Liputan6.com, Jakarta - Pusat ekonomi terbesar kedua di dunia, Shanghai mulai membuka kembali bisnis secara bertahap, termasuk pusat perbelanjaan dan salon, setelah berminggu-minggu dalam lockdown Covid-19 yang ketat. Pembukaan bisnis ini dimulai pada Senin (16/5).
Dilansir dari Channel News Asia, Senin (16/5/2022) Wakil Walikota Shanghai, Chen Tong mengatakan dalam sebuah konferensi pers bahwa pusat perbelanjaan, department store, dan supermarket akan mulai melanjutkan operasi di dalam toko dan memungkinkan pelanggan untuk berbelanja dengan "cara yang tertib".
Advertisement
Sementara salon dan pasar sayur akan dibuka kembali dengan kapasitas terbatas.
Namun, Chen Tong tidak merinci secara spesifik tentang kecepatan atau tingkat pembukaan kembali tersebut, dan banyak masyarakat Shanghai yang merespon dengan skeptis terhadap pembukaan tersebut.
Selama lockdown Covid-19 di Shanghai, masyarakat melihat keterbatasan untuk membeli kebutuhan sehari-hari mereka, kegiatan belanja di platform online saat itu sebagian besar ditangguhkan.
Dalam satu tanda harapan, operator kereta bawah tanah Shanghai mulai melakukan pengujian sebagai persiapan untuk pembukaan kembali, menurut laporan media pemerintah, tetapi tidak memberikan informasi tentang kapan kereta itu akan beroperasi.
Diketahui bahwa pendekatan ketat nol Covid-19 di China, telah menempatkan ratusan juta orang di kota tersebut di bawah pembatasan dengan berbagai tingkat dalam upaya untuk menghilangkan penularan virus corona.
Pembatasan itu mendatangkan dampak besar pada ekonomi Shanghai.
Data bank sentral di China menunjukkan pinjaman di bank baru mencapai level terendah dalam hampir empat setengah tahun pada bulan April karena pandemi mengguncang ekonomi dan melemahkan permintaan kredit.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Lockdown Covid-19 di China Bikin Kekayaan Bos Baterai Kendaraan Listrik Anjlok
Pimpinan raksasa baterai China Kontemporer Amperex Technology (CATL), yakni Robin Zeng, mengumpulkan kekayaan USD 45 miliar karena perusahaannya memasok banyak produk ke pasar kendaraan listrik yang sedang booming.
Tetapi dalam sebulan, lonjakan biaya dan lockdown terkait Covid-19 di China telah membuat hampir sepertiga kekayaan miliarder itu menurun.
Dilansir dari Forbes, kekayaan Zeng (53) turun 27 persen atau USD 12,2 miliar - menjadi USD 32,6 miliar.
Penurunan kekayaan ini terjadi ketika saham CATL yang terdaftar di Shenzhen, di mana Zeng memiliki 24,4 persen saham, anjlok beruntun karena diperas oleh meroketnya biaya bahan baku menyusul lockdown Covid-19 di sejumlah kota di China.
Untuk Ningde, CATL dan perusahaan pembuat baterai di China lainnya, pertanyaan utama saat ini adalah bagaimana mengamankan cukup lithium, yang merupakan elemen penting membuat baterai isi ulang untuk kendaraan listrik.
Indeks harga lithium telah naik 130 persen dalam lima bulan pertama tahun ini, setelah melonjak 280 persen tahun lalu, menurut penyedia data Benchmark Mineral Intelligence.
Advertisement
CATL Tak Dapat Naikkan Harga Karena Kekhawatiran Minat Konsumen Surut
Yale Zhang, direktur pelaksana konsultan Automotive Foresight yang berbasis di Shanghai, mengatakan perlu waktu dua tahun sebelum pasokan lithium dapat secara bertahap dikejar.
Menurutnya, meski ada cadangan lithium yang cukup di Bumi (terutama di Australia, Amerika Latin, dan China) membuka tambang baru dan memurnikan ekstrak untuk tingkat yang dapat digunakan akan membutuhkan biaya yang mahal dan memakan waktu.
Zeng, sementara itu, juga tidak dapat menaikkan harga baterai CATL sesuka hati.
Perusahaan ini adalah produsen baterai terbesar di dunia dengan 35 persen pangsa pasar dalam hal penjualan secara global, dan termasuk pembuat mobil termasuk BMW, Geely dan Tesla di antara pelanggannya, tetapi menghadapi persaingan yang meningkat dari LG Energy Solution di Korea Selatan (16 persen) dan BYD China (11 persen).
Bill Russo, pendiri perusahaan konsultan Automobility yang berbasis di Shanghai, mengatakan pembuat mobil, terutama di China, tidak mau membebankan biaya lebih kepada konsumen, karena hal itu dapat mengikis daya tarik banyak model entry-level.
"Jika Anda (CATL) tidak dapat mentransfer inflasi harga ke pasar, maka Anda akan berakhir dengan bisnis yang kurang menguntungkan daripada yang diantisipasi," katanya.
Terlihat pada kuartal pertama tahun ini, CATL membuat investor khawatir dan melaporkan penurunan laba bersih sebesar 24 persen menjadi 1,5 miliar yuan (USD 223 juta), meskipun penjualan naik 154 persen menjadi 48,7 miliar yuan.