Liputan6.com, Kopenhagen - Setelah berada di luar kebijakan pertahanan bersama Uni Eropa selama 30 tahun terakhir, pada Rabu (1/6), rakyat Denmark akan menggelar pemungutan suara dalam sebuah referendum untuk menentukan apakah negara itu akan tetap memilih berada di luar kebijakan pertahanan bersama atau tidak pasca invasi Rusia ke Ukraina.
Sebanyak 65 persen lebih dari 4,3 juta pemilih yang memenuhi syarat di negara itu diperkirakan akan memilih untuk bergabung dengan kebijakan pertahanan Uni Eropa, menurut jajak pendapat terbaru yang diterbitkan pada Minggu (29/5).
Baca Juga
Advertisement
Meski demikian, para analis tetap berhati-hati, mengingat sebelumnya jumlah pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara cukup rendah di negara yang seringkali memilih "tidak” terhadap integrasi Uni Eropa lebih jauh – di mana upaya terakhir menyoal integrasi tersebut terjadi pada 2015, demikian dikutip dari laman VOA Indonesia, Rabu (1/6/2022).
"Kita harus selalu memberikan hak suara kita ketika ada pemungutan suara,” kata Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen mendorong warga Denmark untuk pergi ke TPS dalam debat kampanye televisi terakhir yang berlangsung pada Minggu.
"Saya yakin sepenuh hati bahwa kita harus memilih 'ya'. Di masa ketika kita harus memperjuangkan keamanan Eropa, kita harus lebih bersatu dengan tetangga-tetangga kita,” ungkapnya.
Denmark menjadi anggota Uni Eropa sejak 1973, namun negara itu berhenti memberi Brussels lebih banyak kendali pada 1992, ketika 50,7 persen warga Denmark menolak Perjanjian Maastricht, perjanjian dasar Uni Eropa.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Denmark dalam Perundingan
Perjanjian itu harus diratifikasi oleh seluruh negara anggota untuk mulai berlaku. Untuk membujuk Denmark agar menyetujuinya, Kopenhagen merundingkan serangkaian pengecualian dan akhirnya Denmark pun setuju pada tahun berikutnya.
Sejak saat itu, Denmark tidak menggunakan mata uang tunggal Eropa, euro – yang ditolak Denmark dalam referendum tahun 2000 – serta kebijakan umum blok tersebut terkait urusan peradilan, dalam negeri dan pertahanan.
Keputusan untuk berada di luar kesepakatan pertahanan bersama itu membuat negara Skandinavia pendiri NATO itu tidak berpartisipasi dalam kebijakan luar negeri Uni Eropa yang menyangkut pertahanan dan tidak menyumbang pasukan bagi misi militer Uni Eropa.
Denmark adalah satu-satunya negara yang menegosiasikan posisinya untuk berada di luar kebijakan pertahanan bersama, meskipun Malta tetap berada di luar kebijakan itu juga secara de facto. Sementara Kopenhagen telah menggunakan hak pengecualian yang sama sebanyak 235 kali dalam 29 tahun, menurut data lembaga think tank Europa.
Advertisement
Referendum Diserukan
Perdana Menteri Denmark Frederiksen menyerukan referendum itu dua pekan setelah invasi Rusia ke Ukraina, dan setelah mencapai kesepakatan dengan mayoritas partai di parlemen Denmark, the Folketing.
Pada saat yang sama, ia juga mengumumkan rencana untuk meningkatkan anggaran pertahanan hingga dua persen PDB, sejalan dengan persyaratan keanggotaan NATO, pada tahun 2033.
“Ini kejutan besar,” kata direktur Eropa, Lykke Friis.
“Selama bertahun-tahun terakhir, tidak ada yang mengira pemerintah Denmark akan menyerukan referendum nasional terkait pengecualian kebijakan pertahanan bersama Uni Eropa,” ungkapnya.
“Tidak diragukan lagi Ukraina menjadi alasan utama di balik referendum.”
“Pengumuman Berlin bahwa pihaknya akan membalikan kebijakan pertahanan selama puluhan tahun dengan secara besar-besaran meningkatkan pengeluaran militernya juga berperan kunci dalam keputusan Denmark,” kata Friis.
Jerman adalah sekutu terdekat Denmark, bersama AS.
“Fakta bahwa mereka meningkatkan kapasitas anggaran pertahanan mereka membuat Denmark berada pada posisi di mana kami tidak bisa lagi bersembunyi di belakang Jerman.”
Ukraina Ingatkan Dunia, Kemungkinan Rusia Bisa Serang Negara Lain
Presiden Ukrainia, Volodymyr Zelenskyy pada Jumat (22/4), menggunakan pernyataan seorang jenderal Rusia, sebagai bukti bahwa Moskow akan menyerang negara lain apabila Rusia berhasil di Ukraina.
Jenderal itu mengatakan, Rusia bertujuan merebut semua wilayah Ukraina selatan dan timur serta menghubungkannya dengan provinsi yang memisahkan diri di negara tetangga Moldova.
"Itu hanya menegaskan apa yang telah saya katakan beberapa kali: invasi Rusia ke Ukraina hanya sebagai permulaan," kata Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky dalam pidatonya Jumat malam.
Dia mengatakan sebelumnya, komentar Rustam Minnekayev, wakil komandan distrik militer pusat Rusia menunjukkan bahwa Rusia tidak akan berhenti dengan Ukraina.
Kantor berita milik pemerintah Rusia mengutip Minnekayev yang mengatakan Moskow ingin merebut seluruh wilayah Donbas di timur Ukraina, membuat koridor darat untuk menghubungkan dengan semenanjung Krimea dan merebut seluruh wilayah selatan negara itu ke arah barat hingga wilayah Moldova yang memisahkan diri dan diduduki Rusia.
Moldova memanggil duta besar Rusia hari Jumat untuk mengungkapkan “keprihatinan mendalam” atas komentar jenderal itu.
Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Jalina Porter menolak mengomentari pernyataan jenderal Rusia itu, tetapi mengatakan Washington dengan tegas mendukung kedaulatan Moldova.
Baca Juga
Advertisement