Menteri ESDM: Pemerintah Kalibrasi Ulang Implementasi Pajak Karbon

Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif buka suara mengenai alasan penundaan penerapan pajak karbon di Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 24 Okt 2022, 13:33 WIB
Emisi karbon merupakan kunci penting untuk menghindari perubahan iklim saat ini. Solusinya adalah mesin penghisap karbon di Swiss. (Pixabay)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif buka suara mengenai alasan penundaan penerapan pajak karbon di Indonesia. Faktor yang sangat dominan adalah kondisi ekonomi nasional yang mencoba untuk bangkit. 

Arifin menjelaskan, pemerintah saat ini masih melakukan kalibrasi ulang implementasi pajak karbon. Masih banyak tantangan yang menghadang ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian ekonomi.

Menurutnya, faktor utama penundaan pajak karbon ini karena pemerintah tak ingin industri yang terdampak pajak karbon justru mengalami tekanan besar jika diberlakukan saat ini. Kemudian perlu dilakukan uji coba sebelum menerapkan kebijakan secara penuh.

"Dengan situasi kaya sekarang ini kita harus rekalkulasi kembali dampak-dampaknya," katanya dikutip dari Belasting.id, Senin (17/10/2022).

Sebelumnya, Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan pertama kali penundaan pajak karbon. Menurutnya, implementasi pajak karbon tidak berdiri sendiri.

Kebijakan fiskal tersebut bagian dari skema perdagangan karbon. Oleh karena itu, kedua instrumen tersebut diproyeksikan berlaku pada 2025.

"Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca dan target NCD pada 2060 atau lebih cepat. Salah satu yang akan diterapkan diawal adalah perdagangan karbon dan pajak karbon yang ditargetkan akan berfungsi pada tahun 2025," katanya dalam acara Capital Market Summit & Expo 2022.


Tahap Awal PLTU

Kondisi hutan bakau di pesisir kawasan Marunda, Jakarta, Selasa (27/8/2019). Tutupan hutan tersebut berakibat bertambahnya emisi karbon dioksida hingga 4,69 kilo ton. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Seperti diketahui, tahap awal penerapan pajak karbon baru berlaku pada pembangkit listrik yang menggunakan sumber energi dari batu bara. Kebijakan tersebut menetapkan tarif pajak karbon sejumlah Rp 30 per Kg emisi karbondioksida ekuivalen.

Kemudian tahap kedua menggunakan skema tarif berdasarkan 1,2x harga karbon rata-rata atau Rp 30 per Kg CO2 tergantung skema mana yang paling tinggi ke pendapatan negara.

"Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca dan target NCD pada 2060 atau lebih cepat. Salah satu yang akan diterapkan diawal adalah perdagangan karbon dan pajak karbon yang ditargetkan akan berfungsi pada tahun 2025," katanya dalam acara Capital Market Summit & Expo 2022.


RI Bakal Pimpin Pasar Karbon Dunia, Ini Alasannya

Ilustrasi emisi karbon (unsplash)

Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, mengatakan penetapan harga karbon sangat penting dalam mengatasi perubahan iklim. Lantaran, dapat memberikan insentif untuk mengurangi emisi.

“Sebagai salah satu alat kebijakan pemerintah, penetapan harga karbon sangat penting dalam mengatasi perubahan iklim karena memberikan insentif untuk mengurangi emisi,” kata Mahendra dalam International Seminar on Carbon Trade 2022, Selasa (27/9/2022).

Mahendra menjelaskan, pada 22 April 2022 terdapat 268 instrumen penetapan harga karbon, termasuk pajak karbon dan skema perdagangan emisi telah dikembangkan secara global.

Meski dengan cakupan yang masih rendah, di sinilah Indonesia dapat melangkah dan memanfaatkan keunggulan sebagai pemimpin untuk menggunakan inisiatif pasar karbon untuk memberikan alternatif pembiayaan bagi sektor riil.

Menurutnya, Indonesia kaya dengan Sumber daya alam, dan Indonesia berpotensi besar untuk memimpin perdagangan karbon di dunia. Sebab, memiliki Kawasan hutan tropis terbesar ketiga di dunia yakni 125 juta hektar.

“Indonesia memiliki potensi besar untuk memimpin (perdagangan karbon), Indonesia memiliki hutan tropis terbesar ketiga di dunia seluas 125 juta hektar. Indonesia diperkirakan mampu menyerap 25 Miliar karbon. Ini belum termasuk hutan bakau dengan potensi penyerapan karbon yang lebih besar,” kata Mahendra.

Infografis Waspada Cuaca Ekstrem di Indonesia. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya