Liputan6.com, Banyumas - Sebanyak 25 orang penari bakal menampilkan sendrataribertajuk ‘Ksatria Singadipa’, di Ampiteater Taman Sari, kompleks Pendapa Yudhanegara, Kota Lama Banyumas, Rabu 1 Juni 2022.
Para penari merupakan peserta audisi yang digelar Rumah Lengger bersama Dinas Pemuda Olahraga Kebudayaan dan Pariwisata (Dinporabudpar) Banyumas pada pertengahan Mei 2022 lalu. Sendratari gubahan koreografer tari, Rianto, ini bakal ditampilkan pada sore hari, pukul 15.00 WIB.
Advertisement
Peserta yang lolos seleksi cukup beragam. Paling muda masih duduk di kelas 1 Sekolah Dasar, dan paling jauh berasal dari Aceh.
"Para penari ini akan membawakan karya saya berjudul Ksatria Singadipa," kata Rianto, di Banyumas, Senin (30/5).
Dia menuturkan, sendratari ini menggambarkan penjiwaan dan semangat dari sosok Kyai Singadipa saat melawan penjajah Belanda.
"Tarian ini menggambarkan spirit dari Singadipa yang gagah berani melawan kekejaman, bijak dan memiliki jiwa besar sebagai pemimpin, mampu menengahi pihak-pihak yang berbeda pendapat," tuturnya.
Rianto mengatakan, sendratari ini juga memadukan unsur budaya Banyumas dan Tionghoa. Hal itu hadir dalam permainan rakyat seperti jonjang, kunclungan, gubrag lesung yang dibumbui dopokan banyumasan.
Pementasan berdurasi kurang lebih 45 menit ini didukung oleh tim produksi Rumah Lengger, 15 orang pemusik yang dipimpin oleh Yudha Jati serta bintang tamu pelawak, Ciblek dan Erna Husein, istri Bupati Banyumas.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Ksatria Terakhir Perang Jawa
Adapun Singadipa adalah panglima angkatan perang Pangeran Diponegoro yang berkududukan di wilayah Banyumas saat Perang Jawa (1825-1830).
Pangeran Diponegoro nyaris mengenyahkan VOC dan pemerintah kolonial Belanda. Ini adalah perang terbesar dan terpanjang dalam sejarah perang kemerdekaan di Indonesia.
Ternyata Perang Jawa tak sekadar berlangsung enam tahun. Sejarah mencatat perang Jawa berakhir begitu Pangeran Diponegoro ditangkap dan dibuang ke Sulawesi.
Namun, sejatinya Perang Jawa masih berlangsung meski skalanya tak sebesar sebelum Pangeran Diponegoro tertangkap. Adalah Eyang Kiai Ngabehi Singadipa, salah satu panglima perang yang meneruskan Perang Jawa.
Llantaran kekuatan pasukan tak sebesar ketika Pangeran Diponegoro masih memimpin, gerilya adalah strategi pilihannya. Kiai Singadipa adalah panglima perang pasukan di sektor barat, kawasan Banyumas Raya.
Dia sangat paham tiap wilayah di daerah ini. Strateginya cukup merepotkan Belanda yang tak kunjung bisa menjerat panglima licin ini.
Strateginya dalam perang Jawa terkenal hingga hari ini, yakni ‘Umpetan jeroning kemben’, atau diartikan sebagai berlindung di balik kain kemben. Kemben adalah kain yang dipakai perempuan Jawa pada masanya.
Ketua Ikatan Keluarga Singadipa, Bing Urip Hartoyo, mengatakan, ahli sejarah menyatakan saat perang gerilya itu, sang panglima menyamar menjadi rakyat biasa. Untuk menyempurnakan penyamarannya, ia memperistri perempuan desa di mana ia tinggal untuk mengatur strategi dalam perang Jawa.
Lantaran harus berpindah-pindah menghindari endusan intel Belanda, Singadipa akhirnya memperistri enam perempuan. Sumber lain bahkan mencatat istri Singadipa lebih dari itu.
“Memperistri enam perempuan hingga akhir hayat," katanya, Sabtu malam (9/11/2019).
Advertisement
Menangkal Belanda Masuk Banyumas
Bing bilang, ada upaya pengkerdilan sejarah perang Jawa dan kisah kepahlawanan Kiai Singadipa oleh Pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda hanya mengakui bahwa perang Jawa berlangsung antara 1825-1830 atau hanya lima sampai enam tahun.
Mereka khawatir sosok Kiai Singadipa menjadi spirit untuk memberontak. Karenanya, sosok dan kisah kepahlawanannya dilenyapkan.
“Sampai 1830, ketika Pangeran Diponegoro ditangkap, Belanda tidak pernah bisa masuk ke Banyumas Raya. Mereka hanya sampai Kertek, Wonosobo,” ucap Bing.
Di Kertek ini pula, sang panglima menerima mandat langsung dari Pangeran Diponegoro. Persis sebelum Pangeran Diponegoro ditangkap dengan cara licik, bendera perang atau pataka perang Pangeran Diponegoro, Kiai Tunggul Wulung, diserahkan kepada Singadipa.
Titah untuk meneruskan perjuangan ini dijawab oleh Kiai Singadipa dengan bukti 10 tahun perang gerilya. Selama itu pula Singadipa tak pernah tertangkap.
Sempat menjabat Wedana Ajibarang, Kiai Singadipa wafat dan dimakamkan di Panembangan, Cilongok, Banyumas. Dan kini, keturunannya tersebar di seluruh Banyumas, Indonesia, dan bahkan luar negeri.
Tim Rembulan