Liputan6.com, Jakarta Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Ali Mazi, yang menolak untuk melantik tiga orang penjabat (Pj) di daerahnya.
Dia beralasan, para Pj kepala daerah tersebut bukan hasil dari usulannya sebagai seorang gubernur, melainkan usulan dari Mendagri.
Terkait hal tersebut, Mendagri Tito Karnavian angkat bicara. Menurut dia, itu sudah dikomunikasikan dengan Ali Mazi.
Baca Juga
Advertisement
"Khusus Sultra saya sudah komunikasikan dengan Pak Gubernur dan beliau memahami masalah itu," kata dia dalam keterangannya, Selasa (24/5/2022).
Menurut Tito, usulan tersebut bukanlah hak daripada Gubernur, melainkan hak prerogatif presiden.
"Mohon maaf saya dengan segala hormat kepada teman-teman gubernur, bukan berarti usulan itu adalah hak daripada gubernur. Ini UU memberikan prerogatif kepada Bapak Presiden, untuk gubernur kemudian didelegasikan kepada Mendagri untuk bupati dan wali kota," kata dia.
Dia pun menegaskan, usulan Pj kepala daerah telah diatur sesuai mekanisme undang-undang dan asas profesionalitas.
"Mengenai penjabat, ini sebetulnya kita sudah diatur dalam mekanisme yang ada, UU Pilkada. Undang-Undangnya dibuat tahun 2016 dan salah satu amanahnya adalah Pilkada dilakukan bulan November, spesifik tahun 2024, supaya ada keserentakan," kata Tito.
Dia menjelaskan, alasan pembuatan UU Nomor 10 Tahun 2016 yaitu pelaksanaan Pilkada Serentak pada tahun yang sama dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg). Dengan demikian, penerapan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) paralel dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
Berdasarkan UU tersebut, ketika masa jabatan kepala daerah berakhir harus diisi dengan penjabat. Penjabat yang dimaksud, untuk tingkat gubernur merupakan penjabat pimpinan tinggi madya, sedangkan untuk bupati/wali kota penjabat merupakan pimpinan tinggi pratama.
"Selama ini praktik sudah kita lakukan, tiga kali paling tidak, 2017 Pilkada itu juga banyak penjabat dan kita lakukan dengan mekanisme UU itu, UU Pilkada dan UU ASN. Kemudian yang kedua tahun 2018 juga lebih dari 100, dan paling banyak tahun 2020 kemarin itu lebih dari 200 penjabat," kata Tito.
Berdasarkan Asas Profesionalitas
Tito menegaskan, usulan pemilihan penjabat kepala daerah dari Kemendagri berdasarkan pada asas profesionalitas.
Kemendagri terus melakukan pengawasan karena adanya kemungkinan konflik kepentingan terkait pemilihan penjabat, apalagi menjelang tahun Pemilu.
"Pemilihan usulan penjabat dilakukan dengan melihat berbagai faktor, selain dari usulan gubernur," kata dia.
"Kita mempertimbangkan juga faktor-faktor yang lain. Nah kemudian ketika banyak sekali konflik kepentingan, yang paling aman itu kalau didrop dari pusat, seperti misalnya di Sultra ada satu yang dari Kemendagri. Kenapa dari Kemendagri? Kita pilih penjabat profesional, dan kita yakinkan bahwa dia tidak memihak kepada politik praktis," sambungnya.
Dalam UU, lanjut Tito, telah diatur maksimal masa jabatan penjabat adalah satu tahun dan bisa diperpanjang oleh orang yang sama atau diganti orang yang berbeda.
Setiap tiga bulan, para penjabat harus membuat laporan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas. Untuk penjabat gubernur laporannya kepada Presiden melalui Mendagri, sementara untuk penjabat bupati/wali kota kepada Mendagri melalui gubernur.
"Jadi saya kira itu mekanisme, khusus Sultra saya sudah komunikasikan dengan Pak Gubernur dan beliau memahami masalah itu. Mohon maaf saya dengan segala hormat kepada teman-teman gubernur, bukan berarti usulan itu adalah hak daripada gubernur. Ini UU memberikan prerogatif kepada Bapak Presiden, untuk gubernur kemudian didelegasikan kepada Mendagri untuk bupati dan wali kota," kata Tito.
Advertisement
DPR Minta Jangan Ditiru
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang, menyinggung tindakan dari Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Ali Mazi, yang menolak untuk melantik tiga orang penjabat (Pj) di daerahnya.
Ali Mazi beralasan, para Pj tersebut bukan hasil dari usulan-nya sebagai seorang gubernur, melainkan usulan dari Mendagri. Junimart Girsang menyatakan, gubernur harus patuh, karena sudah diatur dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada.
"Jadi seperti yang terjadi di Sultra, jangan sampai ditiru gubernur di daerah lain. Para gubernur harus patuh, dan saya menyarankan agar para gubernur wajib membaca kembali Undang-Undang nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada sehingga tidak boleh ‘mbalelo’," kata Junimart, seperti dilansir Antara.
Junimart mendesak para gubernur segera melantik para penjabat (Pj) bupati/wali kota, sehingga tidak perlu ada penundaan dengan alasan tidak sesuai pengusulan dari gubernur.
"Harus segera dilantik, karena lantik-melantik Pj Kepala Daerah itu kewenangan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Gubernur hanya perpanjangan Pemerintah Pusat," jelas Junimart.
Pertimbangan Tim Kemendagri
Junimart menjelaskan, hak dan kewenangan Mendagri untuk menentukan Pj bisa dari usulan gubernur, bisa juga di luar usulan gubernur dengan pertimbangan dari hasil investigasi tim Kemendagri bahwa Pj tersebut tidak ada kepentingan politiknya sebagai penjabat.
Polemik gubenur menolak melantik Pj, kata dia, mesti segera diakhiri supaya tidak terjadi kekosongan jabatan kepala daerah yang dapat berdampak kepada menurunnya pelayanan publik.
"Karena itu, polemik penundaan pelantikan Pj kepala daerah untuk segera diakhiri dan tidak boleh terus berlarut-larut," katanya.
Advertisement