HEADLINE: Kasus COVID-19 Meledak di Korea Utara, Kenapa Baru Sekarang?

Korea Utara memang beda. Ketika sejumlah negara dunia mulai melonggarkan protokol kesehatan, negara Komunis tersebut malah baru melaporkan ledakan kasus COVID-19.

oleh Raden Trimutia HattaTanti YulianingsihTeddy Tri Setio BertyBenedikta Miranti T.VAde Nasihudin Al Ansori diperbarui 20 Mei 2022, 00:02 WIB
Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengenakan masker memeriksa apotek di tengah wabah Covid-19 di Pyongyang, Korea Utara pada 15 Mei 2022. Sejak negara itu pertama terkena wabah COVID-19, Apotek Korea Utara sekarang buka 24 jam sehari. (STR/KCNA VIA KNS/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Korea Utara memang beda. Ketika sejumlah negara dunia mulai melonggarkan protokol kesehatan, negara Komunis tersebut malah baru melaporkan ledakan kasus COVID-19, setelah 2 tahun pandemi.

Sekitar 1,48 juta orang telah terinfeksi Virus Corona sejak kasus pertama dilaporkan pada Kamis 12 Mei 2022 dan setidaknya 663.910 orang dikarantina, menurut angka resmi. Wabah ini hampir pasti lebih besar dari penghitungan resmi, mengingat kurangnya tes dan sumber daya untuk memantau dan merawat orang sakit.

Negara yang terisolasi itu melaporkan kenaikan besar lainnya dalam kasus baru yang terus disebut sebagai "demam" pada Selasa 17 Mei, seperti dikutip dari Guardian, Kamis (19/5/2022). Korut mencatat 269.510 kasus tambahan dan enam kematian lagi, sehingga jumlah total yang tewas menjadi 56 sejak akhir April.

Korea Utara pun berada di ambang bencana COVID-19 kecuali tindakan cepat diambil untuk menyediakan vaksin dan perawatan obat, kata para ahli. Ahli menyatakan hal tersebut karena jumlah orang yang dilaporkan jatuh sakit meningkat menjadi hampir 1,5 juta.

Wabah COVID-19 yang signifikan ini dikhawatirkan memicu krisis kemanusiaan di Korea Utara, di mana ekonomi telah terpukul oleh penutupan perbatasannya yang dipaksakan oleh pandemi dengan China – mitra dagang utamanya – bencana alam, dan sanksi internasional selama bertahun-tahun yang diberlakukan sebagai tanggapan terhadap uji coba rudal balistik.

Rezim itu dianggap tidak memvaksinasi penduduknya dan tidak memiliki akses ke obat antivirus yang telah digunakan untuk mengobati COVID-19 di negara lain. Rumah sakitnya juga memiliki sedikit sumber daya perawatan intensif untuk mengobati kasus yang parah, dan kekurangan gizi yang meluas telah membuat populasi 26 juta lebih rentan terhadap penyakit serius.

"Kelihatannya sangat buruk," kata Owen Miller, dosen studi Korea di School of Oriental and African Studies, London University.

"Mereka menghadapi penyebaran Omicron yang merajalela tanpa perlindungan dari vaksin."

Tawaran bantuan dari luar sejauh ini disambut dengan diam. Sebaliknya, ada kekhawatiran bahwa pemimpin negara itu, Kim Jong-un, mungkin bersedia menerima sejumlah besar kasus dan kematian yang "dapat dikelola" untuk menghindari membuka negaranya terhadap pengawasan internasional.

Sejak melaporkan kasus pertamanya, mesin propaganda Korea Utara telah menggambarkan virus sebagai musuh yang dapat dikalahkan melalui penguncian, karantina, dan kewaspadaan yang lebih besar.

Kim Jong-un berjanji untuk mengatasi krisis ini dan meminta masyarakat agar menghindari rasa takut yang tidak sesuai sains, serta tetap teguh. "Musuh yang lebih berbahaya bagi kita ketimbang virus berbahaya ini adalah rasa takut yang tak sesuai sains, kurangnya kepercayaan dan lemahnya tekad," kata Kim Jong-un.

Kim Jong-un juga memerintahkan lockdown ketat di semua kota dan kabupaten di seluruh penjuru Korea Utara agar membendung penyebaran virus corona. Ia juga meminta agar perbatasan-perbatasan negara dijaga dengan ketat, baik itu udara dan laut.

Jenis virus yang dideteksi adalah varian omicron BA.2. Ada sejumlah pasien yang terkena demam. Media pemerintah KCNA tidak mendetail berapa jumlah kasusnya, tetapi pasien lebih dari satu.

Kim Jong-un optimistis bahwa negaranya bisa melalui datangnya COVID-19, sebab warganya sudah memiliki kesadaran tinggi untuk melawannya virus ini. Sebelumnya, Korea Utara juga telah mengikuti protokol kesehatan dengan memakai masker, namun ada juga acara-acara nasional di negara itu yang pesertanya tidak pakai masker.

Infografis Ledakan Kasus Covid-19 di Korea Utara. (Liputan6.com/Trieyasni)

Epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman menilai Korea Utara adalah negara yang rawan terhadap ancaman wabah. Kondisi itulah yang menyebabkan kasus COVID-19 di Korea Utara langsung meledak ketika negara lain telah menurun. 

"Korea Utara yang saya juga pernah melakukan kunjungan ke sana, adalah negara yang sebetulnya sangat rawan dari sisi ancaman wabah," kata Dicky kepada Liputan6.com, Rabu (18/5/2022) melalui pesan suara.

"Karena apa? Pertama, bicara respons wabah ini bicara transparansi data, bicara transparansi data ini juga bicara bagaimana sistem kesehatan yang ada bisa mendeteksi dan berkolaborasi secara global. Ini salah satu yang lemah pada negara-negara dengan sistem sosial seperti Korea Utara."

Ia menambahkan, Korea Utara adalah negara dengan sistem sosial dan pemerintahan yang tertutup. Dan ini diperparah dengan adanya keterbatasan atau akses yang sangat minim pada vaksin COVID-19. Bahkan cakupan vaksinasi mereka saat ini sangat rendah.

"Bahkan saking tertutupnya juga sulit untuk memprediksi berapa persen cakupan vaksinasi mereka, yang jelas sangat rendah. Jangankan bicara tiga dosis seperti di Indonesia, bicara satu dosis pun ini menjadi satu hal yang sangat tidak mudah."

Direktur Kedaruratan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Mike Ryan mengatakan, tingkat penularan Virus Corona COVID-19 yang tinggi di antara orang-orang yang tidak divaksinasi, seperti di Korea Utara, menciptakan risiko varian baru yang lebih tinggi.

"Tentu saja mengkhawatirkan jika negara-negara tidak menggunakan alat yang sekarang tersedia," kata Mike Ryan.

"WHO telah berulang kali mengatakan bahwa di mana Anda memiliki penularan yang tidak terkendali, selalu ada risiko varian baru yang lebih tinggi muncul."

Kepala WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus juga menyatakan "sangat prihatin" tentang penyebaran virus di antara populasi yang tidak divaksinasi seperti Korea Utara dengan banyak kondisi mendasar.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Tetap Uji Coba Nuklir

Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un selama program berita, Sabtu, 14 Mei 2022. (AP Photo/Ahn Young-joon)

Di tengah pperjuangan melawan gelombang dugaan infeksi COVID-19, Korea Utara tampaknya bersiap untuk menguji rudal balistik antarbenua (ICBM) menjelang perjalanan pertama Presiden AS Joe Biden ke Korea Selatan, kata pejabat Korea Selatan dan AS.

Tes ICBM tampaknya sudah dekat, Wakil Penasihat Keamanan Nasional Kim Tae-hyo mengatakan pada sebuah pengarahan di Seoul.

“Jika ada provokasi Korea Utara kecil atau besar selama periode KTT, kami telah menyiapkan Plan B,” katanya, seperti dikutip dari laman Al Arabiya, Kamis (19/5/2022). 

Rencana itu akan mengamankan postur pertahanan dan sistem komando dan kontrol pasukan militer AS dan Korea Selatan, bahkan jika itu memerlukan perubahan jadwal KTT, kata Kim.

Seorang pejabat AS, berbicara dengan syarat anonim, mengatakan bahwa intelijen terbaru menunjukkan Korea Utara dapat melakukan tes ICBM pada hari Kamis atau Jumat.

Biden diperkirakan tiba di Korea Selatan pada hari Jumat (20/4) dan mengadakan pembicaraan dengan rekan-rekannya dari Korea Selatan selama beberapa hari sebelum mengunjungi Jepang.

Wabah di Korea Utara terjadi di tengah serangkaian demonstrasi senjata yang provokatif, termasuk uji coba pertama rudal balistik antarbenua dalam hampir lima tahun pada bulan Maret. Para ahli tidak percaya wabah COVID-19 akan memperlambat sikap Kim yang bertujuan menekan Amerika Serikat untuk menerima gagasan Korea Utara sebagai kekuatan nuklir dan merundingkan konsesi ekonomi dan keamanan dari posisi yang kuat.

Penasihat keamanan nasional Gedung Putih Jake Sullivan mengatakan pada hari Rabu bahwa intelijen AS menunjukkan ada "kemungkinan yang sebenarnya" bahwa Korea Utara akan melakukan uji coba rudal balistik atau uji coba nuklir lain di sekitar kunjungan Presiden Joe Biden ke Korea Selatan dan Jepang yang dimulai akhir pekan ini.

Dilansir dari laman NBC News, Korea Utara telah meluncurkan senjata pada tingkat yang sangat sering tahun ini, termasuk uji coba pertama rudal balistik antarbenua sejak 2017.

Secara luas diharapkan untuk menguji ICBM lain atau bahkan perangkat nuklir pada awal bulan ini karena mencoba untuk memaksa masyarakat internasional untuk menerimanya sebagai kekuatan nuklir dan memperoleh keringanan dari sanksi-sanksi yang dipimpin AS yang melumpuhkan.

Negara tersebut cenderung menjadi lebih agresif ketika tidak stabil secara internal, kata Christopher Green, konsultan senior di Semenanjung Korea untuk International Crisis Group, menunjukkan bahwa uji coba senjata dapat dilanjutkan. Pada hari yang sama saat mengumumkan wabah virus, Korea Utara meluncurkan tiga rudal balistik jarak pendek dalam uji coba putaran ke-16 tahun ini.

Tetapi wabah itu adalah peristiwa "angsa hitam" yang dapat mengubah perhitungan Kim, Green memperingatkan. Tes senjata melibatkan pertemuan besar orang dan, demi memperlambat penularan virus, Kim dapat memilih untuk menunda peluncuran lebih lanjut sampai kasus mereda. 

Menguji ICBM atau perangkat nuklir sebelum atau selama perjalanan Biden ke Asia juga akan mempersulit AS untuk menawarkan bantuan terkait wabah tersebut.

"Kami tidak dapat benar-benar yakin bahwa preseden masa lalu tentang tindakan [Korea Utara] akan terus memandu keputusan besok," katanya.

Infografis Jurus Kim Jong-un Kendalikan Ledakan Kasus Covid-19 di Korut. (Liputan6.com/Trieyasni)

Tingkatkan Produksi Obat-obatan dan Pasokan Medis

Karyawan Toko Umum Bahan Makanan Kyonghung mendisinfeksi ruang pamer di Pyongyang, Korea Utara, Rabu, 10 November 2021. Sebelum mengakui kasus COVID-19 domestik, Kamis, 12 Mei 2022. (Foto AP/Jon Chol Jin, File)

Korea Utara meningkatkan produksi obat-obatan dan pasokan medis termasuk alat sterilisasi dan termometer saat memerangi wabah Virus Corona COVID-19 yang belum pernah terjadi sebelumnya, kata media pemerintah KCNA, Kamis (19 Mei).

Korea Utara, negara yang terisolasi itu, yang telah memberlakukan lockdown secara nasional, juga meningkatkan produksi obat-obatan tradisional Korea yang digunakan untuk mengurangi demam dan rasa sakit, kata KCNA, menyebutnya "efektif dalam pencegahan dan penyembuhan penyakit berbahaya."

Gelombang COVID-19 yang melanda, yang pertama kali dikonfirmasi Korea Utara pekan lalu, telah mengipasi kekhawatiran atas kurangnya sumber daya medis dan vaksin, dengan badan hak asasi manusia PBB memperingatkan konsekuensi "menghancurkan" bagi 25 juta penduduknya.

Setidaknya 262.270 orang lagi melaporkan gejala demam, dan satu orang tambahan meninggal pada Rabu malam, kata KCNA, mengutip data dari markas besar pencegahan epidemi darurat negara. Kedati demikian tak ada data berapa banyak orang yang dites positif COVID-19.

Korea Utara sejauh ini melaporkan 1.978.230 orang dengan gejala demam dan 63 kematian, dan memberlakukan tindakan anti-virus yang ketat.

Pabrik-pabrik memproduksi lebih banyak suntikan, obat-obatan, termometer, dan pasokan medis lainnya di ibu kota Pyongyang dan daerah-daerah sekitarnya "dengan cara yang sangat cepat," sementara lebih banyak bangsal isolasi dipasang dan pekerjaan disinfeksi diintensifkan di seluruh negeri, kata KCNA.

"Ribuan ton garam segera diangkut ke Kota Pyongyang untuk menghasilkan larutan antiseptik," kata KCNA.

Laporan itu muncul setelah pemimpin Korea Utara Kim Jong Un mengkritik distribusi obat-obatan yang tidak efektif dan mengecam para pejabat atas tanggapan "tidak dewasa" mereka terhadap epidemi tersebut.

Tanpa kampanye vaksinasi nasional dan pengobatan COVID-19, media pemerintah telah mendorong pasien untuk menggunakan obat penghilang rasa sakit dan antibiotik serta pengobatan rumahan yang belum diverifikasi, seperti berkumur dengan air garam, atau minum teh lonicera japonica atau teh daun willow.

Korea Selatan dan Amerika Serikat masing-masing telah menawarkan untuk membantu Korea Utara memerangi wabah tersebut, termasuk mengirim bantuan, tetapi belum menerima tanggapan, kata wakil penasihat keamanan nasional Seoul, hari Rabu.

Namun, tiga pesawat dari Air Koryo Korea Utara tiba di China dan kembali ke Pyongyang pada Senin dengan membawa pasokan medis, kata sumber diplomatik tanpa menyebut nama.


Kembali Tolak Bantuan Asing?

Orang-orang melewati poster yang mengingatkan tindakan pencegahan terhadap virus corona di Paviliun Imjingak di Paju, Korea Selatan, dekat perbatasan dengan Korea Utara, Minggu (15/5/2022). Korea Utara telah mengkonfirmasi 15 kematian lagi dan ratusan ribu pasien demam tambahan saat mengerahkan lebih dari satu juta petugas kesehatan dan pekerja lainnya untuk mencoba memadamkan wabah pertama COVID-19 di negara itu, media pemerintah melaporkan pada Minggu. (AP Photo/Ahn Young-joon)

Setelah mempertahankan klaim yang meragukan bahwa mereka telah menjauhkan virus dari negara itu selama dua setengah tahun, Korea Utara mengakui infeksi COVID-19 pertamanya pada 12 Mei dan telah menggambarkan penyebaran yang cepat sejak itu.

Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un menyebut wabah itu sebagai "pergolakan besar," mencaci para pejabat karena membiarkan virus menyebar dan membatasi pergerakan orang dan pasokan antarkota dan wilayah.

Terlepas dari banyaknya orang sakit dan upaya untuk mengekang wabah, media pemerintah menggambarkan sekelompok besar pekerja terus berkumpul di pertanian, fasilitas pertambangan, pembangkit listrik, dan lokasi konstruksi. Para ahli mengatakan Korea Utara tidak dapat melakukan lockdown yang akan menghambat produksi dalam ekonomi yang sudah rusak oleh salah urus, melumpuhkan sanksi yang dipimpin AS atas ambisi senjata nuklir Kim dan penutupan perbatasan pandemi, seperti dikutip dari laman ABC News, Kamis (19/5/2022). 

Tetapi akan menjadi tantangan bagi Korea Utara untuk memberikan perawatan bagi sejumlah besar orang dengan COVID-19. Kematian mungkin mendekati puluhan ribu, mengingat ukuran beban kasusnya, dan bantuan internasional akan sangat penting, kata Kee Park, spesialis kesehatan global di Harvard Medical School yang telah bekerja pada proyek perawatan kesehatan di Korea Utara.

"Cara terbaik untuk mencegah kematian ini adalah dengan mengobati dengan antivirus seperti Paxlovid," yang secara signifikan akan menurunkan risiko penyakit parah atau kematian, kata Park. 

"Ini jauh lebih cepat dan lebih mudah diterapkan daripada mengirim ventilator untuk membangun kapasitas ICU."

Pakar lain mengatakan menyediakan sejumlah kecil vaksin untuk kelompok berisiko tinggi seperti orang tua akan mencegah kematian, meskipun vaksinasi massal tidak mungkin dilakukan pada tahap ini untuk populasi 26 juta.

Namun, tidak jelas apakah Korea Utara akan menerima bantuan dari luar. Itu sudah menghindari vaksin yang ditawarkan oleh program distribusi COVAX yang didukung PBB, dan para pemimpin negara telah menyatakan keyakinannya bahwa negara itu dapat mengatasi krisis itu sendiri.

Sebelumnya, Korea Utara telah menolak tawaran bantuan dari kelompok internasional, serta masing-masing negara seperti China, Rusia, dan Korea Selatan.

Dr. Michael Ryan, kepala program kedaruratan WHO, mengatakan pada hari Selasa bahwa meskipun organisasi tersebut siap membantu Korea Utara dan Eritrea, satu-satunya negara lain yang belum mulai memvaksinasi penduduknya, "tidak memiliki kekuatan khusus untuk campur tangan dalam negara yang berdaulat," seperti dikutip dari laman NBC News, Kamis (19/5/2022). 

Dalam wabah saat ini, Pyongyang sejauh ini tidak menanggapi tawaran bantuan dari presiden konservatif baru Korea Selatan, Yoon Suk-yeol.  Amerika Serikat mengatakan meskipun mendukung program distribusi internasional seperti Covax, mereka tidak memiliki rencana untuk berbagi vaksin dengan Korea Utara secara langsung. 

Ada laporan bahwa Korea Utara telah mengirim pesawat untuk mengambil pasokan medis melintasi perbatasan di China, yang respon pandeminya dipuji oleh Kim.

"Korea Utara suka mengatakan bahwa mereka mandiri, tetapi jika bantuan eksternal diperlukan sama sekali maka jauh lebih baik untuk mengandalkan China, yang merupakan sekutu militer Korea Utara," kata Tongfi Kim, seorang peneliti senior di KF-VUB Korea Chair di Brussel.

Infografis Ragam Tanggapan Ledakan Kasus Covid-19 di Korut. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya