Warga dan Santri Ponpes di Jember Rayakan Idul Fitri Lebih Awal, Ini Dasar Perhitungannya

Warga di Desa Suger memang kerap melakukan puasa dan Idul Fitri lebih awal satu hari dari ketetapan pemerintah.

oleh Hermawan Arifianto diperbarui 01 Mei 2022, 14:10 WIB
Warga Desa Suger Kecamatan Jelbuk, Jember laksanakan salat Idul Fitri Lebih Awal. (Istimewa)

Liputan6.com, Jember - Meski sempat terjadi perbedaan di awal puasa, hari raya Idul Fitri diperkirakan akan serempak. Yakni pada Senin (2/5/2022), baik Muhammadiyah maupun ketetapan pemerintah.

Meski demikian, di beberapa wilayah sudah ada umat Islam yang merayakan Idul Fitri pada hari Minggu (1/5/2022) ini. Salah satunya adalah ratusa warga di Desa Suger, Kecamatan Jelbuk, Jember.

Pelaksanaan salat Id di desa yang berbatasan dengan Kabupaten Bondowoso itu dilakukan di 3 masjid dengan pertimbangan kapasitas jumlah jamaah yang sangat banyak.

Warga di Desa Suger memang kerap melakukan puasa dan Idul Fitri lebih awal satu hari dari ketetapan pemerintah. Hal ini berdasarkan keputusan yang dibuat oleh Pondok Pesantren Mahfilud Durror yang ada di desa tersebut.

"Sudah sejak tahun 1911, saat kakek saya mendirikan pesantren ini," ujar KH Ali Wafa (62), pimpinan Ponpes Mahfilud Durror.

Sang kakek, KH M Sholeh yang merupakan pendatang dari Madura, memperkenalkan metode penetapan awal puasa dan lebaran dengan merujuk pada sebuah kitab klasik bernama Nazhatul Majalis, yang ditulis oleh Syaikh Abdurrohman as-Sufuri as-Syafii.

Dalam kitab tersebut, penentuan awal puasa dilakukan dengan metode hisab atau perhitungan. Hal ini berbeda dengan cara yang dilakukan oleh pemerintah dan juga NU, yakni melalui sidang itsbat dengan berdasarkan rukyatul hilal (melihat bulan).

"Lima hari awal Ramadan tahun ini, menjadi awal ramadan yang akan datang (tahun berikutnya), " papar KH Ali Wafa.

Metode hisab yang dilakukan pesantren ini seperti yang dilakukan ormas Muhammadiyah dalam menetapkan awal puasa dan Idul Fitri. Meski demikian, secara kultural pesantren ini lebih dekat pada tradisi keagamaan maupun jalur keilmuan di Nahdlatul Ulama (NU).

"Kitab ini diajarkan oleh guru kakek saya, KH Hamid dari pesantren Batu Anyar Madura. Saya dulu waktu masih kecil awalnya juga tidak tahu, hanya ikut-ikut saja. Tetapi setelah remaja, saya menjadi santri di Ponpes Mambaul Ulum, Bata-Bata Madura, saya temukan kitab ini," ujar KH Ali Wafa yang menjadi generasi ketiga pengasuh Ponpes Mahfilud Durror.

Karena melalui proses perhitungan, penetapan awal puasa dan lebaran bisa dihitung sejak jauh-jauh hari. "Saya biasanya melakukan ijtihad, yakni menghitung dengan seksama awal puasa dan Idul Fitri maupun Idul Adha sekaligus untuk jangka waktu delapan tahun, " papar KH Ali Wafa.

 


Selalu Berbeda dengan Pemerintah

Hasil perhitungan yang dilakukan KH Ali Wafa berdasarkan kitab Nazhatul Majalis tidak selalu berbeda dengan ketetapan pemerintah. Dalam jangka waktu 5 tahun misalnya, ada 2 hingga 3 kali yang bersamaan dengan pemerintah. Saat perhitungan pesantren Mahfilud Durror berbeda, selisihnya tidak lebih satu hari dari ketetapan pemerintah.

"Warga di sini sering minta ke saya, kalau bisa jangan sampai sama (dengan pemerintah). Biar dua kali lebaran. Tapi ya tidak bisa, karena ini kan perhitungan yang ada dalilnya, " papar KH Ali Wafa dengan tertawa.

Warga di Desa Suger dan sekitarnya sudah terbiasa mengalami dua kali Idul Fitri atau awal puasa yang berbeda. Toleransi dan saling menghargai sudah terbangun sedari awal.

"Karena perbedaan di kalangan ulama bisa membawa rahmat," pungkas KH Ali Wafa.

 

Infografis Vaksin Booster Jadi Syarat Mudik Lebaran 2022. (Liputan6.com/Trieyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya