Liputan6.com, Jakarta - Mantan CEO dan ketua Google, Eric Schmidt mengungkapkan, dirinya menginvestasikan “sedikit” uang ke dalam cryptocurrency. Namun, menurut dia bagian paling menarik dari blockchain bukanlah mata uang virtual, melainkan Web3.
Schmidt tidak menyebutkan cryptocurrency spesifik apa pun yang dia miliki saat ini, dengan mengatakan dia baru saja “mulai” berinvestasi di kripto.
"Model baru dari internet di mana Anda sebagai individu dapat mengontrol identitas Anda, dan di mana Anda tidak memiliki manajer terpusat, sangat kuat. Ini sangat menggoda dan sangat terdesentralisasi," ungkap Schmidt, dikutip dari CNBC, ditulis Sabtu (7/5/2022).
"Saya ingat perasaan ketika saya berusia 25 tahun bahwa desentralisasi akan menjadi segalanya,” lanjutnya.
Baca Juga
Advertisement
Web3 sendiri adalah nama yang diciptakan oleh beberapa teknolog sebagai jenis layanan internet baru yang dibangun menggunakan blockchain terdesentralisasi.
Idenya, secara teori adalah untuk membangun sebuah sistem yang jauh lebih sulit bagi beberapa perusahaan seperti Google, yang telah dibantu oleh Schmidt untuk mengubah dari perusahaan rintisan di Silicon Valley menjadi raksasa teknologi global untuk mengontrol sejumlah besar data internet dan konten.
Schmidt menjabat sebagai CEO Google dari 2001 hingga 2011, mengawasi salah satu periode pertumbuhan terbesar dan paling menonjol di perusahaan. Dia tetap sebagai ketua eksekutif hingga 2017, dan penasihat teknis hingga 2020.
Saat ini, Schmidt memiliki kekayaan bersih USD 20 miliar atau sekitar Rp 289 triliun, menjadikannya orang terkaya ke-80 di dunia, menurut Forbes.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Minat pada Web3
Akan tetapi, jika dia baru memulai sebagai insinyur perangkat lunak hari ini, dia ingin bekerja pada algoritma AI atau Web3.
Schmidt mengatakan, minatnya pada Web3 melibatkan konsep yang disebut "tokenomics," yang mengacu pada karakteristik penawaran dan permintaan spesifik dari cryptocurrency.
Schmidt juga mencatat Web3 dapat hadir dengan model baru untuk kepemilikan konten dan cara baru untuk memberi kompensasi kepada orang-orang.
“Web3 ekonomi menarik. Platformnya menarik dan pola penggunaannya juga menarik. Ini belum berhasil, tetapi akan berhasil,” tutur dia.
Bagi Schmidt, bagian dari masalah dengan teknologi blockchain saat ini adalah secara khusus masih merujuk Bitcoin sebagai pusat.
Tahun lalu, Schmidt ikut menulis buku, "The Age of AI," sebagai peta jalan tentang seperti apa masa depan teknologi itu.
Pada Desember, ia juga menjadi penasihat strategis untuk inisiatif penelitian Chainlink Labs yang berbasis di San Francisco, yang menggunakan teknologi blockchain untuk membangun “kontrak pintar” yang mendorong “keadilan ekonomi, transparansi, dan efisiensi,” menurut situs web inisiatif tersebut.
Advertisement
Mengenal Chainlink Coin, Token Kripto Milik Jaringan Oracle Chainlink
Sebelumnya, Chainlink (LINK) adalah jaringan oracle terdesentralisasi yang bertujuan untuk menghubungkan smart contract dengan data dari dunia nyata. Chainlink dikembangkan oleh Sergey Nazarov, dengan Steve Ellis sebagai salah satu pendiri lainnya.
Dilansir dari Coinmarketcap, Jumat, 6 Mei 2022, token kripto Chainlink yaitu LINK atau Chainlink Coin melakukan Initial Coin Offering (ICO) pada September 2017, mengumpulkan USD 32 juta atau sekitar Rp 463,3 miliar (asumsi kurs Rp 14.479 per dolar AS), dengan total suplai 1 miliar token LINK.
LINK, sebagai cryptocurrency asli jaringan oracle terdesentralisasi Chainlink, digunakan untuk membayar operator node komputer. Karena jaringan Chainlink memiliki sistem reputasi, penyedia node yang memiliki LINK dalam jumlah besar dapat diberi hadiah dengan kontrak yang lebih besar, sementara kegagalan untuk menyampaikan informasi yang akurat berakibat pada pengurangan token.
Para pengembang mendeskripsikan LINK sebagai token ERC20, dengan tambahan kegunaan transfer pengiriman dan panggilan ERC223 (alamat, uint256, byte), yang memungkinkan token diterima dan diproses oleh kontrak dalam satu transaksi.
Apa Itu Oracles?
Apa Itu Oracles?
Chainlink adalah platform yang bertujuan untuk menjembatani celah antara smart contract berbasis teknologi blockchain (yang dibuat meluas oleh Ethereum), dan aplikasi dunia nyata.
Karena blockchain tidak dapat mengakses data di luar jaringan mereka, oracle (instrumen defi) diperlukan untuk berfungsi sebagai penyuplai data dalam smart contract.
Dalam kasus Chainlink, oracle terhubung ke jaringan ethereum. Oracle menyediakan data eksternal (misalnya suhu, cuaca) yang memicu pelaksanaan smart contract setelah memenuhi kondisi yang telah ditentukan.
Peserta pada jaringan Chainlink diberi insentif (melalui hadiah) untuk menyediakan akses kepada smart contract atas daftar data eksternal.
Jika pengguna menginginkan akses ke data off-chain, mereka dapat mengirimkan kontrak permintaan ke jaringan Chainlink.
Kontrak ini akan mencocokkan kontrak yang meminta dengan oracles yang sesuai. Kontrak tersebut mencakup kontrak reputasi, kontrak pencocokan pesanan, dan kontrak agregat. Kontrak agregat mengumpulkan data dari oracle yang dipilih untuk menemukan hasil yang paling akurat.
Harga Chainlink (LINK)
Berdasarkan data Coinmarketcap, Jumat, 6 Mei 2022. harga LINK adalah Rp 158.052 dengan volume perdagangan 24 jam sebesar Rp 8.147.069.381.079.
LINK turun 10,71 persen dalam 24 jam terakhir. Sedangkan untuk peringkat Coinmarketcap saat ini adalah 24 dengan kapitalisasi pasar Rp 73.759.448.799.897. Hingga saat ini telah terjadi peredaran suplai sebanyak 467,009,550 LINK dari maksimal suplai 21 miliar LINK.
Advertisement