Liputan6.com, Jakarta Penunjukan anggota TNI aktif Brigjen Andi Chandra As'aduddin selaku Kepala BIN Daerah (Kabinda) Sulawesi Tengah sebagai Pj Bupati Seram Bagian Barat menjadi polemik di masyarakat. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pun dinilai menjadi lembaga pemerintahan yang menyebabkan munculnya permasalahan penunjukan anggota TNI-Polri aktif menjadi Pj Kepala Daerah.
"Akar masalah kekisruhan ini terjadi karena Kemendagri tidak kunjung mengeluarkan petunjuk teknis terkait pengisian jabatan pejabat sementara kepala daerah. Hal ini menjadikan tiadanya transparansi dan panduan yang jelas dalam penentuan sosok pejabat sementara," tutur Kepala Center for Intermestic and Diplomatic Engagement (CIDE), Anton Aliabbas dalam keterangannya, Jumat (27/5/2022).
Advertisement
Menurut Anton, argumentasi Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi dan Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo bahwa jabatan Kabinda termasuk dalam kategori Jabatan Tinggi Pratama tidak sepenuhnya kuat dijadikan dasar penunjukkan prajurit aktif sebagai pejabat kepala daerah.
"Jabatan Kabinda tersebut bukan jabatan sipil murni. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil jelas mensyaratkan untuk jabatan tinggi sipil hanya dapat diisi oleh prajurit TNI apabila telah mengundurkan diri dari kedinasan," jelas dia.
Anton menyebut, penunjukkan TNI aktif sebagai Pj Kepala Daerah bukan fenomena baru, seperti pada 2008 lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengangkat Mayjen TNI Tanribali Lamo sebagai Pj Gubernur Sulawesi Selatan.
Sementara, pengangkatan perwira aktif sebagai Pj Kepala Daerah melanggar Pasal 47 ayat 1 UU 34 Tahun 2004, bahwa prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan, dan jabatan kepala daerah bukan ruang jabatan yang masuk dalam 10 kantor seperti yang tertera dalam Pasal 47 ayat 2 UU TNI.
"Selain itu, pengangkatan juga jelas tidak sejalan dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam amar putusan Nomor 67/PUU-XIX/2021 yakni prajurit TNI hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan," katanya.
Lebih lanjut, Anton menyarankan agar Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa segera mengeluarkan surat keputusan pemberhentian pengakhiran dinas keprajuritan bagi Brigjen Andi Chandra.
Sesuai dengan Pasal 9 poin c Permenhan Nomor 32 Tahun 2013 tentang Standardisasi Pemisahan dan Penyaluran Bagi Anggota TNI, yang menyebut pengakhiran dinas keprajuritan dapat dilakukan pada anggota yang menduduki jabatan yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diduduki oleh prajurit aktif.
"Mekanisme pensiun dini dapat dilakukan melalui permohonan pribadi prajurit atau langsung dengan penetapan dari atasan, sesuai dengan jenjang kepangkatan," ujar Anton.
Nonaktifkan Perwira yang Jabat Pj Kepala Daerah
Guna mempercepat proses pensiun dini, sambungnya, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurrahman diharapkan segera mengajukan surat usul pemberhentian dengan hormat Brigjen Andi Chandra kepada Panglima TNI. Sebab, peristiwa pengangkatan perwira aktif sebagai Pj Kepala Daerah berpotensi memberi citra negatif bagi TNI dan kontraproduktif dengan reformasi TNI.
Anton mengatakan, salah satu kritik utama dalam reformasi TNI adalah fenomena maraknya perwira aktif menduduki jabatan sipil pada era Orde Baru. Insiden tersebut pun dapat menjadikan TNI semakin rentan dipolitisasi.
Sebab itu, langkah cepat dari Jenderal Andika sangat ditunggu, terlebih dalam fit and proper test di DPR pada November lalu sudah menyatakan akan tunduk dan patuh dengan perundang-undangan yang ada. Hal itu juga dapat mempertegas komitmen membangun TNI profesional dan bahwa memberikan kebijakan pensiun dini adalah satu dari dua opsi yang tersedia, selain membatalkan pengangkatan Brigjen Andi Chandra sebagai bupati.
"Agar tidak terulang di masa mendatang, ada baiknya Jenderal Andika bersama dengan tiga kepala staf angkatan untuk membangun mekanisme percepatan proses pemberian pensiun dini bagi prajurit aktif yang akan menduduki jabatan sipil diluar dari ketentuan UU TNI. Dengan demikian, tidak ada lagi perwira aktif TNI yang duduk di jabatan sipil," Anton menandaskan.
Advertisement
BKN Klaim Tak Salahi Prosedur
Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Bima Haria Wibisana angkat suara dengan polemik tersebut. Menurutnya, penetapan Pati TNI-Polri aktif tersebut sudah sesuai dengan regulasi yang berlaku.
"UU Pilkada menyebutkan kriteria Pj. Gubernur adalah JPT Madya dan Pj. Bupati/Wali Kota adalah JPT Pratama. Jadi siapapun yang menduduki jabatan JPT Madya atau Pratama memiliki kesempatan yang sama untuk dipilih sebagai Pj. Gubernur atau Pj. Bupati/Wali Kota,” ungkap Bima kepada wartawan, Rabu (25/5/2022).
UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Pasal 20 mengatur anggota TNI dan Polri boleh menduduki jabatan ASN. Pengisian Jabatan ASN oleh Anggota TNI/Polri diatur dalam Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia dan Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
"Anggota Polri aktif juga dapat menjabat sebagai JPT Madya diinstansi pemerintah sejauh bidang tugasnya berkesuaian dengan bidang tugas di Polri dan mengikuti seleksi terbuka. Sedangkan untuk anggota TNI aktif hanya dapat menduduki jabatan JPT Madya pada instansi di mana anggota TNI tersebut diperbolehkan,” lanjut Bima.
Anggota TNI dan Polri aktif juga berhak atas jabatan JPT Pratama diinstitusi yang diperbolehkan secara regulasi. Total ada 10 (sepuluh) institusi yang diperbolehkan untuk diisi oleh Anggota TNI/Polri aktif.
Dijelaskan Bima, Putusan MK terkait TNI-Polri aktif yang menempati posisi Penjabat Kepala Daerah. MK telah menyatakan bahwa Anggota TNI dan Polri aktif yang menjabat sebagai JPT Madya atau JPT Pratama di luar institusi TNI/Polri pada sepuluh institusi Kementerian/Lembaga, misalnya di Kemenko Polhukam, di BIN, di BNN, di BNPT, dan lain-lain, diperbolehkan menjadi Pj. gubernur dan Pj. bupati/wali kota.
"Kemudian ini disusul oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 di mana di situ disebutkan TNI-Polri boleh menduduki jabatan sipil tertentu dan diberi jabatan struktural yang setara," sambungnya.
Selanjutnya, dijelaskan Bima, putusan MK Nomor 15/PUU-XX/2022 sudah dijelaskan secara gamblang oleh Menkopolhukam Mahfud MD.
"Menkopolhukam Pak Mahfud menjelaskan dalam Putusan MK tersebut ada dua hal yang disampaikan, salah satunya soal anggota TNI/Polri yang diberi jabatan madya atau pratama di luar induk institusinya boleh menjadi penjabat kepala daerah.
Dalam Putusan MK itu mengatakan dua hal, satu, TNI dan Polri tidak boleh bekerja di institusi sipil, terkecuali di dalam sepuluh institusi Kementerian/Lembaga yang selama ini sudah diatur. Lalu kata MK sepanjang anggota TNI dan Polri itu sudah diberi jabatan tinggi madya atau pratama boleh menjadi penjabat kepala daerah. Itu sudah putusan MK Nomor 15/2022," jelas Bima mengutip penjelasan Menkopolhukam Mahfud MD.
“Sebenarnya realitanya aturan-aturan tersebut sudah digunakan sejak tahun 2017 untuk menetapkan penjabat kepala daerah yang daerah-daerahnya melaksanakan pilkada. Aturan tersebut sudah lama dijalankan," tambah Bima.
Keputusan Mendagri Tito Karnavian menunjuk Brigjen. TNI Andi Chandra As'aduddin sebagai Pj, dianggap Bima tidak menyalahi aturan. Ia menyebut, posisi Brigjen. Andi sebagai Kepala BIN Daerah (Kabinda) Sulteng adalah JPT Pratama, dan ini sudah sesuai pasal 201 UU Pilkada.
"Meskipun Pj. Kepala Daerah adalah TNI/Polri aktif, tetapi terdapat pengaturan dan pengecualian bagi pejabat dimaksud karena menjabat pada instansi pemerintah yang dapat diduduki oleh TNI/Polri dalam Jabatan Pimpinan Tinggi," tambah Bima.
“Jadi dari kacamata Manajemen ASN, tidak ada aturan yang dilanggar,” pungkas Bima.