Liputan6.com, Miami - Menurut pengaduan Badan Penegakan Hukum Narkotika AS (Drug Enforcement Administration – DEA) yang ditinjau Reuters, Perdana Menteri Kepulauan Virgin Inggris (British Virgin Islands, BVI) ditangkap di Miami pada Kamis (28/4) atas tuduhan pencucian uang dan konspirasi untuk mengimpor kokain dengan imbalan sejumlah uang.
Andrew Fahie, PM Kepulauan Virgin Inggris yang berusia 51 tahun, ditangkap di bandara Miami bersama dengan direktur pelaksana Otoritas Pelabuhan (Ports Authority) wilayah luar negeri Inggris, menurut pengaduan tersebut, yang mengutip kesaksian luas dari seorang informan rahasia.
Advertisement
Menurut pengaduan DEA, Fahie telah setuju untuk mengizinkan informan tersebut, yang menyamar sebagai anggota kartel narkoba Meksiko Sinaloa, menggunakan pelabuhan-pelabuhan BVI untuk mengirim kokain dengan imbalan pembayaran 500 ribu dolar.
Penangkapan Fahie terkait kasus impor kokain pertama kali diungkapkan oleh Gubernur BVI John Rankin.
"Saya sadar ini akan menjadi berita mengejutkan bagi masyarakat di Teritori," kata Rankin dalam sebuah pernyataan seperti juga dikutip dari VOA Indonesia, Sabtu (30/4/2022). "Dan saya ingin menyerukan ketenangan untuk saat ini."
Sejauh ini Fahie tidak dapat segera dihubungi untuk dimintai komentar. Begitu pula para pejabat dari Otoritas Pelabuhan BVI.
Administrator DEA Anne Milgram mengatakan penangkapan itu harus mengirim pesan jelas bahwa “siapa pun yang terlibat membawa masuk obat-obatan berbahaya ke AS akan dituntut pertanggungjawaban, tak peduli posisi mereka."
Pengaduan DEA memperlihatkan bahwa penyelidikan, yang didasarkan pada pengamatan dan rekaman dari informan rahasia itu, dimulai pada Oktober 2021 lalu.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Mengaku Sebagai Kartel
Menurut pengaduan itu, informan tersebut mengaku dalam pertemuan dengan Fahie, Direktur Pelaksana pelabuhan BVI Oleanvine Maynard dan putranya, Kadeem Maynard, sebagai anggota kartel yang ingin memindahkan ribuan kilogram kokain Kolombia melalui Pulau Tortola dan akhirnya ke Puerto Rico untuk diekspor ke New York dan Miami.
"Fahie setuju untuk mengizinkan sumber rahasia itu menggunakan pelabuhan-pelabuhan untuk mengirimkan kokainnya," menurut pengaduan itu, seraya menambahkan bahwa ia meminta pembayaran di muka 500 ribu dolar sebagai imbalannya.
Perdana Menteri BVI itu juga meminta bantuan dalam membayar utang 83 ribu dolar kepada seorang lelaki di Senegal yang telah "mengatasi" beberapa masalah politik untuknya, kata pengaduan itu.
Fahie ditangkap di Miami setelah secara terpisah diperlihatkan tas-tas belanja desainer terkenal di sebuah pesawat pribadi yang menunjukkan 700 ribu dolar untuknya dan Oleanvine Maynard, sebut pengaduan itu.
Menteri Luar Negeri Inggris Liz Truss mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa ia "terkejut" oleh tuduhan-tuduhan itu.
Advertisement
Khawatir PM Mark Rutte Diculik Geng Narkoba Mocro Mafia, Belanda Perketat Pengamanan
Bicara soal narkoba, beberapa waktu lalu polisi Belanda telah meningkatkan keamanan untuk Perdana Menteri (PM) Mark Rutte, atas kekhawatiran dia mungkin menjadi sasaran penculikan atau serangan oleh geng narkoba. Demikian menurut laporan media lokal pada Senin 27 September 2021.
Ancaman terhadap PM Rutte, yang dikenal bersepeda untuk bekerja dengan sedikit keamanan, mengikuti pembunuhan seorang reporter investigasi terkemuka dan seorang pengacara yang keduanya terkait dengan pengadilan kejahatan terorganisir besar.
Perdana menteri Belanda berusia 54 tahun itu kabarnya diikuti pengintai untuk geng penyelundup narkoba yang dijuluki "Mocro Mafia", surat kabar De Telegraaf dan beberapa outlet berita melaporkan.
PM Rutte menolak mengomentari laporan itu ketika dia tiba dengan berjalan kaki di parlemen untuk pembicaraan koalisi yang sudah berjalan lama. "Saya tidak berkomentar tentang keselamatan atau keamanan."
Kantor PM Mark Rutte, koordinator nasional Belanda untuk keamanan dan kontraterorisme, dan kantor kejaksaan nasional juga menolak berkomentar.
"Saya tidak dalam posisi untuk berkomentar. Kami tidak pernah mengomentari masalah yang terkait dengan langkah-langkah keamanan," kata juru bicara kantor PM Rutte kepada AFP yang dikutip Selasa (28/9/2021).
Pemimpin sayap kanan Belanda Geert Wilders, yang tinggal di bawah penjagaan keamanan 24 jam karena ancaman pembunuhan, mengatakan berita itu "mengerikan".
"Anda tidak akan mengharapkan ini pada siapa pun. Semoga kuat Perdana Menteri Rutte," cuit Wilders, yang biasanya mengkritik keras perdana menteri.
Korsel Tangkap Pengedar Narkoba 4,3 Kilogram dari Asia Tenggara
Sementara itu, kepolisian Korea Selatan (Korsel) menangkap empat orang atas tuduhan menyeludupkan narkoba dari Asia Tenggara. Pelaku juga berperan sebagai pengedar.
Dilaporkan Yonhap, Sabtu (13/3/2021), narkoba yang dibawa para pelaku seberat 4,3 kilogram berupa metamfetamin (sabu).
Barang bukti disita di Bandara Internasional Incheon. Polisi juga menangkap empat orang pembeli yang ditangkap, sementara empat lainnya juga diproses atas tuduhan yang sama.
Ada delapan orang lainnya yang diperiksa, namun tidak ditahan.
Salah satu pelaku melarikan diri ke Asia Tenggara. Korsel akan mencoba melakukan repatriasi. Aparat tidak mengungkap negara mana yang dimaksud, maupun dari negara Asia Tenggara mana narkoba tersebut.
Selama Maret-November 2020, polisi Korsel sedang disibukan oleh kasus barang haram ini.
Kepolisian Metropolitan Seoul baru-baru ini membongkar operasi penyelundupan narkoba. Pelaku membawa 6,3 kilogram sabu ke Korsel pada Maret-November 2020.
Total harga narkoba itu diestimasi mencapai 21 miliar won (Rp 265 miliar). Jumlah narkoba tersebut juga cukup untuk dikonsumsi oleh 210 ribu orang.
Korsel memiliki hukuman mati untuk kasus narkoba, tetapi negara tersebut sudah tidak menerapkan hukuman mati sejak 1997. Meski demikian, vonis mati tetap diberikan.
Advertisement
Eksekusi Mati Pria Berkebutuhan Khusus Asal Malaysia Atas Kasus Narkoba, Singapura Dikritik
Sedangkan baru-baru ini peradilan tak pandang bulu di Singapura jadi sorotan. Pasalnya negara tersebut dilaporkan telah mengeksekusi mati pria Malaysia yang memiliki kebutuhan khusus dengan tingkat intelektual di bawah rata-rata karena membawa narkoba.
Pengadilan menolak banding yang diajukan keluarga di saat-saat terakhir.
Mengutip ABC Australia, Rabu (27/4/2022), Nagaenthran Dharmalingam yang berusia 34 tahun sudah masuk dalam daftar untuk dieksekusi mati selama lebih dari 10 tahun setelah dia dinyatakan bersalah membawa 43 gram heroin masuk ke Singapura.
Singapura adalah salah satu negara yang menerapkan hukuman berat bagi pelanggaran hukum terkait narkoba, dengan pemberlakuan hukuman mati.
Keluarga Nagenthran dan pegiat sosial mengatakan eksekusi mati sudah dilakukan hari Rabu.
"Untuk ini saya bisa mengatakan Malaysia jauh lebih manusiawi," kata saudara perempuannya Sarmila Dharmalingam," Angka nol untuk Singapura untuk soal ini.
Adik laki-laki Nagaenthran, Navin Kumar (22 tahun} mengatakan jenazah kakaknya akan dibawa kembali ke Malaysia di mana pemakaman akan dilakukan di Kota Ipoh.
Para pendukung Nagaenthran dan pengacaranya mengatakan dia memiliki tingkat kecerdasan 69 sehingga secara intelektual memiliki disabilitas. Menurut hukum HAM internasional melakukan eksekusi terhadap seseorang yang memiliki masalah mental tidak boleh dilakukan.
"Nagaenthran Dharmalingam akan tercatat dalam sejarah sebagai korban dari ketidakadilan hukum," kata Maya Foa, direktur organisasi LSM bernama Reprieve.
"Melakukan hukuman gantung terhadap seseorang yang difabel, seseorang yang secara mental tidak sehat karena dia dipaksa untuk membawa narkoba, hanya sekitar tiga sendok teh diamorphine tidak bisa dibenarkan dan merupakan pelanggaran hukum internasional yang sudah ditandatangani oleh Singapura."