Protes Petani Terdampak Pengembangan PLTA Poso, Mogok Makan hingga Mengecor Kaki

Petani Poso dan mahasiswa menggelar aksi mengecor kaki dan mogok makan sebagai bentuk protes kepada PT Poso Energy yang menyebabkan lahan pertanian mereka rusak.

oleh Heri Susanto diperbarui 26 Mei 2022, 23:00 WIB
Aksi mengecor kaki dan mogok makan di depan Kantor DPRD Sulteng oleh Petani Poso yang terdampak aktivitas PLTA Poso yang dikelola PT Poso Energy, Selasa (24/5/2022). (Foto: Heri Susanto/ Liputan6.com).

Liputan6.com, Palu - Aksi mengecor kaki dan mogok makan itu dilakukan petani dan mahasiswa setelah mereka tidak mendapat jawaban dari Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah perihal tuntutan kompensasi ke PT Poso Energy. Unjuk rasa di depan kantor Gubernur Sulteng pun tidak membuahkan hasil karena Gubernur Rusdy Mastura tidak berada di kantor. Padahal mereka dijanjikan akan dipertemukan dengan petinggi perusahaan PLTA itu.

Pengunjuk rasa juga kesal lantaran selama ini mediasi antara petani dan perusahaan milik Jusuf Kalla itu tidak membuahkan kesepakatan kompensasi yang menguntungkan semua petani maupun nelayan di sekitar Danau Poso yakni di Kecamatan Pamona Barat, Pamona Selatan, Pamona Tenggara, dan Pamona Puselemba yang lahannya terdampak pengembangan bendungan perusahaan tersebut sejak tahun 2020.

"Kami sebagai petani diganggu dengan kenaikan permukaan air danau akibat bendungan untuk PLTA Poso I. Kami minta negera bertindak dan berpihak kepada kami," Jefri Saka (44) petani Desa Peura, Poso, yang ikut dalam unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Sulteng, mengatakan, Selasa (24/5/2022).

Petani terdampak pengembangan bendungan untuk PLTA itu meminta pemerintah daerah sebagai perwakilan negara bertindak mewakili kepentingan warga dan tidak semata menjadi mediator.


Nilai Kompensasi Tidak Adil hingga Lemahnya Pemerintah

Bendungan yang dikelola PT Poso Energy di Kabupaten Poso sebagai sumber energi listrik. (Foto: Heri Susanto/ Liputan6.com).

Mediasi antara warga terdampak dan perusahaan sendiri sudah 3 kali dilakukan dengan Pemprov Sulteng sebagai mediatornya dan terakhir digelar pada 28 Maret 2022, namun belum menemukan titik temu.

Nilai kompensasi yang disodor perusahaan yakni 15 kg beras per are sawah terdampak dinilai petani tidak sebanding dengan kerugian akibat luapan air karena pembangunan bendungan. Para petani menghitung lahan sawah mereka rata bisa menghasilkan rata-rata 40 sampai 50 kg per are atau senilai Rp322 ribu per are dan per musim tanam untuk sawah-sawah yang tidak bisa lagi digarap.

Catatan Dinas Pertanian Kabupaten Poso menyebut sebanyak 266 hektare sawah di 18 desa terendam akibat aktivitas bendungan PLTA Poso 1 milik PT Poso Energy. Hingga Maret 2022 sedikitnya 200 petani di 7 desa yakni Meko, Toinasa, Bayumpondoli, Peura, Bancea, Pendolo, dan Toinasa masih menuntut pertanggungjawaban perusahaan yang pada 25 Februari 2022 lalu diresmikan oleh Presiden Joko Widodo.

"Kami tidak menerima apa-apa, kami terus diberi janji. Kami sudah mengadu ke DPRD dan Pemkab Poso tapi jawaban hanya mediasi sementara kami sudah bisa bertani lagi," Roslin (48), petani Desa Meko, Poso, menceritakan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya