Pohon Setinggi 83,2 Meter Ditemukan di Tibet, Pecahkan Rekor Tertinggi di China

Pohon dengan tinggi 83,2 meter baru-baru ini ditemukan di wilayah Zayu di Daerah Otonom Tibet, China barat daya.

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Mei 2022, 20:10 WIB
Hutan Abies ernestii var. salouenensis yang masih perawan di wilayah Zayu di Daerah Otonom Tibet, China barat daya, dengan pohon tertinggi setinggi 83,2 meter di tengahnya. (Foto: Institut Botani di bawah naungan Akademi Ilmu Pengetahuan China)

Liputan6.com, Tibet - Pohon dengan tinggi 83,2 meter baru-baru ini ditemukan di wilayah Zayu di Daerah Otonom Tibet, China barat daya. Tanaman tersebut memecahkan rekor baru sebagai pohon tertinggi di China, menurut Akademi Ilmu Pengetahuan China (Chinese Academy of Sciences/CAS).

Pohon Abies ernestii var. salouenensis yang memecahkan rekor tersebut, dengan diameter setinggi dada mencapai 207 cm, ditemukan di sebidang area yang luas di sebuah hutan perawan oleh tim ekspedisi ilmiah dari Institut Botani di bawah naungan CAS.

"Ini menandai penemuan baru dalam survei penelitian ilmiah kedua China di Dataran Tinggi Qinghai-Tibet," kata CAS.

Hutan Abies ernestii var. salouenensis yang masih perawan tersebar di seluruh sebuah area yang ditandai dengan perbukitan dan lembah yang terletak di ketinggian sekitar 2.300 meter dengan berbagai spesies pakis dan anggrek, serta pohon-pohon lain yang beragam dan langka, menurut Guo Ke, seorang peneliti di institut itu sekaligus pemimpin tim.

"Hutan perawan yang begitu luas dan terpelihara dengan baik ini dikaitkan dengan kondisi geologis dan cuaca setempat, serta aktivitas manusia yang langka. Populasi pohon dan ekosistem di sini sangat berharga untuk penelitian ilmiah dan perlindungan ekologis," kata Guo.

Tinggi pohon tersebut melampaui Pinus bhutanica setinggi 76,8 meter yang belum lama ini ditemukan di wilayah Medog, Tibet, dan cryptomerioides Taiwania dengan tinggi sekitar 81 hingga 82 meter di Taiwan.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Sinkhole Raksasa Guangxi

Sebuah Tiankeng, atau lubang runtuhan (sinkhole) karst raksasa, di Leye-Fengshan Global Geopark, Daerah Otonom Etnis Zhuang Guangxi, China selatan. (Xinhua/Zhou Hua)

Sebuah lubang runtuhan atau sinkhole karst raksasa ditemukan di wilayah Leye, Daerah Otonom Etnis Zhuang Guangxi, China selatan. Temuan tersebut menjadikan total jumlah sinkhole semacam itu di Leye sebanyak 30.

Zhang Yuanhai, seorang insinyur senior di Institute of Karst Geology of China Geological Survey, mengatakan bahwa sinkhole yang terletak di dekat Desa Ping'e di daerah Luoxi tersebut memiliki panjang 306 meter, lebar 150 meter, dan kedalaman 192 meter. Volume sinkhole ini mencapai lebih dari 5 juta meter kubik dan dapat dikategorikan sebagai sinkhole berukuran besar.

Zhang mengatakan terdapat tiga gua besar di dinding sinkhole tersebut, yang diperkirakan merupakan sisa-sisa evolusi awal dari sinkhole itu, seperti dikutip dari Xinhua, Senin (9/5/2022). Sementara itu, di dasar sinkhole tersebut terdapat hutan primitif yang masih asri.

Chen Lixin, pemimpin tim ekspedisi gua Guangxi 702, mengatakan bahwa pohon-pohon kuno yang tumbuh di dasar sinkhole tersebut memiliki tinggi hampir 40 meter, dan terdapat pula tetumbuhan peneduh yang lebat dengan tinggi hingga sebahu.

Ekspedisi tersebut rampung pada Jumat 6 Mei, setelah anggota tim meluncur turun dengan tali hingga lebih dari 100 meter dan berjalan kaki beberapa jam untuk mencapai dasar lubang. Mereka kembali ke atas dengan selamat pada Jumat malam waktu setempat.

Sinkhole raksasa, yang juga dikenal sebagai Tiankeng (lubang surgawi) dalam bahasa Mandarin, merupakan dolin atau lubang raksasa dengan karakteristik geologis unik yang ditemukan di kawasan karst, terbentuk melalui fenomena keruntuhan yang terjadi beberapa kali. Sinkhole terutama banyak ditemukan di China, Meksiko, dan Papua Nugini.


Fosil Reptil Laut

Restorasi fosil reptil laut di Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei, China tengah. (Xinhua/Universitas Geosains China Wuhan)

Sejumlah peneliti telah mengidentifikasi kerangka parsial dari reptil laut yang sebelumnya tidak diketahui sebagai ichthyosauromorph. Reptil itu diketahui hidup sekitar 250 juta tahun silam, menurut Universitas Geosains China (Wuhan).

Fosil yang berasal dari Zaman Trias Bawah tersebut digali di Kota Baise, Daerah Otonom Etnis Zhuang Guangxi, China selatan, dan dinamakan Baisesaurus Robustus oleh tim peneliti yang terlibat dalam penemuannya, seperti dilansir Xinhua, Kamis (14/4/2022).

Berdasarkan pekerjaan restorasi selama tiga bulan, para peneliti meyakini reptil tersebut memiliki panjang sekitar 3 meter, jauh lebih besar dibandingkan fosil-fosil ichthyosauriform Trias Awal lainnya yang ditemukan di China. Baisesaurus robustus lebih menyerupai lumba-lumba, menurut sejumlah gambar yang dibuat melalui proses restorasi ilmiah.

Dengan tulang kaki depan yang lebih panjang dan lebih kuat, reptil laut itu juga diyakini sebagai perenang yang tangguh dan kemungkinan besar merupakan predator unggul di lautan, kata Pemimpin tim yang juga lektor kepala di Fakultas Geosains universitas tersebut, Han Fenglu.

Studi itu baru-baru ini dipublikasikan secara daring di jurnal biologi internasional PeerJ.

Ichthyosauriform diperkirakan muncul di Bumi pada 250 juta tahun silam dan punah sekitar 90 juta tahun lalu. Reptil laut itu hidup pada zaman yang kurang lebih sama dengan dinosaurus, tetapi asal-usul dan sejarah evolusi awal mereka masih menjadi misteri. 3 dari 4 halaman


Fosil Burung Hantu

Kerangka fosil burung hantu yang telah punah di China. (Sumber: Tim Peneliti/Xinhua)

Kerangka fosil burung hantu yang telah punah ditemukan di China barat laut. Para ahli paleontologi menemukan kerangka hewan yang hidup lebih dari enam juta tahun lalu itu dalam kondisi sangat baik.

Tulang mata yang telah menjadi fosil dari kerangka itu mengungkapkan bahwa burung hantu tersebut aktif di siang hari, bukan malam hari, menurut penelitian yang diterbitkan dalam Proceedings of the National Academy of Science pada Selasa 29 Maret. Temuan ini menjadi catatan pertama tentang burung hantu purba yang aktif di siang hari.

Tim peneliti yang dipimpin Li Zhiheng dan Thomas Stidham dari Institut Paleontologi Vertebrata dan Paleoantropologi di bawah Akademi Ilmu Pengetahuan China menamai spesies itu Miosurnia diurna mengacu pada kerabat dekatnya yang masih hidup, Burung Hantu Elang Utara diurnal.

Kerangka fosil itu ditemukan di bebatuan deposit pada ketinggian lebih dari 2.100 meter di Cekungan Linxia di Provinsi Gansu, China, atau tepatnya di tepi Dataran Tinggi Qinghai-Tibet, menurut penelitian tersebut, seperti dikutip dari Xinhua, Rabu (30/3/2022).

Fosil tersebut terawetkan hampir seluruh kerangka mulai dari ujung tengkorak kemudian sayap dan kaki hingga tulang ekor, beserta bagian-bagian tubuh yang jarang terlihat sebagai fosil seperti tulang-tulang organ lidah, urat sayap dan otot kaki, bahkan sisa-sisa makanan terakhirnya berupa mamalia kecil.

"Ini adalah pengawetan yang menakjubkan dari tulang mata di tengkorak fosil ini yang memungkinkan kita untuk melihat bahwa burung hantu ini lebih menyukai siang dan bukan malam," kata Li, penulis pertama makalah tersebut.

Infografis Ayo Jadikan 2022 Tahun Terakhir Indonesia dalam Masa Pandemi Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya