Direktur Utama Samudera Indonesia Beli 46.900 Saham SMDR

Direktur Utama PT Samudera Indonesia Tbk (SMDR) Bani Maulana Mulia kini genggam 0,17 persen saham SDMR

oleh Liputan6.com diperbarui 03 Mei 2022, 16:42 WIB
Pekerja berbincang di dekat layar indeks saham gabungan di BEI, Jakarta, Selasa (4/4). Pada pemukaan indeks harga saham gabungan (IHSG) hari ini naik tipis 0,09% atau 4,88 poin ke level 5.611,66. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Utama (Dirut) PT Samudera Indonesia Tbk (SMDR) Bani Maulana Mulia sebanyak 46.900 lembar saham SMDR di kisaran harga Rp 1.815 - Rp 1.895.

Hal tersebut disampaikan disampaikan oleh Direktur Kepatuhan dan Sekretaris Perusahaan Samudera Indonesia Farida Helianti Sastrosatomo melalui keterbukaan informasinya ke regulator Pasar Modal Indonesia, Bursa Efek Indonesia, BEI, dikutip Selasa (3/5/2022).

Pembelian saham tersebut dilakukan pada Kamis, 28 April 2022. Hal tersebut disampaikan dalam laporan itu. Sebelum pembelian saham ini, Bani Maulana Mulia memiliki sebanyak 5.555.300 saham (0,16 persen dari total saham SDMR).

Setelah pembelian saham tersebut, kepemilikan saham Bani Maulana Mulia bertambah menjadi sebanyak 5.602.200 saham (0,17 persen).

Bani Maulana Mulia membeli saham sebanyak tiga kali, yaitu sebanyak 20.000 lembar saham, kemudian 23.500 lembar saham dan terakhir 3.400 lembar saham.

Ketiga transaksi pembelian tersebut dilakukan pada hari yang sama.Berdasarkan data BEI, selain oleh Bani Maulana Mulia, saham SDMR dimiliki oleh PT Ngrumat Bondo Utomo Lebih sebanyak 470.329.960 saham (setara 14,36 persen), PT Samudera Indonesia Tangguh sebanyak 1.898.800.000 saham (setara 57,98 persen), Publik sebanyak 905.990.040 (setara 27,66 persen), dan Komisaris SDMR Masli Mulia sebanyak 13.170.000 (setara 0,4 persen).

Saham Jasa Pelayaran Angkutan Laut ini pada Kamis, 28 April 2022, sempat ada di level tertinggi di Rp 2.030 per saham, terendah di Rp 1.865 per saham, dan ditutup di Rp 2.000 per saham.

Dibanding sehari sebelumnya, Rabu, 27 April 2022, saham SDMR saat penutupan menguat sebesar Rp 120 (setara 6,38 persen) dari Rp 1.880 per saham. Total volume perdagangan 21.815.400 saham. Nilai transaksi Rp 42,9 miliar. Total frekuensi perdagangan 6.799 kali.

Sepanjang 2022, saham SMDR melambung 101,01 persen ke posisi Rp 2.000 per saham. Saham SMDR berada di level tertinggi Rp 2.030 dan terendah Rp 890 per saham. Total volume perdagangan 977.827.901 saham. Nilai transaksi Rp 1,3 triliun. Total frekuensi perdagangan 294.198 kali.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Bos Samudera Indonesia Prediksi Biaya Transportasi Masih Tetap Tinggi

Ilustrasi ekspor

Sebelumnya, invasi Rusia ke Ukraina dinilai tidak terlalu berdampak terhadap Indonesia. Namun, ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina juga menjadi salah satu yang memicu biaya freight atau biaya transportasi yang harus dikeluarkan untuk pengiriman barang impor ke tempat tujuan.

"Secara ekspor impor kita itu semua di bawah 1 persen nol koma sekian dengan Rusia maupun dengan Ukraina dan komoditinya yang besar untuk ekspor dari Rusia adalah kategori lemak minyak hewan nabati dan impornya Rusia adalah besi baja yang sama untuk Ukraina ekspornya dan impor nya lebih banyak ke gandum,” ujar Direktur Utama PT Samudera Indonesia Tbk Bani Maulana Mulia dalam Research Talk Konflik Rusia – Ukraina oleh Universitas Prasetiya Mulya, ditulis Sabtu (9/4/2022).

Dia menambahkan, Rusia bukan sumber signfikan untuk impor. Dengan demikian konflik Rusia-Ukraina tidak terlalu berpengaruh ke Indonesia.

Namun, Ukraina, salah satu sumber impor gandum Indonesia. Meski demikian, Bani menilai, Indonesia dapat sumber alternatif dari negara lain.

"Untuk cereal juga untuk gandum dari Ukraina meskipun itu merupakan nomor dua terbesar sumber impor gandum bagi Indonesia dan terlihat bahkan di januari-februari sudah terlihat menurun drastis mungkin di awal sebelum konflik dimulai sudah terpengaruh, Tapi kita masih bisa mendapatkan dari negara-negara sumber lain dari Australia, Brazil dan Argentina,” tutur dia.

 


Tantangan

Ilustrasi ekspor

Di sisi lain, dunia usaha juga hadapi tantangan biaya freight dan rantai pasokan. Bani menuturkan, sejak awal COVID-19, krisis rantai pasokan sudah ditemui.

"Intinya tingkat freight rate yang sangat tinggi hampir di seluruh sektor pelayaran dan hampir di seluruh area di dunia,” ujar dia.

Meski demikian, kondisi indeks biaya freight sudah lebih rendah dibandingkan 2021. "Kalau dilihat sejak up to date 2022 itu kita sudah naik dari awal tahun sebelumnya 32 persen, tapi kalau dibandingkan dengan tahun lalu sebenernya kita udah lebih rendah lebih rendah 6 persen dibandingkan posisi year on year tahun lalu,” ujar dia.

Selain itu, menurut Bani, kenaikan biaya freight bukan hanya dari konflik Rusia-Ukraina saja tetapi juga faktor lainnya.

"Sebenarnya memang commodity price memang yang mendrive juga salah satu hal yang tingginya freight rates dan hampir semua jenis komoditas itu naik walaupun pasti penyebabnya juga bermacam-macam berbagai faktor tidak hanya semata-mata konflik Rusia Ukraina, tapi memang itu juga mendorong,” imbuh dia.


Biaya Freight Bakal Tetap Tinggi

Ilustrasi ekspor impor

Adapun faktor lain pengaruhi biaya freight adalah fenomena cuaca yang mempengaruhi produk-produk pangan sehingga dorong harga komoditas. Selain itu, faktor dari China.

“Sebenarnya faktor pendorong utama dari kenaikan itu freight rates menurut kami itu sebenarnya sangat tinggi besar dari China. Itu yang sebenarnya memberikan efek terbesar secara global,” tuturnya.

China yang mengalami pemulihan perdagangan terlebih dahulu pada saat dunia lain semua terkena oleh COVID-19 dan lockdown, kemudian permintaan yang besar dari Amerika Utara, Eropa terhadap produk China.

"Itu yang membuat freight rate sangat tersedot ke China hampir semua bahkan kapal-kapal domestik di Indonesia pun tersedot untuk melayani frekuensi yang tinggi di luar negeri dan semua bersumber dari China,” ucapnya.

“Ini adalah efek kalau tadi kita lihat indeks lebih rendah dibandingkan tahun lalu karena juga mungkin pasti ada efek bahwa ada lockdown lagi di China sekarang,” ia menambahkan.

“Walaupun mungkin sebenarnya COVID-19 risk-nya mudah-mudahan kecil dan tidak akan mengulang lagi seperti yang satu sudah terjadi sebelumnya,”.

Namun, antisipasi yang dilakukan pemerintah China itu sangat besar sehingga sebenarnya apabila sampai benar-benar lockdown itu dinilai pengaruhnya memang sangat besar.

"Mungkin ini yang lebih terasa dibandingkan efek Rusia Ukraina apabila slow down yang ada di China, ini yang menyebabkan kenaikan freight rate nya itu ada tertahan. Tapi kalau misalnya ini sudah kembali full force, menurut saya memang agak sulit untuk mengharapkan bahwa freight rate itu tidak tergolong tinggi,” pungkasnya.

 

 

Reporter: Elizabeth Brahmana

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya