Liputan6.com, Jakarta Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai pemerintah perlu mencabut hak guna usaha sawit swasta. Ia memandang hal itu bisa dilakukan guna melindungi konsumen minyak goreng dalam negeri.
Hal ini jadi langkah awal yang perlu dilakukan pemerintah untuk bisa mengendalikan harga minyak goreng di sisi hilir. Artinya, penyelesaian polemik minyak goreng ini perlu dibenahi sejak sektor hulu.
Advertisement
“Hal yang paling ideal jika pemerintah ingin melindungi konsumen dari gejolak migor adalah cabut HGU sawit milik swasta, kemudian atur ulang kepemilikan lahan sawit,” kata Tulus kepada Liputan6.com, Jumat (20/5/2022).
Dalam mengambil langkah ini, Tulus menilai pemerintah Indonesia perlu meniru Malaysia yang menguasai kepemilikan lahan sawit sebesar 40 persen. Harapannya, aturan turunannya bisa lebih mudah diatur pemerintah.
“Dalam hal ini malaysia patut dicontoh karena mampu menguasai 40 persen lahan sawit. Sehingga mudah mengatur tata niaga sawit/CPO, termasuk harga minyak goreng, dengan HET dan subsidi,” terangnya.
Menurut data yang dimilikinya, kepemilikan sawit pemerintah melalui perusahaan pelat merah hanya berkisar 5-6 persen. Dengan porsi sekecil itu, ia memandang mustahil pemerintah bisa mengatur harga minyak goreng di pasaran.
“Sementara saat ini kepemilikan lahan sawit pemerintah Indonesia (via BUMN) hanya 5-6 persen saja. Dengan kepemilikan lahan sawit yang 5-6 persen itu maka terlalu musykil bagi pemerintah untuk mengintervensi kebijakan di sisi hilir (harga migor). Beranikah pemerintah melakukan hal ini?,” tukasnya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pemerintah Gagal Cari Jalan Keluar
Sementara itu, ekonom menilai pemerintah gagal mengambil jalan keluar untuk menekan harga minyak goreng lewat pelarangan ekspor. Ini menyusul pemerintah yang kembali membuka akses untuk ekspor Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya pada 23 Mei 2022 mendatang.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira memandang pelarangan ekspor secara total adalah kesalahan fatal pemerintah. Buktinya, harga minyak goreng di masyarakat masih terpantau tinggi.
Disamping itu, petani kelapa sawit juga dirugikan dengan harga tandan buah segar (TBS) sawit yang anjlok. Menurut data Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) penurunannya terjadi hingga 70 persen dari harga normal.
“Pencabutan larangan ekspor CPO dan minyak goreng bukti bahwa kebijakan pengendalian harga minyak goreng lewat stop ekspor total seluruh produk CPO adalah kesalahan fatal. Harga migor di level masyarakat masih tinggi, petani sawit dirugikan dengan harga yang TBS anjlok karena oversupply CPO didalam negeri,” kata Bhima kepada Liputan6.com, Jumat (20/5/2022).
Advertisement
Kehilangan Penerimaan Negara
Kerugian tak hanya menyoal harga minyak goreng kemasan di masyarakat, Bhima mengungkap negara juga kehilangan triliunan rupiah. Ini angka yang disumbang dari ekspor CPO dan yang terkait.
“Kehilangan penerimaan negara lebih dari Rp 6 Triliun, belum ditambah dengan tekanan pada sektor logistik -perkapalan yang berkaitan dengan aktivitas ekspor CPO,” ujarnya.
Bhima memandang kehilangan devisa sudah terlanjur cukup tinggi imbas pelarangan ekspor CPO, yang mempengaruhi stabilitas sektor keuangan. Ia mencatat pelemahan kurs rupiah terhadap dollar AS dipasar spot sebesar 3 persen dalam sebulan terakhir salah satunya disumbang dari pelarangan ekspor.
“Collateral damage-nya sudah dirasakan ke berbagai sektor ekonomi. Harapannya kebijakan berbagai komoditas kedepannya tidak meniru pelarangan ekspor CPO yang tidak memiliki kajian matang. Cukup terakhir ada kebijakan proteksionisme yang eksesif seperti ini,” tuturnya.
Kendali Pemerintah
Lebih lanjut Bhima menyampaikan pasca ada aturan pencabutan larangan ekspor, pemerintah harus mengendalikan harga minyak goreng yang acuannya mekanisme pasar.
Ia khawatir pengusaha yang mengacu harga internasional menaikkan harga minyak goreng secara signifikan.
“Pengusaha yang mengacu pada harga dipasar internasional dikhawatirkan menaikkan harga minyak goreng secara signifikan khususnya minyak goreng kemasan,” katanya.
“Selama aturan minyak goreng boleh mengacu pada mekanisme pasar maka harga yang saat ini rata-rata Rp24.500 per liter dipasar tradisional bisa meningkat lebih tinggi,” tambah Bhima.
Advertisement