Liputan6.com, Jenewa - Anggota-anggota WHO, Badan Kesehatan Dunia dengan suara mayoritas pada Selasa 24 Mei 2022 kembali memilih Tedros Adhanom Ghebreyesus sebagai Dirjen WHO untuk masa jabatan lima tahun ke depan.
Mengutip VOA Indonesia, Rabu (25/5/2022), pemungutan suara yang dilakukan secara rahasia itu diumumkan oleh Ahmed Robleh Abdilleh dari Jibouti dalam sebuah pertemuan tahunan utama yang dilihat sebagai fomalitas semata. Karena Tedros merupakan satu-satunya kandidat yang mencalonkan diri untuk jabatan tersebut.
Advertisement
Para Menteri dan delegasi bergantian menjabat tangan dan memeluk Tedros, mantan menteri kesehatan Ethiopia yang telah memimpin WHO pada masa-masa bergejolak, yang sebagian besar diakibatkan oleh pandemi virus corona.
Presiden WHO terpaksa menggunakan palu untuk menginterupsi.
"Baru saja memilih kembali #WHO @Tedros sebagai Dirjen WHO. Hasilnya spektakuler, Tedros memperoleh dukungan 155 dari total 160 suara. Selamat! Anda layak!", cuit Menteri Kesehatan Jerman Karl Lauterbach di Twitter.
Jerman baru-baru ini mengambilalih posisi Amerika sebagai donatur utama badan kesehatan PBB itu.
Dirjen WHO: Jangan Beranggapan Pandemi COVID-19 Berakhir Tahun Ini
Terlalu riskan untuk mengasumsikan bahwa Varian Omicron menandai akhir dari 'fase paling akut' COVID-19. Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus pun mendesak seluruh negara agar tetap fokus dalam melawan pandemi Virus Corona.
"Berbahaya untuk berasumsi bahwa Omicron akan menjadi varian terakhir dan kita sudah berada di akhir permainan," kata Tedros dikutip dari Channel News Asia pada Selasa, 25 Januari 2022.
Hal tersebut disampikan Tedros dalam pertemuan Dewan Eksekutif WHO tentang dua tahun pandemi yang telah menewaskan hampir enam juta orang pada Senin waktu setempat, 24 Januari 2022.
Meski dampak Omicron COVID-19 yang kurang mematikan, tapi Tedros mengingatkan bahwa kasusnya melonjak sangat cepat hingga hampir 350 juta.
Di sisi lain Tedros menyadari bahwa prevalensi vaksinasi COVID-19 yang terus meningkat menyebabkan optimisme bahwa kondisi terburuk dari pandemi telah berlalu.
"Sebaliknya, secara global kondisinya ideal untuk lebih banyak varian yang muncul," Tedros menekankan.
Lebih lanjut Tedros, mengatakan, pandemi COVID-19 telah memasuki tahun ketiga dan kita tengah berada pada titik kritis.
Oleh sebab itu, perlu kerjasama ekstra guna mengakhiri 'fase akut' dari kondisi ini.
"Kita tidak bisa membiarkannya terus berlarut-larut, bergerak di antara kepanikan dan kelalaian," ujarnya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
WHO: Perdamaian Jadi Kunci Penanganan COVID-19, Konflik, dan Perubahan Iklim
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, pandemi COVID-19, konflik yang meningkat, dan iklim yang memburuk semakin mendekatkan dunia pada kiamat yang berujung pada akhir peradaban.
Di situasi seperti ini, sangat mudah bagi siapapun untuk merasa putus asa. Namun, ada hal-hal yang dapat dilakukan di tingkat mikro dan makro untuk membuat perubahan.
“Untuk mencegah krisis multidimensi berubah menjadi spiral kematian umat manusia, perlu ada upaya bersama dan kreatif untuk membengkokkan busur sejarah menuju dunia yang berorientasi pada solusi, lebih sehat dan berkelanjutan,” kata Tedros mengutip keterangan WHO Jumat (8/4/2022).
Sebagian besar warga dunia ingin hidup di dunia yang bebas dari perang, lanjutnya. Di mana masyarakat dapat mengakses pekerjaan yang baik, menyediakan makanan di atas meja dan memiliki akses pada layanan kesehatan penting dan sekolah berkualitas.
Meskipun relatif mudah untuk memulai konflik, upaya pencarian perdamaian seringkali agak sulit dipahami karena perang memiliki kebiasaan berputar dan mengarah pada eskalasi yang tidak terduga dan konsekuensi negatif.
“Perdamaian menopang semua yang baik dalam masyarakat kita. Kita membutuhkan kedamaian untuk kesehatan dan juga kesehatan untuk kedamaian. Perang membuat segalanya menjadi lebih sulit secara eksponensial.”
Menyadari bahwa perdamaian adalah dasar dari semua pekerjaan di bidang kesehatan, pembangunan, dan mengatasi tantangan konflik, krisis iklim, dan COVID-19, Tedros mengumumkan prakarsa global baru.
“Hari ini (7/4) saya mengumumkan prakarsa global baru 'Perdamaian untuk Kesehatan dan Kesehatan untuk Perdamaian' (Peace for Health and Health for Peace).”
Advertisement
WHO Prediksi Kasus Cacar Monyet Semakin Bertambah
Belum usai pandemi COVID-19, baru muncul hepatitis akut yang belum diketahui penyebabnya, kini dunia sudah dihadapkan lagi dengan kasus cacar monyet (monkeypox).
Hingga saat ini, Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan setidaknya terdapat 92 kasus cacar monyet yang telah terkonfirmasi. Serta, 28 kasus yang dicurigai ada pada 12 negara.
Terkait hal tersebut, WHO akan memberikan panduan dan rekomendasi lebih lanjut dalam beberapa hari mendatang untuk negara-negara tentang cara mengurangi penyebaran cacar monyet.
WHO juga berharap agar pihaknya bisa mengidentifikasi lebih banyak kasus cacar monyet lagi karena telah memperluas pengawasan di negara-negara lain dimana penyakit tersebut tidak ditemukan.
"Informasi yang tersedia menunjukkan bahwa penularan dari manusia ke manusia terjadi diantara orang-orang yang melakukan kontak fisik dekat dengan kasus-kasus yang menunjukkan gejala," ujar WHO dikutip Aljazeera pada Senin (23/5/2022).
Cacar monyet sendiri merupakan penyakit menular yang biasanya bersifat ringan dan sebuah endemik di beberapa negara bagian Afrika Barat dan Afrika Tengah.
Biasanya orang yang terinfeksi akan sembuh dalam waktu dua hingga empat minggu tanpa perlu melakukan perawatan rumah sakit. Namun terkadang dalam beberapa kasus, penyakit satu ini dapat menyebabkan kematian.
Cacar monyet terkenal dapat menyebar melalui kontak dekat sehingga relatif mudah untuk dikendalikan dengan tindakan seperti isolasi mandiri dan menjaga kebersihan.
"Apa yang nampaknya terjadi sekarang itu adalah ia telah masuk ke populasi manusia sebagai bentuk seksual, bentuk genital, dan menyebar seperti infeksi menular seksual," kata spesialis penyakit menular WHO, David Heymann.
WHO: Cacar Monyet Bisa Sembuh Tanpa Perawatan, Namun Waspada
World Health Organization (WHO) menegaskan bahwa monkeypox (cacar monyet) yang terdeteksi sejauh ini masih tergolong ringan. Kasus cacar monyet yang terjadi di beberapa negara Eropa terbilang misterius, sebab orang yang terjangkit tak ada riwayat perjalanan ke Afrika.
Monkeypox memang pertama kali terdeteksi di sejumlah negara Afrika, mulai itu Pantai Gading yang berada di sisi barat Afrika, hingga Sudan di timur.
Dilaporkan situs UN News, Sabtu (21/5/2022), WHO disebut telah bekerja dengan sejumlah negara-negara yang terdampak untuk memperluas surveilans atau pemantauan. Fasilitas kesehatan juga diminta mendukung orang-orang yang terdampak dan memberikan panduan melawan penyakit ini.
Lebih lanjut, WHO menegaskan penularan cacar monyet tidak sama dengan COVID-19. Penyakit cacar monyet bisa ditularkan lewat kontak fisik, cairan tubuh, maupun luka.
Namun, penyebarannya tidak separah COVID-19. Kasus cacar monyet bisa berhenti kepada "generasi keenam". Penularan terpanjang adalah mencapai orang ke enam dari pengidap asli penyakit ini.
Direktur Regional Eropa di WHO, Hans Kluge, menjelaskan kasus yang terdeteksi sejauh ini masih tergolong ringan. Penyakitnya juga bisa sembuh dalam hitungan minggu tanpa obat.
"Monkeypox biasanya penyakit yang membatasi diri, dan mayoritas yang terinfeksi akan pulih dalam beberapa pekan tanpa perawatan," ujar Hans Klug. "Namun, penyakitnya bisa lebih parah terutama bagi anak-anak, wanita hamil, dan orang-orang yang immunocompromised."
Advertisement