Liputan6.com, Jakarta - Harga gas alam di Amerika Serikat melonjak ke level tertinggi dalam hampir 14 tahun, menyusul dampak konflik Rusia-Ukraina terhadap i pasar energi global.
Dilansir dari CNBC International, Rabu (4/5/2022) harga gas di pipa Henry Hub melonjak lebih dari 9 persen pada satu titik ke sesi tertinggi atau USD 8,169 per juta British thermal unit (MMBtu) selama perdagangan pagi di Wall Street.
Advertisement
Lonjakan ini merupakan kenaikan harga gas tertinggi di AS sejak September 2008.
Campbell Faulkner, wakil presiden senior dan kepala analis data di OTC Global Holdings, mengatakan kenaikan itu dipicu oleh "kebingungan kondisi pasar yang lebih ketat," termasuk Uni Eropa yang mempertimbangkan putaran sanksi keenam terhadap Rusia yang dapat mencakup sektor energi negara itu.
Selain itu, produksi di AS juga menurun, dan penyimpanan gas 21 persen lebih rendah dibandingkan tahun lalu.
"Pembakaran daya yang lebih tinggi musim panas ini dengan nol gas batubara ... pengalihan akan mengurangi jumlah gas cadangan untuk pengisian penyimpanan yang mendorong harga naik dalam siklus komoditas klasik ('mundur') untuk memasukkan gas ke pasar sekarang," beber Faulker.
Direktur pelaksana di Bank of America, yakni Francisco Blanch, juga mengatakan bahwa harga gas alam di AS masih bisa naik lebih tinggi.
"Kami sedang mengalami krisis energi. Saya pikir salah satu masalah besar yang akan membantu memberikan kelegaan adalah jika kita mengalami perlambatan ekonomi besar, juga dikenal sebagai resesi - tetapi tentu saja tidak ada yang menginginkan itu terjadi," ujarnya.
"Saya cukup prihatin dengan keadaan pasar energi. Mudah-mudahan kita akan melihat beberapa tanggapan pasokan. Mudah-mudahan produsen di AS dan di tempat lain akan bereaksi terhadap harga tinggi, tetapi tidak ada bantuan segera bagi konsumen," tambahnya.
**Pantau arus mudik dan balik Lebaran 2022 melalui CCTV Kemenhub dari berbagai titik secara realtime di tautan ini
Peneliti: Jerman Jadi Pembeli Terbesar Energi Rusia sejak Konflik dengan Ukraina Pecah
Jerman disebut menjadi pembeli terbesar untuk bahan energi dari Rusia selama dua bulan pertama terjadinya konflik di Ukraina.
Hal itu diungkapkan dalam sebuah studi yang diterbitkan oleh kelompok penelitian independen yang berbasis di Finlandia, Centre for Research on Energy and Clean Air.
Dikutip dari laman Associated Press (AP), studi tersebut menghitung bahwa Rusia telah memperoleh 63 miliar euro dari ekspor bahan bakar fosil sejak 24 Februari, yang merupakan tanggal hari pertama terjadinya konflik Rusia-Ukraina.
CREA menjelaskan, pihaknya melakukan studi ini dengan menggunakan data pergerakan kapal, pelacakan aliran gas secara real-time melalui jaringan pipa dan perkiraan berdasarkan perdagangan bulanan secara historis.
Para peneliti CREA juga mengungkapkan, Jerman membayar Rusia sekitar 9,1 miliar euro untuk pengiriman bahan bakar fosil – sebagian besar gas alam – dalam dua bulan pertama tahun ini.
Claudia Kemfert, pakar energi senior di German Institute for Economic Research tidak terlibat dalam penelitian ini, tetapi ia menyebut angka-angka itu masuk akal mengingat kenaikan tajam harga bahan bakar fosil baru-baru ini.
Tahun lalu, Jerman membayar total sekitar 100 miliar euro untuk impor minyak, batu bara, dan gas — di mana seperempatnya datang dari Rusia, kata Kemfert.
Sementara itu, pemerintah Jerman mengatakan tidak dapat mengomentari perkiraan biaya yang sudah dikeluarkan untuk impor energi, dan mengatakan hal tersebut harus bersumber dari perusahaan yang menyediakan pasokan energi
Advertisement
Italia Jadi Importir Bahan Bakar Fosil Rusia Terbesar Setelah Jerman
Centre for Research on Energy and Clean Air, yang didanai melalui hibah dan kontrak penelitian, mengungkapkan bahwa importir terbesar kedua bahan bakar fosil Rusia dalam dua bulan sejak pecahnya konflik adalah Italia dengan pengeluaran hingga 6,9 miliar euro.
China menjadi importir bahan bakar fosil Rusia terbesar ketiga di dunia, dengan pengeluaran sebesar 6,7 miliar euro.
Korea Selatan, Jepang, India, dan Amerika Serikat juga masih membeli energi Rusia setelah pecahnya konflik di Ukraina, meskipun jauh lebih sedikit daripada Uni Eropa.
Secara keseluruhan, 27 negara menyumbang 71 persen dari total pendapatan Rusia dari minyak, gas dan batu bara, yang nilainya sekitar 44 miliar euro, menurut laporan CREA.
Analis utama CREA, Lauri Myllyvirta, mengatakan perbandingan tahun-ke-tahun sulit dilakukan, tetapi dia memperkirakan bahwa ekspor Rusia ke Eropa pada periode yang sama tahun 2021 bernilai 18 miliar euro.
"Jadi 44 miliar euro mewakili dua kali lipat dari tahun lalu," bebernya.
"Pendorong utamanya adalah harga pasar untuk gas naik dari sekitar 10 euro per MWh tahun lalu menjadi di atas 100," terang Myllyvirta.