Liputan6.com, Semarang Kasus bunuh diri yang belakangan ini marak terjadi, seperti salah satunya yang terjadi di Sragen pada Jumat kemarin (7/5/2022). Yaitu seorang ayah bersama anaknya di kecamatan Gondang, Sragen ditemukan gantung diri. Tidak hanya itu, pada hari yang sama terdapat juga tiga warga Bumi Sokowati yang meninggal dengan keadaan gantung diri.
Rata-rata kasus bunuh diri yang terjadi disebabkan karena faktor ekonomi. Dengan melihat kasus tersebut, menuai tanggapan dari salah satu psikolog Kota Semarang Probowatie Tjondronegor. Ia menyebutkan pentingnya ada orang ketiga atau teman sebagai tempat cerita berbagai masalah. Sehingga tidak berpikiran pendek untuk mengakhiri hidup.
Advertisement
"Karena saat itu harus ada teman, mengobrol ataupun untuk curhat, karena situasi berat banget lah ini orang terdekat tidak ada, sehingga ia memutuskan berpikiran pendek mengakhiri hidup karena situasi stres banyak banget," kata Probowatie, Senin (9/5/2022).
Perempuan yang menjadi Psikolog di RS Elisabeth Semarang itu menjelaskan bahwa kasus tersebut itu disebabkan faktor ekonomi yang mendesak, apa lagi dengan kasus seorang ayah ditinggal oleh istrinya untuk bekerja di luar, sehingga ayah itu mau tidak mau menjadi menanggu beban semua keluarga di bahunya.
"Karena tekanan ekonomi saat ini berat banget, apalagi bapak itu yang istrinya bekerja di luar negeri. Jadi saat kita susah itu perlu ada yang bisa dibuat cerita atau berbagi bersama istrinya sedangkan istrinya tidak ada," ucapnya.
Wanita yang juga sempat menempuh pendidikan sarjana di Fakulutas Psikolog di Universitas Soegijapranoto itu mengatakan, penyebab orang bisa mengalami stres itu karena berbagai hal, salah satunya mungkin faktor lingkungan ataupun tidak bisa mengendalikan emosi.
Sehingga pentingnya ada tahap untuk bisa mengendalikan emosi ataupun bisa mudah beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Dia menyebutkan karena setiap orang memiliki tingkat stres yang berbeda-beda ataupun cara menghadapi stres itu sendiri.
"Melihat situasi stres, itu bisa lingkungan yang menuntut dia secara fisik dan emosional harus kuat, stres ini bisa dilihat dari gejalanya bisa kognitifnya bisa menjadi pemarah, bisa jadi tidak berpikir bisa juga fisiknya sakit, bisa juga emosional bisa juga prilakunya aneh itu gejala dari stree. Karena setiap individu ambang stresnya berbeda. Ada yang kuat ada yang tidak, agar mekanisme stres itu kita ada resiliensi pertahanan terhadap stres itu tiap orang berbeda," jelasnya.
Tidak hanya penyebab stres saja, lulusan S2 di Universitas Gajhah Mada ini menyampaikan setiap orang juga memiliik cara masing-masing untuk menyelesaikan permasalahan tersebut dengan memilik cara pandang yang berbeda.
Kesehatan Mental Tiap Pribadi Berbeda
Tidak hanya itu, setiap pribadi juga memiliki kesehatan mental yang berbeda-beda, sehingga pentingnya ada orang lain untuk mendengarkan cerita untuk membantu orang yang mengalami masalah agar mudah cepat beradaptasi dengan yang dialami.
"Ada setiap orang yang kuat, karena cara pandang kita berbeda, dan kesehatan mental pasti berbeda. Jadi bagaimana cara, kita memandang dunia berbeda sehingga orang-orang melihat berbeda, dengan tidak ada orang buat bercerita sehingga, adaptasi resiliensi mengenali adapatasi sehingga adaptasinya menjadi kurang," jelasnya.
Oleh demikian, cara yang lebih tepat untuk menanggani permasalahan tersebut lebih tepat untuk bisa saling bercerita dengan orang terdekatnya, agar bisa bersama-sama menyelesaikan masalah yang terjadi. Selain itu, pentingnya juga untuk juga merawat kesehatan tubuh.
"Gunanya teman seperti itu, bagaimana resiliasinya bisa kuat jelas merawat tumbuh yang sehat, kemudian kita mencari teman untuk mengobrol, positif thinking, cari teman untuk mengobrol sehingga kadang kita bisa mencurahkan isi hati," ujarnya.
Dia menyampaikan dengan kemunculan orang ketiga itu seitdaknya bisa memberikan suasana yang baru.
"Biasanya orang yang seperti ini adalah orang yang sendiri, jadi penting ada orang ketiga untuk bisa membantu bisa cepat beradaptasi, mungkin ada waktu untuk sendiri, setidaknya ada suasana baru," tuturnya.
Psikolog kelahiran 1952 itu pun juga berpesan kepada masyarakat untuk bisa mengubah cara pandang yang lebih baik.
"Maka dari itu ayoklah kita tidak bisa berharap dunia bisa berubah, tetapi kacamata kita yang berubah, cara pandang kita yang beruba, ini yang kita cermati," pesannya.
Advertisement