Liputan6.com, Jakarta - Korea Utara mengatakan pada Selasa (24/5/2022), tidak ada kasus kematian baru di antara pasien di negara itu, pertama kali sejak ditandai wabah Covid-19 hampir dua minggu lalu, menambahkan bahwa mereka melihat tren penurunan stabil dalam kasus terkait pandemi.
Gelombang virus, yang pertama kali diumumkan Korea Utara pada 12 Mei, telah memicu kekhawatiran akan kurangnya vaksin, infrastruktur medis yang tidak memadai, dan potensi krisis pangan di negara berpenduduk 25 juta itu.
Tetapi Korea Utara mengatakan telah melaporkan keberhasilan dalam membendung penyebaran virus, dan bahwa tidak ada kematian akibat demam baru yang dilaporkan pada Senin (23/5/2022) malam, meskipun bertambah 134.510 pasien baru, dilansir dari NBC News.
Baca Juga
Advertisement
Ini menandai hari ketiga berturut-turut angka harian tetap di bawah 200.000 dan pertama kalinya bagi Korea Utara untuk melaporkan tidak ada kematian baru sejak mengumumkan jumlah pasien demam harian, menurut kantor berita resmi KCNA.
Rupanya kekurangan pasokan pengujian, Korea Utara belum mengkonfirmasi jumlah total orang yang dites positif terkena virus Corona, melainkan melaporkan jumlah dengan gejala demam. Jumlah total kasus tersebut, yang dihitung sejak akhir April, naik menjadi 2,95 juta, sementara jumlah kematian mencapai 68, menurut KCNA.
“Dalam beberapa hari setelah sistem pencegahan epidemi darurat maksimum diaktifkan, tingkat morbiditas dan mortalitas nasional telah menurun drastis dan jumlah orang yang pulih meningkat, sehingga secara efektif membatasi dan mengendalikan penyebaran penyakit pandemi dan mempertahankan situasi yang jelas stabil,” kata KCNA.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Korea Utara memperluas produksi obat-obatan esensial
Namun, banyak analis meragukan kredibilitas angka-angka tersebut, dengan mengatakan bahwa angka-angka itu hanya menunjukkan betapa sulitnya menilai skala sebenarnya dari gelombang virus Corona di negara yang terisolasi itu.
“Melalui campuran pengujian yang tidak memadai, disinsentif di tingkat administrasi yang lebih rendah untuk melaporkan wabah serius, kasus, kematian, dan motivasi politik apa pun yang mungkin dipendam oleh eselon atas, kami memiliki statistik yang pada dasarnya tidak masuk akal,” Christopher Green, spesialis Korea di Universitas Leiden di Belanda, menulis di Twitter.
Korea Utara mengatakan pihak berwenang mendistribusikan makanan dan obat-obatan di seluruh negeri, dengan petugas medis militer dikerahkan untuk membantu mendistribusikan obat-obatan dan melakukan pemeriksaan kesehatan.
KCNA juga mengatakan Korea Utara sedang memperluas produksi pasokan obat-obatan esensial, meskipun tidak merinci dengan tepat jenis apa yang sedang diproduksi.
Korea Selatan dan Amerika Serikat telah mengusulkan untuk membantu Korea Utara memerangi pandemi, termasuk dengan vaksin, tetapi Pyongyang belum menanggapi tawaran itu.
“Secara statistik, pengumuman harian hampir tidak sebanding dengan standar internasional dan tampaknya lebih ditujukan untuk audiens domestik,” kata Moon Jin-soo, seorang profesor di Seoul National University College of Medicine, mengacu pada tingkat kematian yang dilaporkan di Korea Utara sebesar 0,002 persen.
Tingkat kematian Covid-19 Korea Selatan mencapai 0,13 persen pada hari Selasa (24/5/2022). Badan mata-mata Korea Selatan sebelumnya mengatakan kepada anggota parlemen bahwa angka harian yang diumumkan oleh Korea Utara tampaknya termasuk pasien non-Covid-19, karena sejumlah penyakit yang ditularkan melalui air sudah tersebar luas di negara itu sebelum mengumumkan wabah virus Corona.
Advertisement
Cerita Joe Biden Tak Ditanggapi Korea Utara Usai Menawarkan Vaksin COVID-19
Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden menawarkan bantuan berupa vaksin COVID-19 untuk Korea Utara (Korut). Tawaran tersebut hingga kini belum juga ditanggapi Korea Utara meski saat ini negara yang dipimpin Kim Jong Un itu tengah dikepung Omicron.
Tawaran bantuan vaksin COVID-19 dari Amerika Serikat untuk Korea Utara itu Joe Biden sampaikan ketika mengunjungi Seoul, Korea Selatan baru-baru ini.
"Kami telah menawarkan vaksin, tidak hanya ke Korea Utara tetapi juga ke China, dan kami siap untuk segera melakukannya," katanya pada konferensi pers di Seoul.
"Kami belum mendapat tanggapan," tambah Biden mengutip Channel News Asia, Senin (23/5/2022).
Meski begitu, Joe Biden dan Presiden Korea Selatan, Yoon Suk-yeol turut prihatin atas peningkatan kasus COVID-19 yang drastis di Korea Utara.
"Korea Selatan dan Amerika Serikat bersedia bekerja sama dengan komunitas internasional untuk membantu Korea Utara perangi virus penyebab COVID-19," kata Biden lagi.
Yoon mengatakan tawaran bantuan dibuat sesuai dengan "prinsip kemanusiaan, terpisah dari masalah politik dan militer" dengan Pyongyang.
Penawaran bantuan ini dilakukan usai Korea Utara melaporkan kasus pertama Omicron awal Mei ini. Kehadiran virus varian COVID-19 yang cepat menyebar itu meningkatkan risiko 25 juta orang di Korea Utara terpapar terlebih mereka belum melakukan vaksinasi COVID-19.
Hingga Sabtu, 21 Mei 2022, media Korea Utara menyebut sudah nyaris 2,5 juta orang sakit 'demam'. Lalu, 66 orang sudah meninggal sejak COVID-19 hadir di negara itu.
Kekhawatiran Para Pakar tentang Kondisi Korut
ara ahli kesehatan mewanti-wanti bakal ada kriris kesehatan besar di Korea Utara. Hal ini mengingat Korea Utara belum memiliki sistem perawatan kesehatan yang baik. Lalu, di tengah terpaan virus Omicron, Korea Utara juga belum memiliki obat untuk merawat pasien COVID-19. Belum lagi kemampuan pengujian massal yang tak memadai.
“Kelihatannya sangat buruk,” kata Owen Miller, dosen studi Korea di School of Oriental and African Studies, London University, mengutip The Guardian.
“Mereka menghadapi penyebaran Omicron yang merajalela tanpa perlindungan dari vaksin.”
Meski sudah mendapat tawaran bantuan dari luar tapi tak kunjung dijawab pemerintahan Kim Jong Un. Ada kekhawatiran bahwa pemimpin negara itu, Kim Jong-un, mungkin bersedia menerima sejumlah besar kasus dan kematian yang “dapat dikelola” untuk menghindari membuka negaranya terhadap pengawasan internasional.
Advertisement