KPK Setor Rp3,5 Miliar Uang Denda dan Pengganti Eks Gubernur Sultra Nur Alam ke Kas Negara

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyetor uang Rp3,5 miliar dari uang denda dan kewajiban uang pengganti dari mantan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 10 Mei 2022, 17:22 WIB
Ilustrasi KPK. (Liputan6.com/Fachrur Rozie)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyetor uang Rp3,5 miliar dari uang denda dan kewajiban uang pengganti dari mantan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nur Alam.

"Tim Jaksa Eksekutor KPK telah melakukan penyetoran ke kas negara pelunasan uang hasil penagihan dengan total sejumlah Rp 3,5 miliar dari Terpidana Nur Alam berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Selasa (10/5/2022).

Ali mengatakan, penagihan yang dilakukan tim jaksa KPK kepada Nur Alam merupakan bagian dari pemulihan ekonomi negara dari hasil tindak pidana korupsi yang dinikmati oleh para koruptor.

"KPK melalui Direktorat pengelolaan barang bukti dan eksekusi terus aktif melakukan penagihan uang denda maupun uang pengganti terhadap para terpidana korupsi yang perkaranya ditangani KPK," kata Ali.

Diketahui, Nur Alam dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor. Nur Alam melanggar Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Nur Alam dinyatakan melakukan penyalahgunaan wewenangnya dengan menerbitkan izin usaha petambangan (IUP) eksplorasi tambang terhadap PT Anugerah Harisma Barakah.


Vonis

Nur Alam divonis 12 tahun penjara denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Hak politik Nur Alam juga dicabut hakim selama 5 tahun usai menjalani pidana pokok.

Tak terima dengan vonis tersebut, Nur Alam melalui kuasa hukumnya, Maqdir Ismail mengajukan upaya hukum banding. Tak hanya pihak Nur Alam, pihak KPK pun turut serta mengajukan banding atas vonis 12 tahun tersebut.

Pasalnya, vonis 12 tahun hakim Pengadilan Tipikor ini lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK, yakni 18 tahun penjara.

Alhasil, dalam putusan banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman Nur Alam menjadi 15 tahun penjara denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

"Mengubah putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor 123/Pid.Sus/TPK/2017/PN.Jkt.Pst menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa Nur Alam dengan pidana penjara 15 tahun dan pidana denda sebesar Rp 1 miliar," ujar Humas Pengadilan tinggi DKI Jakarta, Johanes Suhadi, Jumat (20/7/2018).

Putusan dengan nomor 16/Pid.Sus-TPK/2018/PT.DKI itu juga menjatuhkan pidana tambahan terhadap Nur Alam berupa membayar uang pengganti sebesar Rp 2,781,000,000 yang harus dibayarnya satu bulan setelah putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Selain itu Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik Nur Alam selama lima tahun setelah menjalani pidana pokok.


Kasasi

Tak terima vonis kliennya diperberat PT DKI, Maqdir mengajukan kasasi. Menurut Maqdir, vonis yang dijatuhkan pada tingkat banding itu tak masuk akal.

"Tentu akan kasasi," ujar Maqdir saat dikonfirmasi, Jumat (20/7/2018).

Kasasi yang diajukan Maqdir berbuah manis. Mahkamah Agung (MA) mengembalikan vonis Nur Alam menjadi 12 tahun sesuai dengan putusan pengadilan tingkat pertama.

Masih tak puas, pihak Nur Alam mengajukan upaya hukum peninjauan kembali (PK), namun sia-sia. Vonis Nur Alam tetap 12 tahun.

Dalam persidangan, Dosen Fakultas Kehutanan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Basuki Wasis menyebut izin usaha nikel yang diterbitkan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam menyebabkan kerusakan lingkungan.

Hal tersebut dia jelaskan saat dihadirkan sebagai saksi ahli untuk terdakwa Nur Alam dalam kasus, persetujuan Izin Usaha Pertambangan (IUP), Eksplorasi dan Persetujuan Peningkatan IUP ‎Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB).

Awalnya, Basuki Waris menyebut dirinya sempat diminta KPK untuk menghitung dan meneliti dampak kerusakan alam di area pertambangan nikel PT AHB, di Pulau Kabaena.

“Saya hadir di proses lidik Mei 2016. Kemudian saya diminta jadi ahli di sidik pada 21 dan 22 Februari 2017. Tahapannya surat perintah permintaan KPK ke KLH. Lalu diminta institusi kami untuk melihat ada unsur kerusakan dan perhitungan,” ujar Basuki Wasis di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (14/2/2018).

Kemudian hakim bertanya apakah kegiatan penelitian dampak kerusakan di daerah tersebut diketahui Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

“Iya,” jawab Basuki Wasis yang merupakan ahli di bidang kerusakan tanah.


Memperkaya Diri

Nur Alam didakwa bersama-sama dengan Kepala Bidang Pertambangan Umum pada Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Sulawesi Tenggara, Burhanuddin dan Direktur PT Billy Indonesia, Widdi Aswindi menerima hadiah Rp 2.781.000.000‎.

Selain memperkaya diri sendiri, perbuatan terdakwa juga memperkaya PT Billy Indonedia sebesar Rp 1.593.604.454.137. Penerimaan uang itu terkaig penerbitan IUP nikel.

Atas perbuatan Nur Alam, negara disebut menderita kerugian sebesar Rp 4.325.130.590.137. Atau setidak-tidaknya Rp 1.596.385.454.137.

 

Infografis Kronologi OTT KPK terhadap Bupati Ade Yasin. (Liputan6.com/Trieyasni)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya