dibakar perambah hutan," jelasnya.


Perpres 32/2018

Pembagian zona dalam rancangan pengelolaan Hutan Bowosie oleh Badan Pengelola Otorita Labuan Bajo Flores. (dok. BPOLBF)

Nali menerangkan kembali latar kawasan Hutan Bowosie ditetapkan untuk dikelola sebagai tempat wisata alam. Menurut Nali, BPOLBF awalnya mencari lokasi di luar kawasan, tetapi lahan yang dicari tidak tersedia. Pihaknya kemudian mengusulkan lokasi yang sekarang diperuntukkan sebagai tempat wisata alam yang habis dibabat karena perambahan hutan.

"Saat orientasi juga sudah disampaikan bahwa di sini ada permasalahan, sebelah kanan sampai SPBU masih ada perambahan meski itu lahan negara. Dari Wae Nahi ke timur (arah Serenaru-Lancang) itu yang kosong. Saya hanya menunjuk lokasinya," jelas dia.

Merujuk Perpres 32 Tahun 2018, kata Nali, BPOLBF diserahi amanah mengelola 400 hektare lahan. Dari luasan itu, 135 hektare di antaranya dikelola secara otoritatif dengan dikeluarkan dari kawasan hutan menjadi aset BPOLBF.

"Kewenangan kami di situ tidak ada. 265 hektarenya itu izin pengelolaan jasa wisata alam pada BPOLBF dan itu tanggung jawab kami masih ada dan masih lahan negara," sambung Nali.

"Berdasarkan Perpres 32 itu, dari KLHK hanya persetujuan prinsip tukar menukar kawasan. Jadi, yang 135 (hektare) itu tukar menukar kawasan di Kabupaten Ngada seluas 500 hektare, sehingga di NTT secara keseluruhan tidak mengalami perubahan dan itu sudah berproses," ia menyimpulkan.


Rencana Ekowisata

Hutan Bowosie Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur. (dok. BPOLBF)

Sebelumnya, BPOLBF dan Kemenparekraf mengungkap rencana pengembangan kawasan pariwisata berkelanjutan dan terintegrasi di Hutan Bowosie yang menjadi wilayah tangkapan air Labuan Bajo. Kawasan pariwisata terintegrasi itu menempati lahan seluas 400 hektare atau sekitar 1,98 persen dari total luas kawasan Hutan Bowosie yang mencapai 20.193 hektare. 

Shana menjelaskan, konsep pengembangan ekowisata  berupa hutan alami itu diharapkan membuat wisatawan betah berkunjung. Lokasi yang dikembangkan merupakan bekas dibabat yang disebutnya dilakukan oknum tidak bertanggung jawab. 

"Banyak titik lokasi yang ditebang, bahkan sebagian besar dibakar pihak tidak bertanggung jawab. Kami harus lakukan peremajaan agar hutan asri kembali. Karena wisata hutan daya tariknya tentu pepohonan. Bagaimana wisatawan mau datang jika pohonnya ditebang dan dibakar?" ujar Shana, 7 Maret 2022.

Ia menyebut kawasan yang dirusak itu tidak hanya ditebang dan dibakar. Sebagian lokasi juga diubah menjadi lahan pertanian dengan jenis tanaman semusim yang rendah mengikat tanah dan air. Ia berjanji akan mengembalikan kondisi Hutan Bowosie dengan menanam lebih banyak pohon daripada menebang.

Shana menyatakan, pihaknya sudah berkoordinasi dengan pihak terkait untuk mengusut perusakan di Hutan Bowosie yang akan dikelola BPOLBF. Berdasarkan penuturan Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) KLHK Manggarai Barat, Stefanus Nali, kawasan yang rusak merupakan ulah perambah liar. 

"Luasan perambahan liar hutan Bowosie ini mencakup kurang lebih 135 ha atau 34 persen dari lahan Badan Otorita, dan sebagian besar berada di kawasan hutan bagian dalam, jadi tidak terlihat dari pinggir hutan," kata Stefanus.

Infografis unsur wisata ramah lingkungan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya