Tanggapi KPK, Kuasa Hukum: Nur Alam Sukarela Lunasi Uang Pengganti Rp3,5 Miliar

Didi Supriyanto selaku kuasa hukum mantan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Nur Alam, membantah kliennya membayar uang denda dan pengganti Rp3,5 miliar karena ditagih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

oleh Fachrur Rozie diperbarui 12 Mei 2022, 18:22 WIB
Gubernur Sulawesi Tenggara Nur Alam (tengah) mengenakan rompi tahanan KPK saat tiba di gedung KPK, Jakarta, Jumat (21/7) (Liputan6.com/Helmi Afandi)

Liputan6.com, Jakarta - Didi Supriyanto selaku kuasa hukum mantan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Nur Alam, membantah kliennya membayar uang denda dan pengganti Rp3,5 miliar karena ditagih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Menurut Didi, kliennya melunasi uang denda dan pengganti lantaran kesadaran sebagai warga negara yang tak hukum.

"Pelunasan uang denda dan pengganti Rp3,5 miliar dilakukan secara sukarela oleh Nur Alam atas kesadaran sebagai warga negara yang taat hukum, bukan karena ditagih oleh KPK," ujar Didi dalam keterangannya, Kamis (12/5/2022).

Selain itu, menurut Didi, pihak Nur Alam juga tak terima kliennya disebut melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana keterangan resmi dari Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri.

Pasalnya, Didi mengatakan, dalam vonis Pengadilan Tipikor, Nur Alam dibebaskan dari dakwaan melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana ketentuan Pasal 2 UU Tipikor dalam menerbitkan pencadangan wilayah, IUP eksplorasi, dan IUP operasi produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah (AHB).

Selain itu, menurut Didi, berdasarkan amar dan pertimbangan hukum putusan Mahkamah Agung di tingkat kasasi Nomor 2633 K/PID.SUS/2018 tertanggal 5 Desember 2018, Nur Alam juga dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi penyalahgunaan kewenangan dalam menerbitkan pencadangan wilayah, IUP eksplorasi dan IUP operasi produksi kepada PT AHB.

Menurut Didi, MA melalui putusan kasasi tersebut telah membebaskan Nur Alam dari dakwaan tindak pidana korupsi seperti yang diatur di Pasal 3 UU Tipikor. Majelis Hakim Agung tingkat kasasi juga menegaskan tidak terbukti adanya dugaan kerugian negara sebesar Rp 4,3 triliun sebagaimana yang didakwakan.

"Dengan demikian tidak benar segala pemberitaan di media yang menyebut Nur Alam melakukan tindak pidana korupsi karena bertentangan putusan kasasi MA itu sendiri," kata Didi Supriyanto.

Menurut Didi yang juga mantan legislator DPR-RI dari PDIP ini, berdasarkan putusan kasasi MA, Nur Alam dianggap menerima gratifikasi sebesar USD 4,49 juta Rp 40,26 miliar sebagaimana ketentuan Pasal 12B UU Tipikor.

Menurut Didi, atas dasar itu Nur Alam mengajukan permohonan peninjauan kembali.

"Jadi urusan gratifikasi ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan penerbitan IUP kepada PT AHB. KPK salah besar kalau menganggap hal tersebut berkaitan. Seharusnya KPK lebih berhati-hati lagi dalam memberi pernyataan ke publik, jangan terkesan ada penggiringan opini yang menyesatkan publik karena tidak sesuai dengan fakta hukum dan putusan pengadilan. Berani mengingkari putusan kasasi Mahkamah Agung sama artinya melabrak tatanan hukum tertinggi di republik ini," Didi menambahkan.


Disetor ke Kas Negara

Sebelumnya, KPK telah menyetor uang Rp3,5 miliar dari denda dan kewajiban uang pengganti dari Nur Alam.

"Tim Jaksa Eksekutor KPK telah melakukan penyetoran ke kas negara pelunasan uang hasil penagihan dengan total sejumlah Rp 3,5 miliar dari Terpidana Nur Alam berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap," ujar Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri dalam keterangannya, Selasa (10/5/2022).

Ali mengatakan, penagihan yang dilakukan tim jaksa KPK kepada Nur Alam merupakan bagian dari pemulihan ekonomi negara dari hasil tindak pidana korupsi yang dinikmati oleh para koruptor.

"KPK melalui Direktorat pengelolaan barang bukti dan eksekusi terus aktif melakukan penagihan uang denda maupun uang pengganti terhadap para terpidana korupsi yang perkaranya ditangani KPK," kata Ali.

Diketahui, Nur Alam dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor. Nur Alam melanggar Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Nur Alam dinyatakan melakukan penyalahgunaan wewenangnya dengan menerbitkan izin usaha petambangan (IUP) eksplorasi tambang terhadap PT Anugerah Harisma Barakah.

Nur Alam divonis 12 tahun penjara denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Hak politik Nur Alam juga dicabut hakim selama 5 tahun usai menjalani pidana pokok.


Banding

Tak terima dengan vonis tersebut, Nur Alam mengajukan upaya hukum banding. Tak hanya pihak Nur Alam, pihak KPK pun turut serta mengajukan banding atas vonis 12 tahun tersebut.

Pasalnya, vonis 12 tahun hakim Pengadilan Tipikor ini lebih rendah dari tuntutan jaksa KPK, yakni 18 tahun penjara.

Alhasil, dalam putusan banding, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat hukuman Nur Alam menjadi 15 tahun penjara denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan.

"Mengubah putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat nomor 123/Pid.Sus/TPK/2017/PN.Jkt.Pst menjatuhkan pidana oleh karena itu kepada terdakwa Nur Alam dengan pidana penjara 15 tahun dan pidana denda sebesar Rp 1 miliar," ujar Humas Pengadilan tinggi DKI Jakarta, Johanes Suhadi, Jumat (20/7/2018).

Putusan dengan nomor 16/Pid.Sus-TPK/2018/PT.DKI itu juga menjatuhkan pidana tambahan terhadap Nur Alam berupa membayar uang pengganti sebesar Rp2,781,000,000 yang harus dibayarnya satu bulan setelah putusan Pengadilan berkekuatan hukum tetap.

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik Nur Alam selama lima tahun setelah menjalani pidana pokok.

Infografis Klaim KPK di Hari Antikorupsi Sedunia. (Liputan6.com/Trieyasni)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya