Pemilu Lebanon 2022 Digelar, Pertama Sejak Krisis Ekonomi

Pemilu Lebanon 2022 digelar di tengah pantauan donor internasional yang menyaratkan reformasi struktural di Beirut sebagai jaminan kucuran dana bantuan.

Oleh DW.com diperbarui 15 Mei 2022, 07:00 WIB
Ilustrasi bendera Lebanon. (Unsplash/ Charbel Karam)

, Beirut - Warga Lebanon pada Minggu (15/5/2022) akan mencoblos untuk pertama kali sejak didera krisis ekonomi.

Pemilu Lebanon digelar di tengah pantauan donor internasional yang menyaratkan reformasi struktural di Beirut sebagai jaminan kucuran dana bantuan.

Mengutip DW Indonesia, tingkat partisipasi diprediksi akan rendah, meski krisis yang kian melumpuhkan perekonomian nasional. Analis meyakini, kandidat yang mendukung reformasi akan berpeluang menang kali ini. 

Namun sistem sektarian di Lebanon, yang membagi jatah kursi di parlemen kepada 11 kelompok agama, dinilai membatasi gerakan menuju perubahan dan membentoni kekuasaan partai-partai besar.

Pada pemilu legislatif 2018 lalu, kelompok Syiah Hizbullah menggalang koalisi mayoritas, termasuk dengan partai Kristen, Gerakan Patriotik Bebas (FPM), yang bermodalkan 71 dari 128 kursi di parlemen. 

Hasil tersebut menyeret Beirut semakin mendekat ke Iran dan sekaligus menjauhi Arab Saudi, adidaya regional lain yang mendukung kelompok Sunni. Hizbullah sendiri meyakini hasil pemilu Lebanon 2022 tidak akan membawa banyak perubahan.

Dominasi Elit Lama

Sumber Reuters di Beirut meyakini, Perdana Menteri Najib Mikati berpeluang terpilih kembali melalui koalisi bersama Hizbullah. Rabu 12 Mei kemarin, dia mengatakan siap kembali menjabat perdana menteri jika proses pembentukan kabinet berlangsung cepat.

Prospek berlanjutnya kekuasaan Hizbullah diyakini akan menjadi isu besar dalam pemilu kali ini. Bekas PM Fouad Siniora, rival politik Hizbullah yang kini berkampanye untuk partai Sunni, mengatakan "tren terpenting adalah politik yang semakin terpecah-belah setelah pemilu, antara pro- atau anti-Hizbullah," kata dia.

Dia menyerukan warga Lebanon untuk mengusir Iran dengan mencoblos, "dan mempertahankan ke-Arab-an Lebanon.”

Namun bagi Nabil Bou Monsef, Pemimpin Redaksi Harian Annahar, kedigdayaan elektroal Hizbullah turut bersumber pada kegagalan kelompok oposisi. "Kelas politik ini mampu bangkit kembali karena kekuatan oposisi ambruk, dan tidak tahu bagaimana membenahi diri," kata dia.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Tantangan Ekonomi

Ilustrasi Lebanon. (Freepik/Allexxandar)

Apapun hasilnya, analis mengatakan Lebanon bakal menghadapi periode kelumpuhan menyusul tarik-ulur kekuasaan antarpartai setelah pemilu. Hal ini dikhawatirkan bisa memperlambat upaya reformasi.

Pemerintah di Beirut sejauh ini sudah menyepakati kerangka bantuan ekonomi senilai USD 3 miliar  dengan Dana Moneter Internasional (IMF). Tapi, kucuran dana bergantung pada seberapa cepat Lebanon mengimplementasikan langkah reformasi.

Menurut PBB, sebanyak 80 persen penduduk jatuh ke bawah garis kemiskinan. Krisis tidak hanya melumat lapangan kerja, tetapi juga memicu kelangkaan pangan, bahan bakar dan pemadaman berkala listrik.

Kebangkrutan negara di Lebanon termasuk krsis ekonomi paling parah sejak pertengahan abad ke19, kata Bank Dunia. 

"Lebanon harus menunjukkan komitmen dan membangun kredibilitas melalui langkah-langkah reformasi, sebelum dunia internasional bisa mengucurkan dana bantuan," kata Wakil Perdana Menteri, Saade Chami, kepada AFP. 

"Bolanya ada di tangan kami," imbuhnya.

 


Lebanon Gelar Protes Nasional Buntut Krisis Ekonomi Kian Memburuk

Ilustrasi Lebanon. (Unsplash/Christelle Hayek @christelle_silentwarrior)

Sebelumnya, Lebanon pada Kamis 13 Januari  2022 menggelar protes nasional terhadap melonjaknya harga dan memburuknya kondisi kehidupan, yang disebabkan oleh krisis ekonomi jangka panjang.

Pengemudi dan warga turun ke jalan dan melakukan demo di ibu kota Beirut, Tripoli, Khalde dan kota-kota lain, demikian dikutip dari Xinhua, Jumat (14/1/2022).

Mereka memarkirkan mobil di tengah jalan dan membakar tempat sampah untuk memblokir jalan utama.

Fadi Abou Chakra, juru bicara serikat stasiun bahan bakar Lebanon, mengatakan kepada Xinhua bahwa jatuhnya mata uang Lebanon telah berdampak pada setiap aspek kehidupan di negara itu.

"Masyarakat sudah tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan pokoknya, apalagi mengisi mobil dengan bensin yang harganya naik menyusul kenaikan harga dolar Amerika Serikat sementara gaji masyarakat tetap," katanya.

Ali Bazzi, seorang sopir taksi, mengatakan bahwa dia tidak mampu lagi membeli bahan bakar untuk mobilnya akibat krisis di Lebanon.

Lebanon telah menderita krisis keuangan yang belum pernah terjadi sebelumnya di tengah kekurangan dolar AS.

Hal ini telah menyebabkan jatuhnya mata uang lokal, menjerumuskan lebih dari 78 persen populasi ke dalam kemiskinan.

Kabinet yang dibentuk pada September lalu tidak bertemu selama tiga bulan, karena masalah persaingan politik yang berbeda dalam masalah penyelidikan ledakan pelabuhan Beirut 2020.

Pound Lebanon, yang dipatok ke dolar AS pada tingkat 1.500 pound per dolar hingga krisis meletus pada 2019, telah runtuh dan diperdagangkan di pasar paralel pada Kamis (13/1) sekitar 31.500 pound terhadap satu dolar Amerika Serikat.


Paus Fransiskus Janji Akan Bantu Lebanon Untuk Kembali Bangkit

Paus Fransiskus. (Remo Casilli/Pool Photo via AP)

Sebelumnya, Paus Fransiskus bertemu dengan Perdana Menteri Lebanon pada Kamis (25/11). Dia mengumpamakan negara itu bagaikan orang yang sekarat dan berjanji akan melakukan segala daya untuk membantunya "bangkit kembali."

Vatikan dalam pernyataannya mengatakan Paus Fransiskus dan Perdana Menteri Najib Mikati, yang menjabat sejak September lalu setelah terjadi kevakuman selama setahun pada pemerintahan, bertemu secara pribadi selama sekitar 20 menit dan membahas krisis ekonomi dan sosial yang menghancurkan negara itu.

Dampak dari ambruknya keuangan Lebanon pada 2019 telah membuat sebagian besar negara itu berada dalam kemiskinan dan donor asing menuntut audit bank sentral dan reformasi keuangan sebelum mereka bersedia mengeluarkan dana.

Badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memperingatkan bencana sosial, dengan satu laporan mengatakan bahwa lebih dari separuh dari keluarga-keluarga di Lebanon memiliki setidaknya satu anak yang hanya mampu makan sekali sehari di tengah memburuknya kondisi kehidupan secara dramatis.

"Lebanon adalah sebuah negara, sebuah pesan dan bahkan janji yang layak diperjuangkan," kata Paus Fransiskus kepada delegasi Lebanon setelah pertemuan pribadi tersebut.

Infografis Dahsyatnya Ledakan di Beirut Lebanon (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya