Anak dengan Disabilitas Perkembangan Sulit Mengutarakan Perasaan, Ini Dampaknya Jika Dibiarkan

Anak dengan disabilitas perkembangan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Hal ini menyebabkan mereka sulit untuk mengutarakan perasaan mereka.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 01 Jun 2022, 10:00 WIB
Ilustrasi anak dengan disabilitas intelektual. Foto (Ade Nasihudin/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta Anak dengan disabilitas perkembangan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Hal ini menyebabkan mereka sulit untuk mengutarakan perasaan mereka.

Menurut psikolog Tri Puspitarini hal-hal sederhana yang mudah dimengerti oleh anak biasa tidak dapat begitu saja dimengerti pula oleh anak yang menyandang disabilitas perkembangan. Mereka cenderung sulit mengekspresikan rasa sedih, kesal, bahagia, atau sakit.

“Dampaknya apa sih kalau mereka ini kesulitan berkomunikasi tapi kita diemin dan kita enggak tanggap dengan kebutuhan mereka? Dampaknya bisa bermacam-macam dan yang paling terlihat mereka bisa meltdown,” kata Tri dalam seminar daring Daewoong Selasa (31/5/2022).

Meltdown adalah istilah yang merujuk pada kondisi marah dan ngamuk yang meluap-luap. Jika hal ini terjadi, anak bisa menangis, membentur-benturkan kepala, guling-guling dan ini bisa terjadi di mana saja termasuk di tempat umum.

“Ini biasanya terjadi karena orangtua atau lingkungan tidak paham apa yang ingin anak sampaikan akibat hambatan-hambatan komunikasi.”

Bahkan, jika hal ini terjadi terus hingga anak dewasa, maka ini akan menyebabkan situasi-situasi darurat dengan keparahan yang lebih serius.

Untuk menangani hal ini, maka orangtua atau keluarga harus bisa mengembangkan strategi komunikasi yang sederhana, tidak berlapis-lapis, bertahap, dan bisa diajarkan kepada para penyandang disabilitas.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Bangun Komunikasi Sederhana

Johans Imaliano Gandana remaja penyandang disabilitas Autism Spectrum Disorder (ASD), Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) serta Savant Syndrome yang pandai menggambar. Foto. Dokumen pribadi.

Komunikasi sederhana dapat dibangun di lingkungan keluarga dan dapat diterapkan baik oleh ibu, ayah, kakak, adik dan anggota keluarga lainnya.

“Kita bisa pakai kartu bergambar, kita juga bisa menggunakan white board untuk menulis karena anak disabilitas perkembangan yang sudah sekolah biasanya lebih paham menulis dibanding verbal.”

Anak-anak dengan disabilitas perkembangan biasanya diajarkan untuk menulis dan menggambar di sekolah. Mereka rutin dilatih untuk menuliskan apa yang mereka rasakan agar guru-guru tahu perlakuan yang tepat pada masing-masing anak.

“Mereka dilatih untuk membuat jurnal, entah menulis atau menggambar supaya kita tahu dia mengalami hal apa hari ini, mood-nya lagi ke mana nih arahnya karena enggak bisa ditebak juga.”

Tri juga menyinggung bahwa sejauh ini di lapangan masih ada penolakan dari pihak sekolah terhadap anak disabilitas perkembangan. Bukan dari tenaga pendidik melainkan dari orangtua murid lain yang enggan menyekolahkan anaknya di sekolah yang menerima anak berkebutuhan khusus.


Stigma Negatif

Atlet disabilitas bersiap mengikuti Pekan Special Olympic Nasional (Pesonas) 2022. Foto: Kemenko PMK.

Hal ini tak lain disebabkan oleh stigma negatif yang masih menyertai anak-anak disabilitas.

Orangtua murid lain cenderung khawatir anak-anak disabilitas akan mengganggu anaknya yang hendak bersekolah. Anak disabilitas cenderung dicap sebagai pengganggu.

“Bahkan pernah ada yang keberatan sekolah anaknya terlalu banyak menerima anak disabilitas sehingga para orangtua murid membuat petisi. Ya itulah fenomena yang ada.”

Selain mendapat penolakan dari masyarakat, anak disabilitas juga kerap mendapat penolakan dari orangtuanya sendiri.

“Ini sedih banget sih, karena banyak orangtua malu dan menutup-nutupi kondisi anaknya. Jadi bukan memberi pelayanan yang tepat tapi malah menutupi kondisi anaknya.”

Jika orangtua tidak memberikan informasi yang rinci terkait keadaan anak maka sebetulnya ini hal yang salah. Pasalnya, jika orangtua menyampaikan informasi yang sesuai, sekolah akan bisa memberikan pelayanan yang lebih tepat kepada anak.

“Kalau orangtua menutupi, nantinya anak tidak bisa terlayani dengan baik dan bisa menimbulkan masalah-masalah yang baru.”


Proses Seleksi yang Melanggar Hak Disabilitas

Murid SLB Mekar Sari 1 Cibinong saat mengikuti pelatihan membatik, Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Rabu (18/9/2019). Ekstrakurikuler yang rutin dilaksanakan seminggu sekali ini untuk membekali para siswa keterampilan membatik. (merdeka.com/Arie Basuki)

Kesulitan anak disabilitas dalam mendapat pendidikan juga bukan disebabkan stigma semata, tapi juga sistem seleksi sekolah yang pilih-pilih murid.

“Masih ada praktik-praktik seleksi di sekolah untuk menyeleksi hanya anak-anak non disabilitas saja yang boleh masuk ke sekolah tersebut. Jadi ketika ada anak berkebutuhan khusus, langsung ditolak.”

“Praktik-praktik seleksi ini sebetulnya sangat menyalahi Undang-Undang dan Hak Asasi Manusia (HAM). Karena dari UU Pendidikan Indonesia disebutkan bahwa semua anak harus mendapatkan pendidikan. Jadi, enggak boleh ada seleksi yang bertujuan mengeliminasi anak berkebutuhan khusus.”

Pemerintah telah mengatur bahwa setiap anak berhak mendapat pendidikan termasuk anak disabilitas. Para penyandang disabilitas berhak mengenyam pendidikan khusus di sekolah khusus seperti sekolah luar biasa atau (SLB) atau boleh juga di sekolah inklusi.

“Beberapa tahun terakhir ini sekolah-sekolah swasta sudah mulai membuka tempat untuk penyandang disabilitas perkembangan. Bahkan mereka memiliki fasilitas-fasilitas khusus seperti pendidikan khusus, penyesuaian kurikulum, program-program khusus, dan guru khusus.

 

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya