Kepala BRIN Tegaskan Pandemi COVID-19 Tidak Mengenal Batas Negara

Semua bencana, termasuk pandemi COVID-19 tidak mengenal batas negara.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 27 Mei 2022, 12:00 WIB
Pekerja yang mengenakan alat pelindung diri menumpuk kotak ke atas gerobak untuk dikirim saat perberlakuan lockdown karena virus corona COVID-19 di Distrik Jing'an, Shanghai, China, Rabu (18/5/2022). (Hector RETAMAL/AFP)

Liputan6.com, Bali Kepala Badan Riset dan inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengungkapkan, semua bencana, termasuk pandemi COVID-19 yang masuk kategori bencana non alam itu tidak mengenal batas negara. COVID-19 merebak di dunia, yang menimbulkan krisis kesehatan, sosial, ekonomi hingga pariwisata.

Pandemi COVID-19 yang terjadi dua tahun terakhir telah memberikan pelajaran bagi hampir seluruh negara di dunia dalam memerangi COVID-19 serta memulihkan kondisi negara. 'Peperangan' dengan COVID-19 memerlukan kerja sama dengan negara lainnya.

“Karena semua bencana tidak mengenal batas negara, termasuk bencana pandemi seperti COVID-19 di dua tahun terakhir," kata Handoko dalam rangkaian acara The 7th Global Platform for Disaster Risk Reduction (GPDRR) 2022, Sendai Framework for Disaster Risk Reduction (SFDRR) di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Bali pada Jumat, 27 Mei 2022.

"Pandemi COVID-19 semakin menyadarkan berbagai negara di dunia terhadap pentingnya kerja sama untuk mempercepat penanganannya."

Ketika pandemi COVID-19 melanda belahan dunia, negara-negara mempunyai kesadaran untuk berbagi data genom dari varian SARS-CoV 2 melalui Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID). Akhirnya, dunia mampu mempercepat pengembangan dan ketersediaan vaksin COVID-19 bagi seluruh umat manusia untuk menanggulangi pandemi.

Kolaborasi antar negara dalam penanganan bencana, lanjut Handoko, hendaknya tidak hanya dalam menangani pandemi COVID-19, melainkan juga bencana alam lainnya seperti tsunami.

“Demikian juga halnya dengan upaya bersama untuk bencana tsunami yang tentu tidak mengenal batas negara. Misalnya, kemampuan mitigasi hanya bisa dilakukan dengan berbagi data dari berbagai wilayah perairan berbagai negara,” terangnya.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Mitigasi Bencana Berbasis Ilmiah

Ajang GPDRR 2022 di Nusa Dua Bali (Dewi Divianta/Liputan6.com)

Terkait SFDRR, Laksana Tri Handoko menjelaskan, bahwa forum diskusi tersebut khusus diperuntukkan bagi seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun non pemerintah.

“SFDRR membahas implementasi, perkembangan, dan hambatan yang dihadapi dalam rangka mencapai tujuan SFDRR dan pembangunan berkelanjutan,” jelasnya dalam pernyataan resmi yang diterima Health Liputan6.com.

Mitigasi dan reduksi bencana menurut Handoko, selalu berkaitan dan berbasis pada bukti dan data ilmiah. Untuk itu ia menekankan, diperlukan berbagai riset, seperti riset dasar untuk memahami mekanisme terjadinya beragam jenis bencana.

Riset aplikatif pengembangan teknologi deteksi dini sesuai jenis dan karakter bencana juga kajian sosial budaya dan kearifan lokal, menjadi landasan utama kemampuan mereduksi bencana.

“BRIN sebagai lembaga riset nasional menjadi yang terdepan dalam melakukan berbagai riset kebencanaan, dan telah menghasilkan banyak inovasi yang berpotensi menjadi solusinya,” tutur Handoko sebagai Co-Chair Midterm Review ketiga sesi di dalam SFDRR.

Setidaknya 7 ilmuwan dan perekayasa dari BRIN turut berpartisipasi aktif dalam GPDRR. Salah satu peneliti kebencanaan BRIN, Dr. Nuraini Rahma Hanifa, bahkan adalah salah satu anggota dewan juri dari Lifetime Achievement Sasakawa Award.

GPDRR melibatkan periset dan pakar BRIN yang berperan aktif mewakili Indonesia untuk membedah dan mendorong kesepakatan multilateral reduksi kebencanaan. Andi Eka Sakya, Perekayasa senior BRIN menyampaikan intervensinya pada pleno mengenai pentingnya bekerjasama mewujudkan masyarakat dan laut yang aman (Safe Ocean) melalui penguatan sains, teknologi dan inovasi, sejalan dengan UN Decade of Ocean Science.


Fase Baru Penanganan COVID-19 Indonesia

Pengunjung melihat foto-foto yang dipamerkan dalam pameran foto jurnalistik Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh, di Mal Central Park, Jakarta Barat, kamis (12/8/2021). Pameran berlangsung pada 11-22 Agustus 2021. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Berkaca pada kondisi COVID-19 secara nasional dan global, Juru Bicara Satgas Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito membeberkan, perlunya strategi pada fase baru COVID-19 yang dapat dilakukan saat ini.

Pertama, hidup berdampingan dengan COVID-19. Secara bertahap mengurangi pembatasan aktivitas yang secara bersamaan mendorong terbentuknya perilaku yang lebih sehat dan aman.

Kedua, melindungi lebih optimal populasi berisiko. Misalnya, dengan menggencarkan cakupan vaksin sesuai prioritas kelompok rentan dan menyusun strategi testing yang lebih spesifik atau target testing.

Ketiga, mempertahankan resiliensi. Contohnya, konsistensi melakukan surveilans dan menyusun rencana kontijensi untuk vaksinasi atau testing massal jika keadaan darurat kembali terjadi.

Keempat, meningkatkan inovasi berdasarkan pembelajaran selama pandemi COVID-19. Pengelolaan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan harus semakin massif untuk upaya deteksi dan pencegahan maupun pengobatan penyakit menular lainnya.

"Maka dari itu, dengan implementasi upaya yang baik oleh seluruh elemen masyarakat secara global maka gelombang baru COVID-19 tidak akan muncul kembali. Namun, jika strategi ini tidak mampu dijalankan, maka perlu adanya kerelaan untuk kembali menjalani pengetatan aktivitas demi keselamatan dan kesehatan bersama," imbuh Wiku di Media Center COVID-19, Graha BNPB, Jakarta, Selasa (10/5/2022).


Kerja Sama Cegah Pandemi Masa Depan

Sebuah foto Presiden Joko Widodo saat memakai masker terlihat dalam pameran foto jurnalistik Indonesia Tangguh Indonesia Tumbuh, di Mal Central Park, Jakarta Barat, kamis (12/8/2021). Pameran foto tersebut menampikan penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Kerja sama penanganan COVID-19, menurut Wiku Adisasmito juga perlu diterapkan dalam mencegah potensi penularan penyakit menular lainnya. Sebagaimana akhir-akhir ini tercatat mengalami kenaikan angka kasus seperti hepatitis akut dan kemunculan penyakit mulut dan kuku pada hewan.

"Perlu diketahui bersama bahwa belajar dari pandemi COVID-19, dibutuhkan kerja sama pentahelix yang bersifat multinasional dalam mencegah pandemi yang berpotensi terjadi di masa depan," ujarnya.

"Caranya, dengan pendekatan aspek yang komprehensif, yaitu kesehatan manusia dan aspek lain yang bersinggungan seperti kesehatan hewan dan lingkungan."

Di tengah terkendalinya kondisi pandemi COVID-19 di Indonesia, bukan berarti upaya pengendalian tidak dilakukan. Malahan pengendalian beserta pengawasan terus dijalankan menyesuaikan perkembangan terkini.

Data yang dihimpun Satgas COVID-19 per 10 Mei 2022, melihat kondisi nasional, rawat inap pasien COVID-19 menurun 97 persen, tingkat hunian tempat tidur rumah sakit hanya 2 persen, kasus kematian menurun hingga 98 persen, dan positivity rate terus menurun hingga berada di angka 0,7 persen.

Sementara itu, pada kondisi global, Pemerintah mewaspadai kenaikan kasus COVID-19 seperti di Jepang dan Taiwan. Lalu adanya varian baru seperti BA.4 dan Ba.5 di Afrika Selatan yang umumnya dikhawatirkan, adanya varian baru dapat menjadi pemantik gelombang kasus baru.

"Pemerintah Indonesia saat ini tetap waspada. Kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) masih diberlakukan paska libur panjang sebagai instrumen pengendalian COVID-19. PPKM secara fakta mampu melandaikan kondisi kenaikan kasus dan mempertahankannya hingga saat ini," tutup Wiku.

Infografis Indonesia Tidak Lagi Darurat Pandemi tapi Tidak Terburu-buru Endemi Covid-19 (Liputan6.com/Trie Yas)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya