Pemerintah Diminta Jawab Temuan BPK Soal Permasalahan Anggaran Pandemi Covid-19

BPK mengungkap adanya temuan bermasalah dalam pengadaan alat kesehatan untuk penanganan pandemi Covid-19 di Kemenkes senilai triliunan rupiah.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 30 Mei 2022, 08:37 WIB
Petugas medis berjaga saat Rapid Test di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Selasa (26/5/2020). Rapid test ini dilakukan bertujuan mendeteksi serta memutus rantai penyebaran virus Corona (COVID-19) dan rapid test ini gratis dengan menunjukkan KTP. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap adanya temuan bermasalah dalam pengadaan alat rapid test antigen untuk penanganan pandemi Covid-19 di Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada tahun anggaran 2021 senilai Rp 1,46 Triliun.

Hal itu diugkap melalui Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II tahun 2021. Dalam laporan yang sama, BPK juga menemukan kelebihan pembayaran pengadaan alat kesehatan (alkes) penanganan Covid-19 sebesar Rp 167 Miliar untuk pengadaan alat pelindung diri, masker, handscoon non-steril dan reagen PCR senilai Rp 3,19 Triliun pada tahun yang sama.

Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA), Uchok Sky Khadafi mengatakan, bahwa jika temuan tersebut benar dan terjadi penyimpangan, maka BPK bisa membawanya ke ranah hukum.

“Kalau ada penyimpangan berarti harus masuk ke ranah hukum. BPK harus menyiapkan bukti ke penyidik hukum," kata Uchok dalam keterangannya, Minggu 29 Mei 2022.

Uchok menilai, penyimpangan tidak bisa dianggap wajar. Sebab, hal itu terjadi berulang kali sejak pandemi Covid-19 pertama kali terjadi pada 2020 lalu. Uchok juga mendorong, pengusutan dilakukan oleh vendor dan kemitraan terkait.

"Bukan hanya Kemenkes, tapi juga vendor-vendor dan BUMN yang terlibat dalam pengadaan ini,” jelas Uchok.

Uchok menyarankan, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin atau BGS buka suara untuk memberikan penjelasan atas temuan BPK tersebut.

“Harus ada penyidikan lebih lanjut, panggil aja Menteri Kesehatan," tegas Uchok.

 

 


Jutaan Dosis Vaksin-19 Covid Beredar Tanpa Izin

Kontainer-kontainer berisi vaksin COVID-19 saat tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Kamis (31/12/2020). Setelah mendarat di Indonesia, 1,8 juta dosis vaksin Covid-19 produksi Sinovac akan langsung dikirim ke PT Bio Farma (Persero) di Bandung. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

BPK melalui Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II juga mencatat sebanyak 297 bets atau 78.361.500 dosis vaksin Covid-19 beredar tanpa melalui penerbitan izin bets atau lot release.

Diketahui, izin bets adalah istilah dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang diartikan sebagai obat yang memiliki sifat dan mutu yang seragam.

“Belum tersedia informasi bets/lot release yang tepat waktu, lengkap dan dapat diakses real time oleh pihak yang membutuhkan,” tulis laporan BPK yang dirilis pada Selasa 24 Mei 2022 ini.

BPK juga menemukan alokasi vaksin Covid-19, logistik, dan sarana prasarana belum sepenuhnya menggunakan dasar perhitungan logistik dan sarana prasarana sesuai dengan perkembangan kondisi atau analisis situasi terbaru.

Kemudian, menurut BPK, pencatatan dan pelaporan hasil pelayanan vaksinasi Covid-19 belum sepenuhnya didukung dengan sistem informasi pencatatan yang dapat memastikan hasil vaksinasi pada seluruh fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) sesuai dengan informasi yang lengkap dan tepat waktu.

“Sistem informasi yang tersedia belum dapat disandingkan dengan seluruh data dan informasi yang mendukung pelaksanaan vaksinasi,” jelas BPK.

Atas temuannya, BPK merekomendasikan agar BPOM melakukan penyesuaian regulasi terkait penerbitan izin bets/lot release. Hal itu sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang pengadaan dan pelaksanaan vaksin dalam rangka penanggulangan pandemi Corona virus Disease 2019.

Infografis Pertimbangan dan Kesiapan Indonesia Masuki Endemi Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya