WHO: Hampir 60 Persen Warga di Eropa Alami Obesitas

Menurut laporan tersebut, 200.000 kasus baru kanker ditemukan setiap tahunnya akibat kelebihan berat badan dan obesitas.

oleh Liputan6.com diperbarui 06 Mei 2022, 08:01 WIB
Ilustrasi obesitas.

Liputan6.com, Jakarta - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan hampir 60 persen orang Eropa mengalami kelebihan berat badan atau obesitas.

Pandemi COVID-19 yang berkepanjangan membuat mereka dengan indeks massa tubuh berlebihan ini berisiko menghadapi berbagai gangguan kesehatan dan bahkan kematian.

Laporan yang dirilis Selasa (3/5) ini membuat kesimpulan yang jelas bahwa lebih dari 1,2 juta kematian per tahun di Eropa disebabkan oleh kelebihan berat badan dan obesitas. Menurut para pakar kesehatan, fakta ini bisa dipahami karena kondisi berat berlebihan memang bisa mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan, seperti kanker dan penyakit kardiovaskular.

Menurut laporan tersebut, 200.000 kasus baru kanker ditemukan setiap tahunnya akibat kelebihan berat badan dan obesitas.

Kondisi ini juga memicu munculnya komplikasi muskuloskeletal, diabetes tipe 2, penyakit jantung, dan setidaknya 13 jenis kanker.

Julianne Williams, pakar kesehatan WHO yang ikut menulis laporan itu. menjelaskan alasan mengapa kelebihan berat badan menjadi masalah yang semakin umum di Eropa.

"Kita hidup di lingkungan di mana kita memiliki akses mudah ke makanan murah dan lezat dan di mana sangat mudah untuk tidak bergerak sepanjang hari. Kita tahu anak-anak kita dibombardir dengan iklan," kata Williams.

"Iklan bahkan semakin meningkat di dunia digital. Ketika mereka bermain video game, contohnya, mereka melihat iklan makanan kaya lemak, gula dan garam. Kita tahu bahwa anak-anak sangat rentan terhadap itu."

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Pembatasan COVID-19 Perburuk Situasi

Resiko Obesitas

"Tingkat menyusui eksklusif di Eropa juga sangat rendah dibandingkan dengan wilayah lain di dunia. Dan kita tahu bahwa menyusui adalah satu hal yang melindungi anak dari kelebihan berat badan dan obesitas di kemudian hari," tambahnya.

Williams mengatakan, berbagai pembatasan terkait pandemi COVID-19, ikut memperburuk kondisi ini.

“Kita melihat orang-orang menjadi kurang aktif. Aktivitas fisik mereka menurun, kebiasaan makan menjadi lebih buruk. Ini sangat mengkhawatirkan. Bila terkena COVID, orang dengan obesitas, atau orang yang kelebihan berat badan, lebih cenderung menjalani rawat inap di ICU, dan lebih berisiko mengalami kematian. Tingginya angka kematian akibat COVID adalah akibat dari kegagalan kita menangani obesitas dan kelebihan berat badan," paparnya.

Untuk mengubah situsi ini, menurut Williams, perubahan kebijakan yang efektif perlu diterapkan di tingkat pemerintah.

 


Saran WHO

Ilustrasi obesitas (pixabay)

WHO menyarankan untuk membatasi pembukaan gerai-gerai takeaway di lingkungan berpenghasilan rendah, merekomendasikan penggunaan susu ibu, memperbaiki pelabelan makanan bayi, serta mempromosikan program makan sehat.

"Ini bukan hanya tentang memberitahu individu untuk mengubah perilaku mereka, ini tentang perubahan kebijakan. Iklan minuman berkadar gula tinggi perlu dibatasi, terutama untuk anak-anak. Pajak minuman berkadar gula tinggi harus ditingkatkan. Kita juga perlu meningkatkan akses ke layanan manajemen obesitas berkualitas tinggi," tutur Williams.

Menurut WHO, jumlah orang yang mengalami kelebihan berat badan dan obesitas di Eropa meningkat setiap tahunnya. Dibandingkan dengan 1975, data 2016 menunjukkan kenaikan lebih dari 138 persen.


Studi Ini Kuak Orang Obesitas Berisiko Rawat Inap Akibat COVID-19

Obesitas atau kegemukan bukan lagi menjadi hal yang aneh di masyarakat kini. Tetapi bukan berarti hal ini bisa dimaklumi atau dibiarkan.

Orang-orang yang obesitas berisiko tiga kali lebih mungkin dirawat di rumah sakit karena COVID-19 yang parah, daripada mereka yang menjaga bobot tubuh dalam kategori sehat. Demikian menurut sebuah penelitian yang diterbitkan Selasa 11 Agustus 2020 oleh jurnal journal Proceedings of the National Academy of Sciences.

Risiko rawat inap setelah infeksi Virus Corona jenis terbaru meningkat lebih dari 338 % untuk orang dewasa yang sangat gemuk dan 70% untuk orang dewasa yang agak gemuk. Sementara hampir 39% untuk mereka yang kelebihan berat badan, seperti yang dikutip dari UPI, Rabu (13/8/2020).

Studi menunjukan bahwa ada peningkatan risiko untuk orang yang memiliki berat badan sedang, menurut Mark Hamer, profesor kedokteran olahraga di University College London. 

Mengingat hingga dua pertiga dari semua orang dewasa "terpengaruh kehidupan negara Barat" mengalami kelebihan berat badan atau obesitas, hal ini menempatkan sebagian besar populasi pada peningkatan risiko penyakit parah selama pandemi, katanya lagi.

Ada risiko yang lebih tinggi untuk tertular COVID-19 bagi mereka yang obesitas. Hal ini dikarenakan ada ketidakmampuan tubuh untuk memproses gula dan lemak yang berlebih, sehingga dapat meningkatkan peradangan.

Temuan ini didasarkan pada analisis data kesehatan untuk 334.329 orang dewasa di Inggris, di antaranya 640, atau 0,2%, dirawat di rumah sakit karena COVID-19.

Hampir 67% dari semua peserta penelitian kelebihan berat badan atau obesitas dan hampir 5% menderita diabetes, kata para peneliti.

Peserta diklasifikasikan berdasarkan indeks massa tubuh, atau BMI, pengukuran berat badan dibandingkan dengan tinggi badan yang digunakan untuk menentukan obesitas. Untuk menghitung BMI, berat badan seseorang dibagi dengan kuadrat tinggi badan.

Untuk BMI orang yang kelebihan berat badan adalah 25-30, sedangkan orang yang benar-benar obesitas stadium I adalah 30 hingga 35, lalu orang dengan BMI diatas 35 dikategorikan sebagai orang obesitas berat. 

Infografis Obesitas

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya