Liputan6.com, Singapura - Ustaz Abdul Somad Batubara, serta enam orang yang bepergian bersamanya, tiba di Terminal Feri Tanah Merah Singapura pada 16 Mei 2022 tetapi ditolak masuk dan dikirim kembali ke Batam. Perkara tersebut kemudian membuat gusar para pengikutnya.
Kementerian Dalam Negeri Singapura (MHA) mengatakan pada hari berikutnya bahwa Ustaz Abdul Somad telah dikenal menyebarkan ajaran "ekstremis dan segregasi", yang "tidak dapat diterima di masyarakat multi-ras dan multi-agama Singapura".
Advertisement
Terkait hal tersebut, Menteri Hukum dan Dalam Negeri Singapura K Shanmugam pada hari Senin ini menyoroti salah satu contoh ancaman yang diposting di Instagram, yang menyebut Singapura sebagai “negara Islamofobia” dan mengatakan para pemimpinnya memiliki waktu 48 jam untuk meminta maaf kepada umat Islam dan rakyat Indonesia.
Shanmugam menyebut pengguna Instagram mengancam akan mengusir duta besar Singapura untuk Indonesia dan mengirim pasukan termasuk Front Pembela Islam – sebuah organisasi Islam garis keras Indonesia – untuk menyerang negara itu "seperti 9/11 di New York 2001" jika tuntutan mereka diabaikan.
"Ancaman tersebut menyebutkan serangan 9/11 (11 September 2001) bakal dilakukan terhadap Singapura oleh pendukung seorang pengkhotbah yang dilarang memasuki negara itu (Ustaz Abdul Somad/UAS), kata Menteri Hukum dan Dalam Negeri K Shanmugam, Senin (23/5/2022) seperti dikutip dari Channel News Asia.
Sejak saat itu, platform tersebut telah menghapus postingan terkait dan menonaktifkan akunnya karena melanggar standar komunitas.
Menanggapi pertanyaan dari media tentang apakah warga Singapura harus khawatir, Shanmugam mengatakan bahwa ancaman tersebut tidak boleh diabaikan.
"Paralel terkait dengan 9/11, paralel terkait dengan Singapura dipimpin oleh para pemimpin non-Islam dan bahwa Singapura harus diserang, kepentingan Singapura harus diserang," katanya. "Jadi saya tidak akan meremehkan komentar."
Pengikut di Singapura Terpengaruh Ajaran UAS Soal Bom Bunuh Diri
Shanmugam juga mengungkapkan bahwa beberapa orang yang telah diselidiki di bawah Undang-Undang Keamanan Internal adalah pengikut Somad. Termasuk seorang remaja berusia 17 tahun yang ditahan pada Januari 2020.
Remaja itu telah menonton ceramah Somad tentang bom bunuh diri di YouTube dan mulai percaya bahwa jika dia berjuang untuk ISIS dan menjadi pelaku bom bunuh diri, dia akan mati sebagai martir.
"Jadi Anda bisa lihat, khotbah Somad memiliki konsekuensi dunia nyata," kata Shanmugam.
Menyusul keputusan untuk melarang Somad, pengunjuk rasa berkumpul di Kedutaan Besar Singapura di Jakarta dan Konsulat Jenderal Singapura di Medan pada Jumat 20 Mei.
Para pengunjuk rasa Jakarta yang tergabung dalam Pembela Ideologi Syariah Islam (Perisai), menuntut agar kedutaan Singapura mengklarifikasi kejadian tersebut dan meminta maaf secara terbuka.
Kelompok itu juga menyerukan agar duta besar Singapura untuk Indonesia diminta meninggalkan negara itu.
Di Medan, pengunjuk rasa berkumpul di sebuah masjid dan berbaris menuju konsulat jenderal Singapura, menuntut agar Singapura bertanggung jawab atas "deportasi" Somad.
Shanmugam mengatakan penolakan masuknya Somad ke Singapura telah memberikan publisitas kepada pengkhotbah Indonesia, yang sudah memiliki banyak pengikut online.
"Dia memanfaatkan publisitas secara maksimal, dan dia sekarang, menurut pandangan saya, terlibat dalam aksi publisitas lebih banyak," kata Menteri Shanmugam.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pendukung Somad Ancam Serangan Siber
Pekan lalu, Somad mengaku tak akan menyerah untuk mencoba mengunjungi Singapura, yang menyebut negara itu sebagai tanah Melayu, mirip dengan Riau tempat asalnya. Dalam video YouTube, dia mengatakan bahwa orang-orang di Riau melihat Singapura sebagai bagian dari tanah mereka karena Singapura adalah bagian dari kerajaan Melayu Temasek.
"Kami bukan negara yang terpisah dari sudut pandangnya dan banyak pendukungnya, sebagian besar di Indonesia, telah gusar," kata Shanmugam.
"Mereka mengatakan Singapura, saya kutip dari dia, tidak menghormati Muslim dan ulama Islam," katanya lagi.
“Mereka membanjiri halaman media sosial lembaga pemerintah Singapura, termasuk pejabat politik, termasuk saya, dengan ancaman.
“Pendukungnya telah menyerukan serangan siber di Singapura di situs web pemerintah, akun media sosial, boikot produk Singapura, dan agar orang Indonesia berhenti mengunjungi Singapura – semua karena kami menggunakan hak kami untuk menolak seseorang masuk ke Singapura."
Advertisement
Bukan Aturan Khusus, Diberlakukan Setara
Menteri Shanmugam mengatakan Somad telah secara terbuka mempromosikan ajaran ekstremis yang memecah belah, termasuk bahwa serangan bom bunuh diri adalah "operasi syahid yang sah".
Dia juga secara terbuka menyebut non-Muslim sebagai kafir, dan membuat pernyataan yang menghina dan merendahkan tentang Kekristenan dengan menggambarkan salib Kristen sebagai tempat tinggal "jin (roh/setan) kafir".
Shanmugam juga mneyebut Somad bahkan telah mengatakan kepada umat Islam untuk tidak bepergian dengan ambulans Palang Merah yang memiliki simbol salib. Mereka juga harus menutupi salib yang dipajang untuk menghindari kematian sebagai "kafir", dan tidak mengucapkan "Selamat Natal" kepada orang lain.
"Dia telah berkhotbah bahwa Muslim tidak boleh menerima non-Muslim sebagai pemimpin mereka, karena dia mengatakan non-Muslim dapat berkonspirasi untuk menindas Muslim dan, saya kutip dari UAS, "menggorok leher mereka". Anda menganggap itu dapat diterima di Singapura?" papar Shanmugam.
UAS sebelumnya telah ditolak masuk ke Hong Kong, Timor Leste, Inggris, Jerman dan Swiss, Menteri Shanmugam menambahkan.
Dia menunjukkan bahwa Singapura mengambil pendekatan "tanpa toleransi" dan "tidak berpihak" terhadap segala bentuk ujaran kebencian dan ideologi yang memecah belah.
"Itu tidak ditujukan pada individu tertentu atau agama tertentu, atau kebangsaan tertentu. Posisi kami berlaku sama untuk semua."
Shanmugam mengutip contoh termasuk pengkhotbah asing Amerika Lou Engle dan dua pengkhotbah asing Kristen yang dilarang berkhotbah di Singapura, karena mereka telah membuat komentar menghina terhadap agama lain termasuk Islam dan Buddha.
Awal bulan ini, Singapura mengumumkan bahwa mereka telah melarang film tentang eksodus umat Hindu dari wilayah Kashmir yang mayoritas Muslim disengketakan karena penggambaran Muslim yang provokatif.
"Banyak orang di India mengkritik kami karena melarang film ini, tetapi saya tidak meminta maaf atas pendekatan kami," kata Shanmugam.
"Kami tidak akan membiarkan orang-orang seperti Somad mendapat kesempatan untuk membangun pengikut lokal, atau terlibat dalam kegiatan yang mengancam keamanan dan keharmonisan komunal kami."
Respons Pemerintah Indonesia Sangat Tepat
Mengomentari tanggapan pemerintah Indonesia menyusul penolakan Singapura untuk akses masuk Somad, Shanmugam mengatakan itu “sangat tepat”.
(Pemerintah Indonesia) menerima bahwa Singapuralah yang memutuskan siapa yang bisa masuk ke Singapura, begitu juga Indonesia yang memutuskan siapa yang bisa masuk ke Indonesia,” kata Shanmugam.
"Itu untuk setiap negara, untuk memutuskan siapa yang bisa masuk ke negara itu – aspek dasar kedaulatan. Anda tidak bisa menyangkal dan mengancam,” tambahnya. “Jadi pemerintah Indonesia sangat, sangat benar tentang ini."
Dia mengatakan bahwa mayoritas orang Indonesia mengakui apa yang "sebenarnya" dilakukan oleh Somad dan para pendukungnya.
"Saya bersyukur banyak pejabat dan komentator Indonesia yang menolak klaim ini dan membela Singapura. Mereka tahu tuduhan terhadap Singapura itu salah," katanya.
Menyusul insiden itu, badan kontra-teror Indonesia mengatakan kepada CNA bahwa keputusan Singapura untuk menolak masuknya Somad adalah pelajaran penting bagi Indonesia untuk mengambil tindakan pencegahan dalam melarang pandangan radikal.
CNA memahami bahwa pemerintah Indonesia telah menegaskan kembali hak kedaulatan Singapura untuk memutuskan siapa yang akan diizinkan masuk, dan bahwa Duta Besar negara itu untuk Singapura Suryopratomo mengatakan pada 19 Mei bahwa pemerintah Indonesia "tidak dapat campur tangan" sehubungan dengan keputusan Singapura.
Dubes Suryopratomo juga meminta masyarakat Indonesia untuk memahami bahwa dalam hubungan internasional, hak untuk masuk ke suatu negara ditentukan oleh negara penerima. Dengan demikian, "tidak ada dasar untuk meminta maaf kepada Singapura".
Advertisement