Wall Street Anjlok, Indeks Dow Jones Catat Koreksi Terbesar sejak 2020

Wall street kembali tertekan pada Rabu, 18 Mei 2022 setelah perusahaan ritel memperingatkan kenaikan tekanan biaya.

oleh Agustina Melani diperbarui 19 Mei 2022, 07:29 WIB
Reaksi pialang Michael Gallucci saat bekerja di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok pada akhir perdagangan Rabu (11/3/2020) sore waktu setempat setelah WHO menyebut virus corona COVID-19 sebagai pandemi. (AP Photo/Richard Drew)

Liputan6.com, New York - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau wall street kembali anjlok pada perdagangan Rabu, 18 Mei 2022. Indeks Dow Jones membukukan kerugian terbesar sejak 2020.

Hal ini setelah ritel besar lainnya memperingatkan kenaikan tekanan biaya sehingga mengkonfirmasi ketakutan terburuk investor atas kenaikan inflasi dan mendorong aksi jual besar pada 2022.

Pada penutupan perdagangan wall street, indeks Dow Jones melemah 1.164,54 poin atau 3,57 persen menjadi 31.490,07, dan alami penurunan rata-rata terbesar sejak Juni 2020. Koreksi tersebut terbesar untuk Dow Jones sejak Maret 2021.

Indeks S&P 500 melemah 4,04 persen ke posisi 3.923,68, dan alami penurunan terburuk sejak Juni 2020. Indeks Nasdaq tergelincir 4,73 persen menjadi 11.418,15 yang merupakan penurunan terbesar dalam indeks teknologi sejak 5 Mei.

Dengan aksi jual di wall street, hanya delapan sektor saham di S&P 500 yang berada di zona hijau. Wall street kembali alami aksi jual besar-besaran setelah dua laporan kuartalan berturut-turut dari Target dan Walmart memicu kekhawatiran investor akan kenaikan inflasi yang mengurangi keuntungan perusahaan dan permintaan konsumen.

Ini adalah penurunan Dow Jones kelima lebih dari 800 poin pada 2022 yang semuanya terjadi karena aksi jual saham meningkat dalam satu bulan terakhir.

"Konsumen ditantang. Kamu mulai melihat pada akhir tahun, konsumen beralih ke kartu kredit untuk membayar kenaikan harga pangan, kenaikan harga energi dan itu sebenarnya menjadi jauh lebih buruk.” Ujar Chief Investment Officer Verdence Capital Advisors, Megan Horneman, dikutip dari CNBC, Kamis (19/5/2022).

Ia mengatakan, hal tersebut akan merugikan tempat ritel terkemuka dan Walmart cenderung menjadi salah satunya.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Gerak Saham di Wall Street

(Foto: Ilustrasi wall street, Dok Unsplash/Sophie Backes)

Saham Target merosot 24,9 persen pada perdagangan Rabu, 18 Mei 2022 setelah ritel melaporkan pendapatan kuartal I yang jauh lebih rendah dari perkiraan wall street karena biaya bahan bakar dna kompensasi yang lebih tinggi. Ritel juga melihat penjualan yang lebih rendah dari perkiraan untuk barang seperti televisi.

Hal ini ditunjukkan Walmart yang mengunggah laba dari harapan karena biaya bahan bakar dan tenaga kerja lebih tinggi. Saham Walmart merosot 11 persen pada perdagangan Selasa, 17 Mei 2022. Kemudian koreksi saham Walmart berlanjut lagi pada Rabu, 18 Mei 2022 dengan turun 6,8 persen.

“Jelas biaya transportasi penting dan berdampak pada (beberapa) perusahaan terbesar. Jadi saya pikir investor bertanya siapa selanjutnya,” ujar Pendiri Bokeh Capital.

Ritel lain juga terpukul. SDPR S&P Retail ETF turun 8,3 persen. Sementara itu, saham Amazon merosot 7,2 persen, Best Buy tergelincir 10,5 persen, Dollar General susut 11,1 persen, dan Dollar Tree tersungkur 14,4 persen. Saham Macy melemah 10,7 persen, dan saham Kohl susut 11 persen.

 

 


Koreksi Saham Ritel

(Foto: Ilustrasi wall street. Dok Unsplash/lo lo)

Saham Lowe melemah 5,3 persen setelah meleset dari harapan penjualan dalam laporan kuartal I. Hal ini seiring pembeli membeli lebih sedikit persediaan untuk proyek luar ruangan.

“Perusahaan mana pun yang bergantung pada rumah tangga, dan pembelian tidak langsung kemungkinan akan terpukul pada kuartal ini karena banyak pendapatan tambahan telah disalurkan ke harga makanan dan energi,” ujar Mitra Pendiri Cresset Capital Jack Ablin.

Saham dan aset berisiko lainnya telah ditekan oleh inflasi dan upaya bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve untuk menekan kenaikan harga melalui kenaikan suku bunga. Ini menyebabkan kekhawatiran tentang potensi resesi.

Investor Jeremy Grantham menuturkan, koreksi saat ini lebih buruk daripada gelembung teknologi pada 2000. Ia menuturkan, koreksi saham lebih besar dapat terjadi.

 


Imbal Hasil Obligasi Menguat

Ilustrasi wall street (Photo by Patrick Weissenberger on Unsplash)

“Suatu hari turun sekitar 19,9 persen di indeks S&P 500 dan sekitar 27 persen di Nasdaq. Saya akan mengatakan setidaknya, kami kemungkinan akan dua kali lipat,” ujar Grantham.

“Jika kami tidak beruntung, yang sangat mungkin, kami akan melakukan tiga leg seperti itu, dan mungkin butuh beberapa tahun seperti yang terjadi pada 2000-an,” ia menambahkan.

Sementara itu, imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun turun di bawah 2,9 persen setelah sempat mencapai 3 persen pada Rabu pagi. Hal ini karena investor kembali ke obligasi sebagai tempat yang aman.

Indeks Dow Jones telah turun selamah tujuh minggu berturut-turut tetapi saham telah stabil selama tiga sesi perdagangan sebelumnya. Pekan lalu, indeks S&P 500 berada di ambang pasar bearish atau 20 persen di bawah rekor tertingginya. Setelah koreksi yang terjadi pada Rabu pekan ini, indeks S&P 500 turun 18,6 persen di bawah rekornya dan merosot 17,7 persen pada 2020.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya