Liputan6.com, Jakarta - Abrasi pantai di Sulawesi Tengah tersebar di 34 titik, terbanyak ketiga di Pulau Sulawesi setelah Sulawesi Selatan (57 titik) dan Sulawesi Tenggara (74 titik), menurut Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Meminimalisasi dampaknya, sekelompok anak di Kabupaten Donggala turun tangan dalam "Aksi Generasi Iklim."
Itu merupakan kampanye Save the Children Indonesia yang secara resmi dirilis bulan lalu. Dalam kegiatan yang berlangsung Minggu, 22 Mei 2022, anak-anak dan orang muda terlibat dalam aksi bersih pantai, menanam bakau, dan melakukan pemagaran hutan bakau di Pantai Mapaga, Labean, Kabupaten Donggala.
Baca Juga
Advertisement
Abrasi pantai sendiri berdampak pada penyusutan garis pantai, sehingga daratan utama semakin berkurang, berkurangnya sumber daya ikan dan plasma nutfah, serta merusak hutan bakau di sepanjang pesisir pantai yang akhirnya memperbesar risiko bencana, seperti banjir rob.
"Krisis iklim dirasakan dampaknya secara nyata oleh anak-anak saat ini, terutama mereka yang tinggal di daerah rawan bencana dan pernah mengalami histori kejadian bencana skala besar, seperti di Kabupaten Donggala," Troy Pantouw, Chiefof Advocacy, Campaign, Communication, and Media Save the Children Indonesia mengatakan dalam keterangannya.
Ia juga menegaskan, tanpa adanya aksi nyata yang dilakukan segera, anak-anak akan terus menanggung beban tidak proporsional karena situasi yang mereka alami saat ini. Anak-anak dan keluarga yang terdampak langsung dari krisis iklim juga harus dibantu dalam melakukan upaya-upaya adaptasi karena kemampuan mereka terbatas.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Bebersih Pantai sampai Menanam Bakau
Dalam keterangan tambahan melalui pesan suara pada Liputan6.com, Selasa, 24 Mei 2022, Media and Brand Manager Save the Children Indonesia, Dewi Sri Sumanah, menyebut 40 anak-anak dan orang muda terlibat dalam "Aksi Generasi Iklim" di Sulawesi Tengah, pekan lalu.
Dari aksi bersih pantai, pihaknya mengumpulkan lebih dari 12 kantong sampah besar hanya dalam waktu 30 menit. "Kebanyakan sampah plastik, seperti botol dan sampo saset," ia menyebutkan.
Kemudian, mereka menanam 10 pohon bakau. "Atau nama latinnya Barringtonia asiatica," imbuhnya. Jenis bakau ini dinilai cukup tahan pada deburan ombak dan kondisi wilayah pesisir pada umumnya.
Ia berkata, "(Jenis pohon bakau) butun juga tumbuh cukup cepat, yakni dalam waktu dua tahun." Dewi menyebut, nantinya akan ada tambahan pohon bakau, yakni 30 pohon, yang akan ditanam anak dan orang muda bersama warga setempat.
Pemagaran pun dilakukan di masing-masing pohon bakau dengan jarak per empat--lima meter. "Ada 10 pohon (bakau) yang kemarin tanam, jadi (pemagaran dilakukan) sepanjang 50 meter," tuturnya.
Advertisement
Mengurangi Risiko Banjir Rob
Dewi mengakui aksi mereka memang tidak akan berdampak secara cepat, tapi dapat mengurangi risiko. "Terutama pada anak-anak yang tinggal di daerah rawan banjir rob," katanya.
Lewat aksi peduli lingkungan, minimal anak-anak di sana bisa menginspirasi masyarakat dan anak-anak lain untuk berbuat hal serupa. Ia juga menggaribawahi bahwa banyak hal-hal di luar kapasitas anak.
"Misalnya, anak (di Kabupaten Donggala yang terlibat dalam aksi tersebut) menyampaikan mereka sangat ingin dibangun tanggul di pesisir pantai. Berharap ada bank sampah. Itu tentu bisa jadi tanggung jawab pemerintah setempat," Dewi menuturkan.
Aksi Generasi Iklim dinilainya sebagai salah satu bukti anak-anak sangat sadar akan isu lingkungan. Karena itu, Save the Children Indonesia bermaksud mendukung lewat kampanye yang menciptakan ruang aman untuk anak dapat menyuarakan masalah, solusi, serta memfasilitasi mereka bertemu pemangku kebijakan.
"Jadi nantinya (pemangku kebijakan) melibatkan anak dalam pengambilan setiap keputusan (termasuk soal penanganan isu lingkungan)," ucapnya.
Cerita Penyintas Banjir Rob
Salah satu penggagas aksi adalah Rahmi yang juga merupakan bagian dari Forum Anak Labean sekaligus penyintas banjir rob, serta tsunami dan gempa yang melanda Sulawesi Tengah pada 2018 lalu.
"Awalnya (sebelum bencana) banjir rob hanya di atas mata kaki. Setelah bencana, bisa sampai 60-an sentimeter atau selutut orang dewasa," gadis 17 tahun itu bercerita. "Kalau banjir, semua barang yang tidak bisa kena air diangkat atau dipindahkan."
"Akses untuk belajar susah karena tertutup dan harus menyebrang ke sekolah. Sementara untuk menyebrang pakai perahu butuh uang yang cukup besar. Bahkan, kadang tidak terpikir sekolah, karena harus mengungsikan barang-barang agar tidak terkena air," ia menyambung.
Satu-satunya mata pencaharian ayah Rahmi sebagai nelayan juga terpengaruh karena sulit mendapat ikan. Tidak jarang pula, Rahmi sekeluarga mengalami gatal-gatal imbas dari banjir yang masuk ke rumah. Air bersih yang biasanya didapat dari pompa air sumur berubah jadi keruh.
Kebutuhan air Rahmi dan keluarga diambil dari sungai terdekat. "Lima tahun lalu, adik sakit diare. Orangtua panik, uang tidak ada, banjir rob sedang naik. Akhirnya tanya-tanya tetangga saja obatnya apa, dicarikan obatnya, dan dikasih minum (ke adik)," ia menuturkan. Belum lagi berbicara tentang sampah yang terbawa banjir rob.
Rahmi adalah satu dari sekian banyak anak dan keluarga yang terdampak banjir rob di Sulawesi Tengah. Ia harus meninggalkan rumah yang 20 tahun ditempati keluarganya dan pindah ke hunian tetap (huntap) agar bisa kembali menjalani hidup normal. Saat ini, ia sudah dua tahun tinggal di huntap. Meski begitu, Rahmi tetap berharap masalah ini dapat ditanggulangi dengan cepat.
"Saat ini yang bisa kami lakukan sebagai anak-anak adalah membersihkan pantai dan menanam pohon, juga memagari pohon bakau supaya tidak dimakan kambing yang datang. Tapi kami berharap pemerintah dapat melakukan hal lain, misalnya membangun tanggul rob supaya rumah orang-orang tidak terendam banjir lagi," tutupnya.
Advertisement