Liputan6.com, Jakarta - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Global (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkap alasan pemerintah terbang ke Davos, Swiss. Tujuannya untuk mengubah persepsi dunia terhadap Indonesia.
Artinya, langkah ini dijalankan dalam kapasitas untuk mendukung investasi. Jadi, tak melulu mengenai pemerintah yang membawa pulang komitmen investasi.
Advertisement
"Ini sebenarnya adalah bagaimana kita hadir di Davos untuk mewarnai dinamika persepsi global terhadap Indonesia. Kedua adalah gimana kita memperjuangkan aturan-aturan global yang mengakomodir apa yang menjadi kepentingan indonesia," kata dia dalam keterangannya dikutip Kamis (26/5/2022).
Meski, Bahlil tak menutup kemungkinan akan juga membawa pulang komitmen investasi. Asalkan sesuai dengan kriteria dan menemui benang merah yang sama.
"Jadi tidak hanya tentang investasi karena itu adlaah dsini tempat bertemunya untuk berdiskusi, ya kalau chemistry-nya masuk kalau cocok dalam negosiasi bisa kita bawa pulang," terangnya.
Namun, ia kembali menekankan posisi Indonesia adalah bagaimana mensosialisasikan kemudahan dan aturan yang berlaku untuk investasi. Misalnya adanya Undang-Undang Cipta Kerja atau Omnibus Law.
Bahlil mengungkap mendapat pengakuan dari berbagai negara akan adanya kemudahan akibat UU Cipta Kerja.
"Termasuk UU Omnibuslaw, mereka memang mengatakan ada perubahan-perubahan signifikan terhadap perlakuan-perlakuan indonedia dalam persoalan perizinan, transparansi, efisiensi dan melahirkan kepastian," tukas Bahlil.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Ajak Investor
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, Presiden Joko Widodo saat ini memiliki komitmen untuk memasuki era nol emisi karbon pada tahun 2060 mendatang, yang akan mulai dilakukan secara bertahap. Bahlil pun mengajak para investor untuk datang ke Indonesia dan berinvestasi.
"Saya undang teman-teman yang melakukan investasi ini. Seluruh perizinannya kami urus dengan perhitungan yang win-win. Tidak boleh ada standar ganda menurut saya. Ketika ada satu upaya strategis standar ganda, di sini ada kegagalan kita semua. Dan harus fair, harus terbuka," katanya, Jakarta, Selasa (24/5).
Namun demikian, Bahlil meminta keadilan dan keterbukaan soal perhitungan nilai karbon guna mempercepat transisi ke ekonomi tanpa emisi yang ramah lingkungan. Hal itu disampaikan dalam World Economic Forum (WEF) 2022 bertajuk "Unlocking Carbon Markets" di Davos, Swiss.
Advertisement
Belum Cukup Adil
Bahlil mengatakan saat ini regulasi global terkait investasi di pasar karbon belum cukup adil. Harga karbon yang bersumber dari negara maju jauh lebih baik dibandingkan dari negara berkembang, bahkan termasuk negara-negara yang memiliki sumber daya alam untuk menghasilkan karbon.
"Saya punya satu kekhawatiran, moderator. Ketika ini tidak mampu kita mediasi dan mitigasi secara baik, maka saya tidak menjamin rakyat sekitar hutan akan memelihara hutan. Dan negara berkembang belum punya cukup kapital untuk melakukan investasi hal ini," jelasnya.
Bahlil mengatakan, seluruh negara didunia harus melakukan kolaborasi yang baik. "Karena ini kita butuh kolaborasi yang baik. Kita ingin melahirkan produk yang hijau, tetapi kita juga ingin suatu kolaborasi yang saling menguntungkan dalam rangka investasi," katanya.
Hilirisasi
Lebih lanjut, Bahlil menjelaskan salah satu fokus Pemerintah Indonesia saat ini yaitu mewujudkan ekosistem industri hilirisasi dalam rangka mendorong investasi hijau di Indonesia, salah satunya ekosistem industri baterai listrik.
Hal itu merupakan salah satu bentuk kontribusi Pemerintah Indonesia dalam menurunkan emisi karbon dan membentuk tata kelola lingkungan yang baik.
Selain itu Pemerintah Indonesia juga telah melakukan pengelolaan kebun sawit dengan memperhatikan rekomendasi dari global. Tidak lagi menebang dan saat ini sedang diberlakukan moratorium penebangan hutan untuk menjadi kebun sawit.
"Pada saat kita melarang ekspor sawit, dunia berteriak. Kita begitu baru menyetop sedikit ekspor batu bara dunia juga teriak. Jadi saya katakan tidak boleh ada standarnya. Jadi kalau kita mau, ayo duduk sama rendah berdiri sama tinggi. Seluruh dunia sudah merdeka, tidak bisa lagi ada menyatakan dia lebih hebat dari negara lain. Karena ini persoalan dunia," tandas Bahlil.
Advertisement