BI Buka Ruang Normalisasi Kebijakan Moneter, Suku Bunga Acuan Bakal Naik?

Bank Indonesia akan menjalankan kebijakan moneter dengan lebih mengutamakan pro stability untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 13 Mei 2022, 18:00 WIB
Gubernur BI Perry Warjiyo (kanan) didampingi DGS Destry Damayanti memberi keterangan pers hasil Rapat Dewan Gubernur di Kantor BI, Jakarta, Kamis (19/9/2019). Bank Indonesia menurunkan suku bunga acuan BI 7 Days Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin menjadi 5,25 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) tengah melihat kondisi perekonomian nasional untuk melakukan normalisasi kebijakan moneter. Itu berarti pihak bank sentral juga berpotensi melakukan perubahan suku bunga acuan yang telah tertahan di level 3,5 persen selama 14 bulan beruntun.

Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti mengatakan, pertumbuhan ekonomi pada kuartal I 2022 sebesar 5,01 persen year on year telah memberikan harapan lebih baik lagi dibanding tahun sebelumnya. Namun demikian, negara masih akan menghadapi tiga tantangan utama.

"Pertama, normalisasi kebijakan moneter di negara maju. Kedua, masih terdapatnya dampak dari pandemi di sektor riil. Dan yang ketiga, berlanjutnya ketegangan politik antara Rusia dan Ukraina," ungkapnya dalam acara peluncuran Buku Kajian Stabilitas Keuangan Nomor 38, Jumat (13/5/2022).

Secara global, Destry melihat tekanan inflasi yang terus menguat. "Sehingga ini harus diimbangi dengan normalisasi yang agresif yang dilakukan bank sentral dengan meningkatkan suku bunga kebijakannya. Tentunya juga dengan mengurangi likuiditas sistem keuangan," imbuhnya.

Namun, ia menilai, kebijakan itu pastinya memberikan ketidakpastian lebih lanjut, dengan semakin terbatasnya aliran modal ke emerging market, termasuk juga ke Indonesia.

Meskipun demikian, Destry bersyukur karena dari sisi domestik di triwulan I 2022 pertumbuhan ekonomi kita bisa mencapai 5,01 persen secara tahunan.

"Ini tentunya memberikan harapan adanya perbaikan ekonomi, dan kita masih bisa sangat optimis bahwa perekonomian kita pada 2022 ini dapat tumbuh di range 4,5-5,3 persen," ujar dia.

Kendati begitu, pemerintah pun perlu mencermati beberapa hal yang masih dirasakan hingga saat ini. Diantaranya, efek memar atau scarring effect sebagai dampak akibat pandemi yang berkepanjangan sejak tahun 2020.

"Oleh karena itu, normalisasi kebijakan yang terlalu prematur akan sangat berisiko untuk pemulihan ekonomi. Namun, apabila terlalu lambat juga akan berdampak pada akselerasi risiko yang lebih cepat," sebut dia.

"Kebijakan moneter akan lebih diutamakan untuk pro stability untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Melalui bauran kebijakan tersebut, secara terukur Bank Indonesia akan mengambil kebijakan normalisasi yang diharapkan tidak mengakibatkan tertahannya pemulihan ekonomi," tandasnya.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Indonesia Dinilai Sudah Bisa Keluar dari Tekanan Ekonomi Akibat Pandemi Covid-19

Suasana gedung bertingkat dan permukiman warga di kawasan Jakarta, Senin (17/1/2022). Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 mencapai 5,2 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu memastikan, saat ini Indonesia termasuk negara yang sudah dapat keluar dari kondisi tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Sebagai tolak ukur, ia menggunakan perbandingan kondisi ekonomi pada 2019 atau sebelum Covid-19. Secara perhitungan, Indonesia termasuk satu dari sekian kecil negara yang sudah berada di atas kondisi pra pandemi.

"Berdasarkan data di kuartal I 2022 ini, kita sudah keluar dari kondisi pra pandemi, dimana saat ini kita sudah berada di 3 persen di atas rata-rata PDB tahun 2019," kata Febrio dalam sesi bincang media secara virtual, Jumat (13/5/2022).

Menurut dia, kondisi ini tentunya sangat menggembirakan. "Artinya, perekonomian kita terus pulih dan terus semakin tinggi di atas level PDB tahun 2019 lalu," imbuhnya.

Indonesia disebutnya patut bersyukur atas kondisi ini. Pasalnya, banyak negara yang sebenarnya masih terlilit dampak wabah Covid-19.

Febrio mencontohkan Filipina, yang pertumbuhan ekonomi di kuartal I 2022 lalu mencapai 8,3 persen.

"Tetapi perekonomiannya masih 4 persen di bawah level PDB tahun 2019. Terutama disebabkan oleh kontraksi yang sangat dalam pada pertumbuhan ekonomi Filipina di tahun 2020 lalu," terang dia.

Selain itu, tanda-tanda pemulihan ekonomi global pun dapat dilihat dari kondisi industri manufaktur di negara berkembang maupun negara maju, dimana mayoritas sudah berekspansi.

Namun, ia menyoroti masih ada risiko yang harus dihadapi. Contohnya akibat penerapan Zero COVID-19 Policy yang diterapkan di China yang bakal turut berpengaruh kepada aktivitas manufaktur.

"Sementara Rusia Ukraina yang memiliki konflik geopolitik juga masih terkontraksi pada sektor manufakturnya. Sehingga inilah risiko-risiko yang masih harus kita hadapi dan coba mitigasi dalam konteks perekonomian global," tuturnya.


Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Capai 5,01 Persen di Kuartal I 2022

Sebuah kereta melintas di kawasan Jakarta, Sabtu (19/3/2022). Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meningkat lebih tinggi, pada kisaran 4,7 persen hingga 5,5 persen, dari pertumbuhan 3,69 persen pada 2021. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia kuartal I-2022 sebesar 5,01 persen. Angka ini mengalami kontraksi 0,96 persen dibandingkan pada kuartal IV-2021 yang pertumbuhannya 5,02 persen

"Dengan demikian pertumbuhan ekonomi kuartal I secara kuartal mengalami kontraksi 0,96 persen dibandingkan dengan kuartal IV-2021 dan ekonomi indonesia tumbuh 5,01 persen secara tahunan," kata Kepala BPS, Margo Yuwono di Gedung BPS, Jakarta Pusat, Senin (9/5).

Margo menjelaskan kontraksi tersebut disebabkan tingkat pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2021 berada di posisi low base effect. Sebab pada tahun tersebut pertumbuhannya terkoneksi 0,70 persen.

"Tingginya angka pertumbuhan ini selain karena aktivitas ekonomi, karena low base effect kuartal I yang terkontraksi 0,70 persen," kata dia.

Sementara itu, ekonomi Indonesia bila dihitung berdasarkan PDB pada kuartal I-2022 atas dasar harga berlaku sebesar Rp 4513 triliun. Sedangkan bila berdasarkan harga konstan Rp 2819,6 triliun.

Adapun faktor pendukung pertumbuhan ekonomi tersebut antara lain kapasitas produksi industri pengolahan sebesar 72,54 persen. Indeks penjualan ritel dini tumbuh meyakinkan 12,17 persen.

Dari PMI manufaktur mencapai level 51,77 persen, lebih tinggi dari Q1-2021 sebesar 50,01 persen. PLN juga melaporkan konsumsi listrik industri ini tumbuh meyakinkan sebesar 15,44 perse.

"Artinya aktivitas sektor industri mengalami pertumbuhan," kata dia.

Impor barang modal dan produksi ini tumbuh pada kuartal I-2022. Barang modal tumbuh 30,68 persen, bahan baku tumbuh 33,4 persen dan barang konsumsi tumbuh 11,77 persen.


Sri Mulyani: Pertumbuhan Ekonomi Kuartal I 2022 Sesuai Target

Suasana gedung perkantoran di Jakarta, Sabtu (17/10/2020). International Monetary Fund (IMF) memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020 menjadi minus 1,5 persen pada Oktober, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya pada Juni sebesar minus 0,3 persen. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal I 2022 tersebut telah sesuai dengan proyeksi yang dibuat pemerintah.

"Kita melihat pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen ini sesuai dengan proyeksi yang di Kementerian Keuangan lakukan. Walaupun selalu ada di range-nya tapi poin estimate kita sangat mendekati," kata Sri Mulyani, Jakarta, Kamis (12/5/2022).

Menurutnya, kenaikan tersebut harus syukuri karena terjadi ditengah situasi dan kondisi yang banyak tantangannya. Selain pemulihan ekonomi di berbagai negara yang tidak sama, eskalasi politik Rusia-Ukraina menjadi tantangan tersendiri.

Konflik dua negara tersebut telah berhasil mendorong kenaikan inflasi di berbagai negara dngan cepat. Inflasi di negara-negara maju melonjak di atas 5 persen yakni Amerika Serikat di atas 8 persen dan Eropa diatas 7 persen.

Kenaikan inflasi ini menurutnya ini pasti akan direspon dengan pengetatan kebijakan moneter.

"Kita semua tahu mengenai perang yang terjadi di Ukraina yang menimbulkan spill over atau rambatan yang sangat banyak dan sangat pelik, yaitu jadinya disruption supply dan juga dari sisi kenaikan harga-harga komoditas yang akan memunculkan tantangan yang jauh lebih rumit," paparnya.

Infografis Laju Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan Produk Domestik Bruto 2019-2021. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya