Lo Kheng Hong Enggan Jajal Saham Teknologi, Ini Alasannya

Investor Lo Kheng Hong mengaku tak memiliki portofolio saham perusahaan digital.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 02 Jun 2022, 11:02 WIB
Investor kawakan, Lo Kheng Hong hadir dalam acara makan malam Sinarmas Sekuritas dengan nasabahnya pada Selasa, 21 Desember 2021. (Foto: Sinarmas Sekuritas)

Liputan6.com, Jakarta - Adaptasi teknologi digital di dalam negeri kian marak dalam beberapa tahun terakhir. Hal itu menyusul momentum pandemi COVID-19 yang turut mendorong masifnya akselerasi digital.

Selain diterapkan oleh perusahaan rintisan atau startup, digitalisasi rupanya juga merambah perbankan. Marak akuisisi bank-bak kecil oleh bank besar untuk disulap jadi bank digital. Meski begitu, investor kawakan, Lo Kheng Hong mengaku tak memiliki portofolio saham perusahaan digital.

Dia menuturkan, investasi di perusahaan teknologi atau digital cukup berisiko, kendati saham-saham bank digital sempat meroket.

“Kenaikan yang luar biasa tidak didukung dengan fundamental dengan laba yang besar itu sangat mengerikan. Misalnya perusahaan rugi yang valuasinya mahal sekali, kita enggak berani sentuh,” kata Lo dalam siniar di kanal Youtube Hermanto Tanoko, ditulis Kamis (2/6/2022).

Ia menilai, investor sebaiknya tidak hanya melihat potensi kenaikan saham, tetapi juga mempersiapkan untuk kemungkinan terburuk ketika saham turun. Lo juga menyayangkan jika ada investor yang rela melepas saham-saham perusahaan wonderful company untuk mengikuti tren dengan membeli saham teknologi.

"Kalau saham dia yang wonderful company ditukar ke saham bank digital dan teknologi, itu tragedi buat dia… Itu buat orang-orang yang enggak ngerti saham yang beli. Buat saya yang ngerti saham, tentu saya enggak berani sentuh saham-saham itu,” ujar Lo.

“Jadi kalau masuk perusahaan seperti itu, high risk low gain. Saya biasanya puluh yang low risk high gain,” imbuhnya.

Lo sendiri lebih tertarik dengan saham-saham di sektor komoditas, seperti batu bara dan kelapa sawit, perbankan, dan properti. Sementara untuk sektor consumer good, Lo belum tertarik karena sektor tersbeut dinilai memiliki valuasi yang mahal.

"Saham consumer goods, perusahaan yang bagus. Cuma valuasinya mahal, jadi saya belum membelinya," ujarnya.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Faktor Ini Jadi Pertimbangan Lo Kheng Hong Pilih Saham Bank

Karyawan melihat layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Jumat (22/1/2021). Pada hari ini, IHSG melemah pada penutupan sesi pertama menyusul perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sebelumnya, saham-saham bank digital telah menuai perhatian sejak tahun lalu. Hal ini seiring harga saham bank berkaitan dengan digital melonjak signifikan.

Berdasarkan data RTI, pada 2021, saham Bank Neo Commerce (BBYB) melonjak 782,55 persen ke posisi Rp 2.630 per saham. Selain itu, saham Bank Jago (ARTO) naik 272,09 persen ke posisi Rp 16.000 per saham.

Namun, kenaikan harga saham signifikan tersebut tidak membuat investor Lo Kheng Hong tertarik. Investor yang juga disebut Warren Buffett Indonesia Lo Kheng Hong tidak memilih portofolio saham bank digital.

“Bank digital asetnya kecil, sedangkan valuasinya mahal. Sedangkan bank konvensional asetnya besar dan valuasinya murah,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, lewat pesan singkat, ditulis Minggu (20/2/2022).

Lo Kheng Hong memilih saham bank konvensional dalam portofolio sahamnya. Ia menilai, saham bank konvensional masih sangat menarik. “Asetnya besar dan valuasinya murah,” tegas dia.

 


Pegang Saham Bank Konvensional

Pengunjung melintas di papan elektronik yang menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta, Rabu (15/4/2020). Pergerakan IHSG berakhir turun tajam 1,71% atau 80,59 poin ke level 4.625,9 pada perdagangan hari ini. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Ia mengaku sudah cukup lama memegang lama saham bank konvensional tersebut.

Sebelumnya, Lo Kheng Hong pernah menuturkan, tidak akan membeli bank kecil dengan aset di bawah Rp 10 triliun tapi P/B 50 kali.

Sementara ada bank yang asetnya Rp 200-300 triliun dengan P/B hanya hanya 0,5 kali. Bahkan, Lo Kheng Hong mencermati ada pula perusahaan yang labanya di 2021 hanya sekitar Rp 250 miliar tetapi valuasinya mencapai Rp 100 triliun.

"Jadi enggak mungkin saya beli seperti itu. Saya lebih suka beli saham yang seperti tambang batu bara yang P/B hanya di bawah 5 kali. Beli bank-bank yang P/B hanya 0,5, yang murah-murah,” ujar dia, Rabu, 9 Februari 2022.

"Jadi saya hanya mau membeli Mercy harga Avansa. Bukan Bajaj yang dijual harga Mercy, tentu saya enggak mau beli,” Lo Kheng Hong menambahkan.


Alasan Lo Kheng Hong Tak Pegang Saham Perusahaan Digital

Karyawan mengamati pergerakan harga saham di Profindo Sekuritas Indonesia, Jakarta, Senin (27/7/2020). Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 0,66% atau 33,67 poin ke level 5.116,66 pada perdagangan hari ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Lo Kheng Hong, investor kondang tanah air menyebutkan ada hujan emas di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kondisi tersebut berlangsung selama pandemi covid-19 utamanya pada awal kemunculannya pada 2020.

Lo Kheng Hong menjelaskan, saat itu indeks harga saham gabungan (IHSG) bahkan anjlok hingga level 3.900. Sehingga banyak perusahaan bagus yang harga sahamnya ikut merosot. Sebagai investor fundamental, Lo menilai momentum ini sangat potensial.

"Pada waktu pandemi ada hujan emas di BEI. Jadi ketika pandemi kita harus bawa ember yang besar dan kita tampung emas-emas itu. Kita beli perusahan yang bagus dengan harga yang murah,” ungkap Lo dalam diskusi virtual - Investasi di 2022: It's my dream, ditulis Rabu, 9 Februari 2022.

“Kalau kita simpan setahun saja sampai 2021 kita sudah untung berkali-kali lipat,” imbuhnya.

Lo Kheng Hong membeberkan sejumlah sektor potensial yang bisa dilirik utamanya selama pandemi. Pertama, ada perbankan. Lo menilai pemulihan di sektor ini relatif lebih cepat dibandingkan sektor lainnya. Kemudian komoditas, seperti batu bara.

Ia menilai, harga batu bara telah meroket dari semula di kisaran USD 50 per ton, naik sampai USD 200 per ton.

"Tentu itu sangat menarik, jadi labanya juga akan meningkat banyak sekali," kata Lo.

Sektor selanjutnya yakni perkebunan kelapa sawit atau CPO. Sama seperti baru bara, harga CPO juga mengalami kenaikan signifikan dari semula di kisaran RM 2.000 per ton, naik sampai RM 5.400 per ton. Selain itu, Lo juga menyebutkan sejumlah sektor yang semula kinerjanya biasa saja, tetapi meroket saat pandemi. Di antaranya pelayaran atau logistik dan kaca.

"Ada sektor yang biasanya biasa saja, tiba-tiba jadi bagus sekali, misalnya pelayaran, kontainer. Tiba-tiba tarif kontainer bisa naik, sehingga labanya juga meningkat berlipat-lipat, padahal biasanya perusahaan pelayaran labanya biasa-biasa saja,” ujar Lo.

“Kemudian perusahaan kaca. tiba-tiba labanya jadi melonjak sekali,” ia menambahkan.

 

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya