Liputan6.com, Brussel - Uni Eropa menyiapkan paket sanksi baru untuk Rusia. Pada paket terbaru, muncul nama pemimpin Gereja Ortodoks Rusia: Patriarch Kiril.
Patriarch Kiril diketahui memberikan restu atas invasi Rusia yang digencarkan oleh Presiden Rusia Vladimir Putin.
Baca Juga
Advertisement
Berdasarkan laporan DW.com, Rabu (4/5/2022), rekomendasi sanksi untuk Kiril diberikan oleh Komisi Eropa. Selain Kiril, Komisi Eropa juga akan memberikan sanksi kepada bank terbesar di Rusia.
Paus Fransiskus juga memberikan kritikan kepada Patriarch Kiril karena mendukung invasi ke Ukraina. Keduanya berbicara selama 40 menit pada 16 Maret lalu. Pontifex mengaku heran kenapa pimpinan gereja Rusia justru mendukung peperangan.
"Pada 20 menit pertama ia membaca pada saya, dengan sebuah kartu di tangannya, semua justifikasi untuk perang," ujar Paus Fransiscus, seperti dilansir CNN.
"Saya mendengarkan dan bilang padanya: Saya tidak paham tentang ini," kata Paus Fransiskus.
Paus mengingatkan Patriarch Kiril bahwa gereja tidak boleh menggunakan bahasa politik.
"Saudaraku, kita bukan pendeta dari negara, kita tak bisa menggunakan bahasa politik, melainkan (bahasa) Yesus," ujar Paus Fransiskus.
Paus Fransiskus pun mengingatkan agar Patriarch Rusia jangan sampai berubah menjadi "anak altar" bagi Presiden Vladimir Putin.
Pada situs resmi Vatikan, Paus Fransiskus disebut meminta agar Patriarch Kiril membantu memadamkan api konflik yang terjadi antara Rusia dan Ukraina. Paus turut mengingatkan bahwa orang-orang yang membayar paling mahal dari konflik ini adalah tentara dan rakyat sipil.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Embargo Minyak
Uni Eropa akan mengambil langkah tegas untuk melaksanakan embargo terhadap minyak Rusia. Langkah ini diprediksi bisa memberikan dampak besar kepada ekonomi Rusia, pasalnya negara itu sangat mengandalkan komoditas energi.
Wacana embargo itu diumumkan oleh Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, Rabu (4/5/2022).
"Kami mengajukan pencekalan pada minyak Rusia," ujar Ursula von der Leyen, dikutip melalui akun Twitter resminya @vonderleyen.
Ia mengakui bahwa hal itu tidak akan mudah, namun ia berjanji akan mengupayakannya, dan secara bertahap berhenti membeli minyak Rusia.
"Demi memaksimalkan tekanan kepada Rusia, sembari meminimalisir dampak ke ekonomi kita," ujarnya.
Sanksi lain yang dipersiapkan Komisi Eropa akan menimpa Sberbank, yakni bank terbesar Rusia. Sberbank dan dua bank besar lainnya akan dikeluarkan dari sistem SWIFT.
Komisi Eropa juga mengaku sudah mengumpulkan nama-nama pejabat Rusia yang bertanggung jawab atas pembunuhan massal di Bucha, Ukraina. Nama-nama itu termasuk para pejabat tinggi militer.
"Kami tahu siapa kalian. Dan kalian akan dibuat bertanggung jawab," ujar Ursula von der Leyen yang juga sempat berkunjung ke Ukraina beberapa waktu lalu.
Advertisement
Rusia Tuduh Ukraina Minta-Minta ke Negara Barat
Sementara itu, mantan Presiden Rusia Dmitry Medvedev memberikan sindiran keras kepada Ukraina. Medvedev berkata Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky akan terus meminta bantuan dari Barat berupa uang.
Medvedev yang saat ini menjabat sebagai ketua deputi di Dewan Keamanan Rusia juga berkata Presiden Zelensky tidak ingin perdamaian.
"Zelensky tidak ingin perjanjian perdamaian. Baginya, perdamaian adalah akhir," ujarnya melalui Telegram, dikutip media pemerintah Rusia, TASS, Selasa (3/5).
Medvedev juga mengulang narasi bahwa pemerintah Ukraina dipengaruhi oleh Nazi yang mengancam nyawa Zelensky apabila berdamai dengan Rusia.
Ia berkata ada dua akhir untuk Zelensky, entah itu disingkirkan Nazi karena membuat kesepakatan dengan Rusia, atau disingkirkan oleh pesaingnya karena kalah perang.
"Inilah mengapa Zelensky di masa depan akan terus meminta-minta ke Barat untuk uang dan senjata, karena berusaha membuktikan ia masih berada di permainan ini, bahwa ia adalah harapan dunia liberal, bahwa ia adalah benteng terakhir dari demokrasi Eropa," ujarnya.
Melawan Nazifikasi adalah salah satu narasi Rusia untuk membenarkan invasi ke Rusia. Tuduhan itu diberikan ke Ukraina, meski Presiden Zelensky sendiri adalah orang Yahudi. Lembaga amal Yahudi seperti World Jewish Relief juga berusaha membantu Ukraina.
Medvedev pun menuduh bahwa Presiden Ukraina akan menggunakan tameng manusia dan berusaha membunuh para jurnalis Rusia. Meski demikian, jurnalis TV Rusia yang menolak perang, Marina Ovsyannikova, justru malah sempat diinterogasi oleh pemerintah Rusia.
Minta Rp 28,8 Triliun per Bulan ke Joe Biden untuk Pemulihan Ekonomi
Pemerintahan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky meminta anggaran sebesar US$ 2 miliar (Rp 28,8 triliun) per bulan kepada Presiden Amerika Serikat Joe Biden untuk membantu pemulihan ekonomi. Dana itu diminta meski kondisi ekonomi AS sedang inflasi.
Angka US$ 2 miliar itu hanya angka minimal. Pihak Ukraina berkata kondisi kemanusiaan di negaranya bisa makin parah jika dana itu tidak cair.
Hal itu berdasarkan laporan The Washington Post terkait pertemuan antara Menteri Keuangan Ukraina Serhii Marchenko. Total yang dibutuhkan Ukraina disebut US$ 5 miliar (Rp 72 triliun) per bulan dengan dana US$ 2 miliar berasal dari AS.
Dana itu rencananya akan digunakan untuk bulan April, Mei, dan Juni. Ada pula kebutuhan jangka panjang untuk pulih dari perang akibat invasi Rusia.
Media pemerintah Ukraina, Ukrinform, melaporkan bahwa Ukraina hanya bisa mendapatkan 54 persen anggaran yang dibutuhkan jika dari pajak saja. Angka itu belum menghitung biaya militer.
Marchenko berkata Ukraina mencari bantuan ekonomi untuk lanjut membayar pensiun, gaji pegawai kesehatan dan pendidikan, serta kebutuhan kemanusiaan lain.
(US$ 1: Rp 14.406)
Advertisement
Bank Dunia Ungkap Dampak Ekonomi dari Invasi Ukraina
Sementara, Bank Dunia juga baru mengeluarkan laporan mengenai dampak perang di Ukraina. Efek dari invasi merambat ke pasar komoditas, aliran finansial, hingga kepercayaan pasar.
Bank Dunia menegaskan bahwa ekonomi Ukraina sedang hancur. Perang mengakibatkan dampak berupa kematian, disabilitas, kehancuran infrastruktur, jutaan masyarakat yang harus mengungsi, serta hilangnya pekerjaan dalam skala besar.
Bank Dunia juga mengingatkan bahwa dunia, termasuk negara-negara berkembang, ikut terdampak akibat perang ini.
"Konflik ini mengikis kepercayaan global, melemahkan pertumbuhan, menambah stres fiskal dan finansial, dan memperburuk masalah kekurangan makanan dan nutrisi," tulis Bank Dunia dalam laporan yang rilis pada 12 April 2022.
Selain itu, efek gabungan pandemi COVID-19, perubahan iklim, dan perang dikhawatirkan bisa menambah kelaparan, malnutrisi, dan kurangnya makanan bagi jutaan orang di seluruh dunia.
Para pembuat kebijakan pun akan kesulitan sebab ruang fiskal semakin terbatas, sehingga dikhawatirkan akan mengambil kebijakan-kebijakan yang sulit. Alhasil, agenda iklim akan terabaikan.
Rencananya, Bank Dunia sedang mendiskusikan untuk penggunaan dana US$ 170 miliar untuk periode April 2022 hingga Juni 2023 untuk membantu berbagai negara agar kuat dari krisis yang ada.