, Tripoli - Sejak Selasa 17 Mei 2022 subuh, pertempuran antara kedua pasukan bersenjata meletus di ibu kota Libya dan berlangsung selama setidaknya hingga pukul 07.00 waktu setempat. Perdana Menteri Baru Libya Fathi Bashagha membawa pasukan bersenjata memasuki ibu kota Tripoli guna memaksakan pengunduran diri PM Transisi, Abdul Hamid Dbeibah.
Upayanya hanya berlangsung beberapa jam menyusul perlawanan bersenjata milisi pemerintah.
Advertisement
Selang beberapa jam kemudian, rombongan dari timur itu dilaporkan menarik diri dari Tripoli, "demi melindungi keselamatan warga sipil," tulis kantor Bashagha.
Libya saat ini dipimpin pemerintahan transisi di bawah Perdana Menteri Abdul Hamid Dbeibah. Namun mandatnya dianggap berakhir Desember 2021, ketika dia gagal menepati tenggat akhir penyelenggaraan pemilu.
Hingga kini, pemerintah transisi di Tripoli belum mengumumkan tanggal baru kapan akan digelarnya pemilihan umum.
Sejak Februari lalu, parlemen di timur Libya, yang dikuasai Jendral Khalifa Haftar, memilih Fathi Bashagha sebagai perdana menteri baru. Namun Dbeibah menolak mundur dan mengklaim hanya akan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan yang terpilih melalui pemilu.
Selasa 17 Mei 2022, seperti dilaporkan DW Indonesia, Bashagha akhirnya memasuki ibu kota dengan ditemani sejumlah menteri dan pasukan bersenjata, lengkap dengan kendaraan lapis baja. "Kedatangan perdana menteri di ibu kota Tripoli dimaksudkan untuk memulai masa jabatannya di sana," menurut keterangan pers yang dirilis di Tobruk, markas parlemen kelompok timur.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Eskalasi di Ibu Kota
Pertempuran di Tripoli berpotensi menyeret Libya kembali ke jurang perang saudara. Media-media lokal melaporkan, pertempuran juga terjadi antara milisi-milisi bersenjata di Tripoli dan wilayah sekitar.
"Kami tiba di ibu kota dengan damai dan aman," kata Bashagha dalam sebuah video. "Penyambutannya sangat baik," imbuhnya tanpa membahas pertempuran yang berkecamuk di ibu kota.
Misi PBB untuk Libya (UNSMIL) mengecam pertempuran antara kedua kelompok lantaran melibatkan "tembakan membabi-buta dan dugaan penggunaan senjata berat," di wilayah pemukiman padat penduduk.
Menurut perjanjian damai yang dimediasi PBB, pemerintahan transisi Libya seharusnya menggelar pemilu pada Desember lalu. Akibat penundaan pemilu, Bashagha kini diimbau untuk membentuk pemerintahan tandingan di Kota Sirte yang dikuasai Jendral Khalifa Haftar.
Bersama Ketua Parlemen, Aguila Saleh, Bashagha bulan lalu mengumumkan pemadaman produksi minyak di wilayah timur, yang merupakan sumber pendapatan terbesar pemerintah di Tripoli. Penutupan itu disebutkan baru akan dibuka jika kedua pihak menyepakati kerangka bersama perihal belanja negara.
Advertisement
Perundingan Soal Dasar Negara
Hingga Senin (16/5) kemarin, kedua pihak melanjutkan perundingan di ibu kota Mesir, Kairo, dalam putaran yang dimediasi PBB. Agenda utama perundingan yang dimulai Minggu (15/5) adalah amandemen konstitusi untuk mempercepat penyelenggaraan pemilu.
Sebanyak 12 anggota Majlis al-Nuwaab dari timur dan 11 penasehat pemerintahan di barat Libya terlibat dalam negosiasi tersebut, kata Abdullah Bilheg, juru bicara parlemen.
Putaran pertama yang digelar di Kairo bulan lalu gagal menghasilkan kata sepakat menyusul perbedaan dasar hukum.
Parlemen di timur dan pemerintahan transisi di barat secara umum meributkan tentang siapa yang berhak mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum.
Kedua pihak juga belum menemukan konsensus perihal batas kekuasaan presiden dan parlemen. Dikhawatirkan, kekuasaan presiden yang terlalu besar di negara dengan institusi demokrasi yang lemah itu akan kembali mengarah pada autoritarianisme seperti di masa lalu.
PBB Sebut Duel Pemerintah di Libya Bisa Picu Ketidakstabilan
Seorang pejabat senior PBB, pada Rabu (16/3), memperingatkan bahwa kebuntuan politik yang terjadi saat ini di Libya dapat menimbulkan ketidakstabilan dan menciptakan dua pemerintahan paralel di negara itu.
Kepala Urusan Politik Amerika Serikat Rosemary DiCarlo mengatakan pada Dewan Keamanan PBB bahwa "selama kebuntuan atas legitimasi eksekutif masih berlanjut, akan kembali ada dua pemerintahan pararel di Libya."
Ia juga menambahkan bahwa, "situasi tersebut dapat menyebabkan ketidakstabilan dan kemungkinan kerusuhan, dan memberikan pukulan telak terhadap prospek pemilu."
Krisis politik terbaru di Libya ini dimulai dengan penangguhan pemilihan presiden dan parlemen pada 24 Desember lalu akibat adanya perselisihan tentang Undang-undang Pemilu dan siapa yang dapat menjadi calon presiden. Hampir tiga juta warga Libya telah mendaftar untuk ikut ambil bagian dalam pemungutan suara, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Jumat (17/3/2022).
Setelah penangguhan itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 24 Februari lalu mengadopsi amandemen konstitusi yang menyerukan penunjukkan komite peninjau konstitusi yang mewakili tiga wilayah di negara tersebut. Sementara panitianya masih belum terbentuk hingga saat ini.
Pada 1 Maret lalu para legislator di DPR memberikan suara untuk mengukuhkan pemerintahan transisi yang baru. Mantan menteri dalam negeri Fathi Bashagha ditunjuk menjadi perdana menteri. Kabinetnya dilantik dua hari kemudian.
"PBB menerima sejumlah laporan bahwa pemungutan suara itu telah dirusak oleh cacat prosedural dan ancaman kekerasan terhadap beberapa anggota majelis dan keluarga mereka... Kekurangan ini berdampak pada kredibilitas proses pemilihan itu," ujar DiCarlo.
Advertisement