Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan Perang Rusia – Ukraina telah menyebabkan disrupsi sisi produksi atau supply yang sangat besar. Hal ini kemudian mendorong kenaikan ekstrem harga komoditas global.
"Harga minyak mentah terus-menerus berada pada kisaran USD 100 per barel. Sejak awal tahun (year to date), harga gas alam naik 127,0 persen, batu bara naik 137,3 persen, CPO naik 26,1 persen, gandum naik 56,5 persen dan jagung naik 34,3 persen," kata Sri Mulyani dalam Rapat Paripurna DPR RI dengan agenda Penyampaian Pemerintah terhadap KEM dan PPKF RAPBN Tahun Anggaran 2023, Jum'at (20/5/2022).
Advertisement
Jika dirata-rata, indeks harga pangan dunia telah mengalami kenaikan 145,0 persen dibanding situasi awal 2020.
Di sisi lain, proses pemulihan ekonomi nasional yang menguat tentu patut disyukuri, namun ini tidak menyebabkan pemerintah cepat berpuas diri. Tantangan dan risiko baru telah muncul dari faktor global baik dari sisi geopolitik, ekonomi dan keuangan yang sangat kompleks dan dinamis harus segera kita antisipasi dan kelola.
Dalam World Economic Outlook April, IMF memproyeksikan melambatnya pertumbuhan ekonomi global di 2022 pada level 3,6 persen, turun signifikan 0,8 poin persentase dari proyeksi di Januari 2022.
Selain pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya selesai, ada dua tantangan besar lain yang perlu terus diwaspadai dan antisipasi, yaitu: lonjakan inflasi global, terutama akibat perang Rusia – Ukraina, dan percepatan pengetatan kebijakan moneter global, khususnya di Amerika Serikat (AS).
Tingkat inflasi di Amerika Serikat yang sangat tinggi yaitu 8,4 persen yang tertinggi dalam 40 tahun terakhir menjadi ancaman nyata bagi pemulihan ekonomi Amerika Serikat dan bahkan ancaman dunia. Bank Sentral Amerika Serikat - The Fed, akan melakukan percepatan pengetatan moneter.
"Saat ini, kenaikan suku bunga acuan diperkirakan dapat terjadi hingga 7 kali di tahun 2022 dan berpotensi diikuti dengan kontraksi balance sheet yang menyebabkan lebih ketatnya kondisi likuiditas global," ujarnya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pilihan Kebijakan Pemerintah
Sementara itu, sejak awal 2021 sampai dengan Maret 2022, sejumlah negara berkembang G20 seperti Brazil, Meksiko, dan Afrika Selatan telah menaikkan suku bunga acuannya secara sangat signifikan.
"Spillover effect dari pengetatan kebijakan moneter dan likuiditas global ini harus kita waspadai, khususnya terhadap kenaikan cost of fund untuk pembiayaan, baik APBN maupun sektor korporasi, di tengah fase pemulihan ekonomi yang masih awal dan masih rapuh," ujarnya.
Bandahara negara ini menegaskan, pergeseran risiko, tantangan inflasi, dan pengetatan moneter ini menimbulkan situasi pilihan kebijakan (policy trade-off) yang sangat sulit, yang dihadapi oleh semua negara di dunia.
Pilihan kebijakan tersebut adalah, apakah segera mengembalikan stabilitas harga atau mengendalikan inflasi yang berarti pengetatan moneter dan fiskal yang akan memberikan dampak negatif terhadap pertumbuhan, atau tetap mendukung akselerasi pemulihan ekonomi setelah terpukul pandemi.
"Jika tidak terkelola, risiko global ini akan menggiring kepada kondisi stagflasi, yaitu fenomena inflasi tinggi dan terjadinya resesi seperti yang pernah terjadi di Amerika Serikat pada periode awal 1980-an dan 1990-an," ujar Menkeu.
Kondisi stagflasi akan memberikan imbas negatif luar biasa ke seluruh dunia, terutama terhadap negara-negara berkembang dan emerging market.
Advertisement
Ekonomi Global Diproyeksi Terkoreksi 0,8 Persen Imbas Perang Rusia-Ukraina
Sebelumnya, akibat perang Rusia-Ukraina, perekonomian global terkoreksi 0,8 persen dari proyeksi di akhir tahun lalu. Semula pertumbuhan ekonomi global tahun 2022 diproyeksikan mampu tumbuh 4,4 persen, namun akibat konflik tersebut diramal ekonomi global hanya bisa tumbuh 3,6 persen.
"Perekonomian global terkoreksi akibat geopolitik, terkoreksi 0,8 persen dari 4,4 persen menjadi 3,6 persen," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu dalam konferensi pers APBN KiTa, Jakarta, Rabu (20/4).
Meski begitu, kata Febrio, penurunan proyeksi tersebut tidak lantas memukul pertumbuhan ekonomi negara-negara dunia. Sebab setiap negara memiliki dampak yang berbeda akibat konflik tersebut.
"Secara distribusi tidak semua negara terdampak besar secara uniform, terutama negara seperti Indonesia. Kita relatif aman," kata dia.
Bahkan akibat konflik ini Indonesia diuntungkan dari sisi penerimaan negara. Konflik tersebut membuat harga komoditas khususnya energi melonjak tajam. Sehingga penerimaan negara bertambah.
"APBN kita menikmati windfall yang relatif signifikan," kata dia.
Untuk itu, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap akan terjaga di 4,8 persen sampai 5,5 peren. Hal ini sesuai proyeksi yang dibuat IMF untuk Indonesia yakni tumbuh di 5,6 persen sampai 5,4 persen.
"IMF lebih optimis dari pemerintah, tapi kita konservatif dengan keadaan yang ada saat ini, dimana APBN bisa punya kemampuan sebagai syok absorber dari lonjakan harga komoditas," katanya.