Liputan6.com, Pyongyang - Juru bicara Komisaris Tinggi PBB Untuk Hak Asasi Manusia Liz Throssell, pada Selasa (17/5), mengatakan pihaknya "sangat khawatir" dengan dampak hak asasi manusia dari wabah Corona COVID-19 yang melanda Korea Utara.
Tak hanya itu, juga termasuk kebijakan lockdown atau penghentian kegiatan dan penutupan sebagian wilayah, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Kamis (19/5/2022).
Berbicara di Jenewa, Throssell mengatakan bahwa wabah di Korea Utara "mungkin berdampak buruk pada situasi hak asasi manusia di negara itu."
Baca Juga
Advertisement
Throssell mengatakan hal ini karena Korea Utara tidak memiliki "program vaksinasi apapun" dan "memiliki infrastruktur layanan kesehatan yang sangat terbatas untuk menghadapi krisis semacam ini."
Ia menambahkan bahwa langkah-langkah terbaru Korea Utara, termasuk isolasi dan pembatasan perjalanan "akan memiliki konsekuensi yang mengerikan bagi mereka yang bahkan sudah berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka."
"Kami mendesak pihak berwenang DPRK untuk memastikan bahwa semua tindakan yang diambil guna mengatasi pandemi ini merupakan hal yang perlu, proporsional, tidak diskriminatif, terikat waktu dan berjalan sesuai hukum hak asasi manusia internasional," tegas Throssell.
Lebih jauh ia menekankan perlunya komunikasi dan solidaritas antara Korea Utara dan masyarakat internasional, serta pelonggaran sanksi-sanksi, dalam penanganan COVID-19 di negara tersebut.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Korea Selatan Tawarkan Bantuan COVID-19, Korea Utara Cuek
Pemerintah Korea Selatan (Korsel) telah mengirimkan komunikasi kepada pihak Korea Utara (Korut) terkait bantuan COVID-19. Pesan itu dikirim pada Senin (16/5) kemarin, namun belum ada respons hingga jam operasional komunikasi berakhir.
Kedua negara berkomunikasi setiap pagi dan sore. Korsel berharap bisa membantu atas dasar kemanusiaan.
Menurut laporan Yonhap, Selasa (17/5/2022), Kementerian Unifikasi di Korea Selatan mengirimkan pesan itu melalui fax kepada Departemen Front Bersatu Korut pada pukul 11 siang kemarin. Hingga komunikasi tutup pada pukul 17.00, pihak Korut belum mengirimkan pesan yang jelas.
"Terkait penyebaran varian Omicron, kami berencana mengirim pesan formal ke Korea Utara untuk mengajukan pembicaraan level-pekerjaan antara Korea untuk membahas bantuan vaksin, persediaan medis, masker, dan alat tes, serta mengekspresikan kemauan kita untuk berbagi pengalaman melawan virus dan kerja sama dalam keahlian teknis," jelas pihak Kementerian Unifikasi Korsel.
Pihak Korsel pun meminta agar Korea Utara bisa memberikan respons terhadap tawaran tersebut.
Kementerian Unifikasi Korea Selatan, Kwon Young-se, telah berjanji untuk aktif dalam membangun kerja sama dengan Korea Utara, meski hubungan kedua negara masih dingin.
Presiden baru Korsel Yoon Seok-yul juga berulang kali memberikan retorika keras terhadap rezim Kim Jon-un sebagai "bocah" yang tidak sopan.
Kim Jong-un telah memerintahkan agar negaranya lockdown untuk mencegah penyebaran COVID-19. Kebijakan lockdown ini terbilang telat dibanding negara-negara lain di dunia yang sudah mencabut lockdown ketat.
Advertisement
Stok Obat di Korut
Kim Jon-un memandu pertemuan darurat politbiro dan memerintahkan militer digunakan untuk menstabilkan pasokan obat-obatan di Pyongyang saat negara itu memerangi wabah COVID-19 pertama yang dikonfirmasi, media pemerintah melaporkan pada Senin (16 Mei 2022).
Korea Utara mengakui untuk pertama kalinya pekan lalu bahwa mereka sedang memerangi wabah COVID-19 yang "meledak", dengan para ahli meningkatkan kekhawatiran bahwa virus itu dapat menghancurkan negara dengan persediaan medis terbatas dan tidak ada program vaksin. Demikian seperti dikutip dari laman Channel News Asia, Senin (16/5).
Pada pertemuan darurat politbiro, yang diadakan pada hari Minggu, Kim mengkritik sikap kerja yang "tidak bertanggung jawab" dan kemampuan mengorganisir dan melaksanakan Kabinet dan sektor kesehatan masyarakat, kantor berita negara KCNA melaporkan.
Pemerintah telah memerintahkan pendistribusian cadangan obat-obatan nasionalnya tetapi Kim mengatakan obat-obatan yang dibeli oleh negara tidak menjangkau orang-orang secara tepat waktu dan akurat melalui apotek, kata laporan itu.
Kim memerintahkan agar "pasukan kuat" dari korps medis tentara dikerahkan untuk "segera menstabilkan pasokan obat-obatan di Kota Pyongyang".
KCNA juga melaporkan bahwa Kim mengunjungi apotek yang terletak di dekat Sungai Taedong di Pyongyang untuk mencari tahu tentang pasokan dan penjualan obat-obatan.
Kim mengatakan apotek tidak dilengkapi dengan baik untuk menjalankan fungsinya dengan lancar, tidak ada tempat penyimpanan obat yang memadai selain etalase, dan tenaga penjual tidak dilengkapi dengan pakaian sanitasi yang layak.
Kecerobohan
Korea Utara telah mengatakan bahwa "sebagian besar" kematian sejauh ini disebabkan oleh orang-orang yang "ceroboh dalam meminum obat karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman tentang penyakit infeksi virus varian Omicron siluman dan metode pengobatannya yang benar."
Negara itu melaporkan 392.920 lebih banyak orang dengan gejala demam, dengan delapan kematian baru, kata KCNA.
Itu tidak melaporkan berapa banyak dari kasus yang diduga telah dites positif COVID-19.
Korea Utara mengatakan pada hari Minggu (15 Mei) total 42 orang telah meninggal ketika negara itu memulai hari keempat di bawah lockdown nasional yang bertujuan untuk menghentikan wabah COVID-19 pertama yang dikonfirmasi di negara miskin itu.
Pada hari Kamis, Korea Utara untuk pertama kalinya mengakui wabah COVID-19 dan memerintahkan penguncian. Kantor berita negara KCNA mengatakan negara itu mengambil "langkah-langkah darurat negara cepat" untuk mengendalikan epidemi.
Advertisement