Liputan6.com, Jakarta Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) terus memonitor fluktuasi kasus COVID-19 yang belum menunjukkan kenaikan pasca Lebaran.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono dalam rapat bersama Komisi IX DPR RI pada Senin 23 Mei kemudian menyatakan bahwa cuti bersama Lebaran tidak meningkatkan kasus COVID-19.
Advertisement
“Tren kasus kalau kita lihat, cuti bersama Lebaran ini tidak meningkatkan kasus COVID-19. Jadi kelihatannya kita sudah mulai merasa agak PD (percaya diri) dengan situasi ini,” kata Dante dalam rapat yang dikutip pada Selasa (24/5/2022).
Ia menambahkan, penyebab dari situasi ini kemungkinan karena angka antibodi SARS-CoV-2 warga Indonesia khususnya di Jawa-Bali sudah lebih baik.
Proporsi penduduk yang mempunyai antibodi SARS-CoV-2 di Jawa-Bali lebih tinggi di Maret 2022. Pada periode survei Desember 2021 hingga Maret 2022 terlihat peningkatan antibodi dari 94,5 menjadi 99,6.
“Di Maret 2022 itu sudah ada 99,6 orang di populasi masyarakat yang diperiksa antibodinya sudah menunjukkan hasil positif sehingga kebal terhadap COVID-19. Ini mungkin yang menyebabkan kasus tidak terlalu tinggi.”
Antibodi pada masyarakat bisa didapat dari infeksi sebelumnya dan bisa pula dari vaksinasi. Jadi, berasal dari dua sumber, baik internal maupun eksternal, kata Dante.
“Hipotesis kita, tingginya antibodi di populasi membuat tingginya mobilitas saat mudik Lebaran tidak menyebabkan peningkatan kasus yang signifikan.”
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Vaksinasi 410 Juta Dosis
Peningkatan kasus COVID-19 pasca Lebaran yang tidak signifikan juga dapat disebabkan capaian vaksinasi di Indonesia yang terbilang tinggi.
“Kita tetap melakukan evaluasi terhadap vaksinasi, ada 410 juta dosis vaksin yang sudah disuntikkan.”
Sementara itu, lebih dari 61 persen populasi Indonesia sudah menerima vaksin lengkap.
“Ini akan kita kejar terus sampai target WHO yang 70 persen populasi vaksinasi lengkap tercapai pada Juni 2022. Kalau ini sudah tercapai maka kita akan mencapai herd immunity dari total populasi yang disuntik.”
Dante juga menjelaskan terkait masa transisi Indonesia dari pandemi menuju endemi. Menurutnya, untuk mencapai endemi sebetulnya ada lima tahap yang perlu dilewati.
“Dari pandemi kemudian deselerasi, terkendali, eliminasi, dan eradikasi. Saat ini kita termasuk pada periode terkendali. Jadi sekarang kita tidak bisa menyebut bahwa kita sedang dalam fase endemi tapi masih dalam masa pandemi yang terkendali.”
Disebut pandemi terkendali karena situasi sekarang tidak menyebabkan gangguan pada aktivitas masyarakat.
Advertisement
Ciri Era Pandemi Terkendali
Era pandemi terkendali ditandai dengan beberapa hal yakni:
-Penyebaran penyakit yang secara konsisten ada tetapi terbatas pada wilayah tertentu.
-Berada pada level yang tidak mendisrupsi kehidupan publik.
-Angka-angkanya semakin menurun.
-Dapat diprediksi dan stabil.
“Pandemi yang terkendali ini masih menuju fase-fase yang berikutnya dan mudah-mudahan akan semakin baik sampai ke eliminasi dan akhirnya ke eradikasi.”
Walau begitu, sejarah mengajarkan bahwa COVID-19 bukan pandemi yang pertama. Dulu ada pandemi lain seperti flu Spanyol. Pandemi-pandemi sebelumnya biasanya berlangsung 2 hingga 3 tahun. Ada yang benar-benar hilang dan ada juga yang masih ada di masyarakat.
“Tetapi karena kekebalan yang dibuat dan dibentuk kemudian diturunkan secara biologis kepada anak, maka anak-anaknya menjadi lebih kebal. Kita lihat seperti flu burung, sekarang masih ada, tapi karena ada kekebalan yang dibentuk secara natural maka flu burung kini menjadi endemi.”
“Apa COVID nanti juga akan seperti itu? Kita terus melakukan pemantauan, evaluasi dengan tetap melakukan protokol kesehatan serta pelonggaran secara bertahap.”
Terkait Hepatitis Akut
Dalam kesempatan yang sama, Dante juga menerangkan terkait hipotesis atau dugaan penyebab hepatitis akut.
Menurutnya, hepatitis akut atau acute hepatitis of unknown etiology diduga menyerang anak-anak karena:
Pertama, infeksi Adenovirus yang normal atau variannya. Adenovirus sendiri adalah virus yang biasanya muncul karena penularan respirasi atau jalan napas.
“Tapi kenapa ini terjadi pada anak? Ini masih tanda tanya. Pada saat panel pemeriksaan Adenovirus, sebagian dari anak-anak (pasien hepatitis akut) tersebut sekitar 70 persen terjangkit Adenovirus.”
Hipotesis kedua adalah adanya sindrom SARS-CoV2 pasca infeksi yang sebelumnya tidak diketahui.
“Kemudian yang ketiga, hipotesisnya adalah obat, racun, atau paparan lingkungan. Nah kita tahu bahwa ada fenomena yang disebut one health. Dalam fenomena ini obat, racun, dan paparan lingkungan terutama dari hewan bisa menyebabkan penularan (hepatitis akut) pada manusia.”
Dugaan keempat adalah patogen baru yang belum diketahui dan masih diselidiki. Dan hipotesis kelima adalah akibat varian baru SARS-CoV2 yang juga masih diteliti.
“Penelitian-penelitian tersebut terutama didasarkan aspek klinis terutama yang sekarang sedang berjalan adalah investigasi pada jaringan hati yang sudah ditemukan dan sudah dibiopsi serta hasil transplantasi yang ada pada anak-anak yang sakit tersebut,” katanya.
Advertisement