64 Persen Organisasi Jadi Korban Pencurian Data

Secara global, 64 persen organisasi mengalami data breach (pencurian data) yang berakibat pada kerugian pendapatan, biaya dan/atau denda pemulihan.

oleh M Hidayat diperbarui 18 Mei 2022, 11:00 WIB
Ilustrasi Keamanan Siber, Kejahatan Siber, Malware. Kredit: Elchinator via Pixabay

Liputan6.com, Jakarta - Fortinet merilis laporan terbarunya yang bertajuk 2022 Cybersecurity Skills Gap Report. Menurut laporan tersebut, tenaga kerja bidang keamanan siber global perlu bertambah sebesar 65 persen agar dapat menjaga aset penting organisasi secara efektif.

Meskipun jumlah tenaga profesional untuk mengisi kesenjangan yang ada menurun dari 3,12 juta menjadi 2,72 juta setahun belakangan, angka ini masih jadi kekosongan signifikan yang membuat organisasi-organisasi menjadi rentan.

Laporan ini juga menunjukkan banyaknya risiko akibat kesenjangan keahlian keamanan siber. Misalnya, 8 dari 10 organisasi yang disurvei mengalami data breach (pencurian data) setidaknya satu kali. Mereka pun mengakui data breach itu terkait dengan isu kurangnya keahlian atau kesadaran keamanan siber.

Juga terungkap bahwa secara global, 64 persen organisasi mengalami pencurian data yang berakibat pada kerugian pendapatan, biaya dan/atau denda pemulihan. Dengan meningkatnya beban kerugian akibat data breach, keamanan siber menjadi prioritas di level Board of Director/BoD (Dewan Direksi).

Selain itu, secara global, 88 persen dari organisasi-organisasi yang memiliki BoD melaporkan bahwa dewan mengajukan sejumlah pertanyaan mendetail tentang keamanan siber. 76 persen organisasi memiliki dewan direksi yang merekomendasikan kenaikan tenaga kerja di bidang IT dan keamanan siber.

Menurut laporan ini, pelatihan dan sertifikasi dapat menjadi solusi penting bagi organisasi yang ingin mengatasi lebih lanjut masalah kesenjangan keahlian.

95 persen pimpinan organisasi percaya bahwa sertifikasi yang berfokus pada teknologi memberikan dampak positif pada peran dan tim mereka.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Temuan Lainnya

Sementara itu 81 persen pimpinan organisasi lebih memilih memekerjakan orang yang memiliki sertifikasi. Selain itu, 91 persen responden menyatakan berniat mengeluarkan biaya supaya karyawan mendapatkan sertifikasi siber.

Di samping sertifikasi, 87 persen organisasi telah menerapkan program pelatihan untuk meningkatkan kesadaran siber.

Namun, 52 persen dari para pimpinan perusahaan meyakini bahwa pekerja mereka masih kurang memiliki pengetahuan yang diperlukan, sehingga efektivitas program kesadaran keamanan yang ada saat ini dipertanyakan.

Tantangan signifikan bagi organisasi selama ini adalah menemukan dan mempertahankan pekerja tepat untuk mengisi posisi keamanan penting dari spesialis keamanan cloud hingga analis SOC.

Laporan menemukan bahwa 60 persen pimpinan mengakui bahwa organisasi mereka berjuang keras melakukan perekrutan dan 52 persen mengalami kesulitan mempertahankan tenaga ahli.

 


Tantangan Rekrutmen

Di antara tantangan-tantangan proses mencari tenaga kerja adalah perekrutan tenaga kerja perempuan, lulusan baru, dan warga minoritas.

Secara global, 7 dari 10 pimpinan organisasi melihat perekrutan tenaga kerja perempuan dan lulusan baru sebagai hambatan paling tinggi, dan 61 persen mengatakan mempekerjakan warga minoritas, selama ini, menemui tantangan.

Selan itu, 89 persen perusahaan global memiliki tujuan keberagaman pekerja yang eksplisit sebagai bagian dari strategi perekrutan berdasarkan hasil laporan.

75 persen organisasi memiliki struktur formal untuk merekrut secara khusus lebih banyal tenaga kerja perempuan, dan 59 persen organisasi memiliki strategi untuk mempekerjakan warga minoritas. Selain itu, 51 persen organisasi memiliki program untuk mempekerjakan para veteran.

Survei ini dilakukan pada lebih dari 1,200 pembuat keputusan bidang IT dan keamanan siber dari 29 lokasi berbeda. Responden berasal dari berbagai industri, termasuk teknologi (28%), manufaktur (12%), dan jasa keuangan (10%).


12 Juta Ancaman Online Targetkan Pengguna di Indonesia pada 2022

Diwartakan sebelumnya, Kaspersky menyebut, hampir 12 juta ancaman online menarget pengguna di Indonesia selama tiga bulan pertama 2022.

Mengutip keterangan resmi Kaspersky, Rabu (27/4/2022), selama periode Januari-Maret 2022, Kaspersky memblokir 11,8 juta ancaman dunia maya berbeda yang ditularkan melalui internet pada pengguna di Kaspersky Security Network di Indonesia.

Dari jumlah itu, 27,6 persen pengguna dalam negeri menjadi sasaran ancaman berbasis web.

Jumlah ancaman berbasis web meningkat 22 persen dibanding 9,6 juta upaya pada periode yang sama tahun 2021. Ancaman hanya sedikit menurun yakni 2 persen dari kuartal terakhir (Oktober-Desember) tahun 2021.

Karena adanya hampir 12 ancaman tersebut, Indonesia berada di urutan ke-60 di seluruh dunia dan peringkat pertama di Asia Tenggara, dalam hal bahaya yang ditimbulkan dari berselancar di web.

Di Asia Tenggara, pengguna di Indonesia adalah yang paling banyak mendapatkan ancaman web dengan jumlah 11,8 juta.

Posisi berikutnya adalah Vietnam dengan jumlah 11,5 juta, Malaysia 9,8 juta, Filipina 9,2 juta, Thailand 4,6 juta, dan Singapura 1,5 juta.


Infografis Kejahatan Siber (Liputan6.com/Abdillah)

Infografis Kejahatan Siber (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya