Liputan6.com, Jakarta - Sebuah studi terbaru terkait perdagangan manusia menyebut bahwa korban tak selayaknya dihukum seperti pelaku atau penjahat dalam kasus tersebut.
Korban perdagangan manusia tidak boleh dihukum atau dituntut atas tindakan ilegal yang mereka lakukan sebagai akibat dari perdagangan manusia - ini adalah fokus mendesak dari studi yang dipimpin oleh pakar hukum dan kebijakan internasional, Dr Marika McAdam, yang telah bekerja dengan PBB dan Program Penanggulangan Perdagangan ASEAN-Australia.
Advertisement
Konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Orang, Khususnya Perempuan dan Anak - diratifikasi oleh semua Negara Anggota ASEAN - menyatakan bahwa korban perdagangan manusia tidak boleh dihukum atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan karena diperdagangkan. Namun di seluruh kawasan, para korban perdagangan manusia dapat menghadapi hukuman atas pelanggaran imigrasi, penggunaan dokumen palsu, keterlibatan dalam prostitusi atau aktivitas terkait narkoba, atau untuk pelanggaran yang mereka lakukan saat mencoba melarikan diri dari situasi eksploitatif mereka.
Penulis studi Dr McAdam mengatakan penerapan prinsip non-hukuman sangat penting untuk komitmen yang telah dibuat negara-negara anggota ASEAN di bawah kerangka hukum kawasan.
Studi ini, seperti tertuang dalam pernyataan tertulis dari AICHR Indonesia di bawah naungan Kemlu RI, yang dikutip Senin 9 Mei 2022, mengkaji sejauh mana prinsip non-hukuman tercermin dalam undang-undang, kebijakan dan praktik, dan mengkaji hambatan yang dihadapi dalam melindungi korban dari hukuman.
Contoh-contoh anak yang dituntut atas komitmen pelanggaran selama diperdagangkan diangkat dalam konsultasi penelitian ini, termasuk untuk perdagangan anak-anak lain.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Alasan Prinsip Non-Hukuman untuk Korban Perdagangan Orang
Pelapor Khusus PBB untuk perdagangan orang, terutama perempuan dan anak-anak, Profesor Siobhan Mullaly mengatakan dia sangat bersyukur laporan ini mengkaji tantangan seputar implementasi dan penerapan prinsip [non-hukuman] di kawasan ASEAN.
"Saya menganggap laporan ini sangat penting dalam hal pengembangan analisis hukum kami tentang kesulitan dalam menerapkan dan memastikan penerapan prinsip non-hukuman dalam hukum internasional," kata Profesor Mullaly.
Perwakilan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) dari Indonesia di bawah Kemlu RI, Yuyun Wahyuningrum menjelaskan, "Fakta bahwa prinsip non-hukuman terhadap korban perdagangan orang termasuk dalam kerangka hukum semua Negara Anggota ASEAN dalam memerangi perdagangan orang, perlu dilaksanakan untuk memulihkan martabat, reputasi, dan menggunakan serta menikmati hak-hak mereka".
Temuan dan rekomendasi dari penelitian ini ditawarkan kepada pembuat undang-undang, pembuat kebijakan dan praktisi peradilan pidana di seluruh kawasan ASEAN, untuk mendukung upaya berkelanjutan mereka untuk melindungi hak asasi manusia para korban sebagai bagian terpenting dari tanggapan mereka terhadap perdagangan manusia.
Studi ini didukung oleh program Counter Trafficking ASEAN-Australia. Untuk salinan Studi “Implementasi prinsip Non-Hukuman bagi korban perdagangan manusia di Negara Anggota ASEAN”, kunjungi www.aseanact.org atau hubungi info@aseanact.org.
Advertisement
AS Ajak Negara Lain Perangi Perdagangan Orang Lebih Komprehensif
Laporan Perdagangan Orang (TIP Report) tahun 2021 mengirimkan pesan yang kuat kepada dunia bahwa krisis global, seperti pandemi COVID-19, perubahan ikilm, dan kebijakan serta praktik diskriminatif yang tak berkesudahan, memiliki efek yang tidak proporsional pada para individu yang telah ditindas oleh praktik ketidakadilan lainnya.
Tantangan ini semakin memperumit kerentanan yang telah ada terkait eksploitasi, termasuk perdagangan orang. Oleh sebab itu, kita harus memutus siklus diskriminasi dan ketidakadilan yang tidak manusiawi ini jika berharap suatu hari dapat menghapus perdagangan orang.
Departemen Luar Negeri AS berusaha keras untuk memajukan keamanan, kemakmuran, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh warga AS di seluruh dunia.
"Kami tahu peristiwa baru-baru ini telah membuat negara kami bergulat dengan perlakuan yang tidak setara dan rasisme di dalam negeri yang telah bergema ke seluruh dunia," jelas Menteri Luar Negeri Antony J. Blinken dalam keterangan tertulisnya yang disampaikan oleh Kedutaan AS di Jakarta dan dimuat Sabtu (3/7/2021).
"Sebagai pemerintah dan masyarakat, kami berusaha untuk memperbaiki kesalahan masa lalu dan memajukan kesetaraan ras di Amerika Serikat dan di luar negeri. Kami berkomitmen untuk membawa dedikasi ini dalam upaya kami untuk memerangi perdagangan orang juga.
Berkaca dengan situasi tersebut, AS pun berupaya untuk menggandeng pihak kompeten lainnya. "Kami akan berusaha memanfaatkan program kami sepanjang tahun dengan pemerintah, advokat, pegiat, dan sektor swasta untuk membangun strategi anti-perdagangan orang yang lebih efektif yang berakar pada kesetaraan," ucap Blinken.
"Hal ini harus mencakup menerima bahwa kita telah turut melanggengkan kekerasan dan tindakan yang tidak manusiawi, dan kita harus bekerja untuk memperbaiki kesalahan masa lalu ini," imbuh Antony Blinken.
Kasus Perdagangan Orang Semakin Meningkat Selama Pandemi COVID-19
Perdagangan orang sudah terjadi sejak lama dan masih berlangsung sampai saat ini.
Pada masa pandemi COVID-19 tahun 2020, perdagangan orang mengalami kenaikan kasus menjadi 400 kasus, padahal pada tahun 2019 berjumlah 213 kasus.
Menurut data dari IOM di Indonesia, sebagian besar korbannya adalah wanita dan anak-anak, yang 80 persen di antaranya mengalami eksploitasi secara seksual.
Tindak Pidana Perdagangan Orang (TOTP) masih belum menemukan solusi yang benar-benar bisa menuntaskan masalah ini.
Menurut Hariyanto Suwarno, Ketua SBMI, dalam sebuah webinar yang diadakan Kompas dengan tema "Tren, Polam dan Mekanisme Penanganan TPPO" kasus ini didukung oleh banyak faktor.
"Masalah perdagangan orang sampai saat ini belum tuntas. Karena ada banyak faktor seperti banyak orang Indonesia yang tidak mendapat pekerjaan di sini, akhirnya harus keluar dan terjebak dalam perdagangan ini."
Ada banyak cara yang dapat dilakukan oleh pelaku untuk bisa mendapatkan korban.
"Iming-iming pada calon korban sangat menggiurkan, sehingga sangat menguntungkan untuk orang-orang yang kesulitan ekonomi atau anak sekolah di bawah umur," kata Maizidah Salas, Penyintas, Ketua DPC SBMI Wonosobo.
Hampir 70 persen korban perdagangan orang dieksploitasi dalam perekonomian swasta, dengan beberapa industri berisiko tinggi adalah pertanian, perikanan, tekstil, dan pakaian jadi.
Menghentikan kasus ini memang tidak mudah, namun hal ini harus menjadi perhatian pemerintah dan melakukan upaya pencegahan.
Menurut Judha Nugraha, Direktur PWNI dan BHI Kementerian Luar Negeri, "pencegahan yang dapat dilakukan salah satunya dengan melakukan konseling."
Hal ini bisa berdampak baik agar tidak semakin banyak yang mudah tergiur oleh tawaran yang akan menjerumuskan.
Advertisement