HEADLINE: Pembelian Pertalite dan Solar akan Dibatasi, Mekanismenya Seperti Apa?

Pemerintah tengah menggodok aturan terkait penunjukan teknis pembelian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite dan Solar.

oleh Arief AszhariTira SantiaNatasha Khairunisa AmaniArief Rahman H diperbarui 03 Jun 2022, 00:00 WIB
Pengendara motor mengisi kendaraannya dengan BBM di salah satu SPBU, Jakarta. Pembelian Pertalite dan Solar Akan Dibatasi. Mekanismenya antara lain memakai MyPertamina. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Kabar mengenai bahan bakar minyak atau BBM subsidi Pertalite dan Solar kembali mencuat. Setelah sebelumnya pemerintah memastikan BBM jenis tersebut harganya tak naik, kini mencuat wacana pembatasan penggunaan kedua jenis BBM subsidi itu.

Pemerintah tengah menggodok aturan terkait penunjukan teknis pembatasan pembelian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis Pertalite dan Solar. Langkah pembuatan aturan pembelian Pertalite dan Solar ini agar penyalurannya dapat lebih tepat sasaran.

Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (DEN) Djoko Siswanto menjelaskan, regulasi itu akan mengatur dua hal, yakni kenaikan harga minyak dunia dan peralihan konsumen dari BBM nonsubsidi ke BBM bersubsidi akibat disparitas harga.

"Di dalam Perpres tersebut tidak hanya BBM jenis Pertalite yang akan disempurnakan, satu lagi yang lebih krusial BBM jenis Solar karena Solar masih disubsidi meskipun subsidi per liter, tetapi harganya masih sangat murah kalau dibandingkan dengan Solar nonsubsidi," ujarnya.

Saat ini harga Solar bersubsidi di angka Rp 5.100 per liter, jauh lebih tinggi dibanding solar nonsubsidi yang hampir Rp 13.000 per liter.

Dia menyampaikan, Solar adalah prioritas pertama yang akan pemerintah atur karena BBM jenis ini digunakan tidak hanya oleh kendaraan bermotor, tetapi industri-industri pertambangan dan perkebunan, hingga kapal-kapal besar. Adapun Pertalite hanya terjadi pergeseran konsumen yang membuat volume penyalurannya bertambah.

Merujuk latar belakang, Perang Ukraina dengan Rusia telah membuat harga minyak dunia melambung terkhusus gasoline. Bahkan harganya terus naik selama beberapa minggu terakhir usai Rusia kena sanksi UE dan AS.

Tengok saja harga minyak dunia pada Kamis (2/6/2022), seperti dikutip dari CNBC. Tercatat harga minyak dunia jenis Brent menetap di USD 116,29 per barel, naik 69 sen atau 0,6 persen. Sementara harga minyak mentah West Texas Intermediate AS naik 59 sen atau 0,5 persen menjadi USD 115,26 per barel.

Imbas kenaikan harga minyak dunia beberapa waktu terakhir, ikut mengerek harga BBM di dalam negeri. Kondisi yang mendorong pemerintah kemudian menyesuaikan harga BBM nonsubsidi yakni Pertamax naik menjadi Rp 12.500 per liter pada 1 April 2022 lalu.

Sementara itu, pemerintah memutuskan tidak menaikkan harga Pertalite yang membuat selisih harga BBM jenis penugasan ini juga serupa antara Solar dan Bensin. Hal itu lantas membuat konsumen beralih dari membeli Pertamax ke Pertalite.

Situasi itu yang membuat beban keuangan Pertamina semakin berat karena perseroan harus melakukan impor sekitar 50 persen untuk bensin dengan harga yang tinggi, sementara harga jual produknya justru tidak naik sesuai harga keekonomian. "Dua hal ini yang akan diatur lebih lanjut oleh Perpres yang baru tersebut," kata Djoko.

Pembatasan Pertalite dan Solar Sudah Dibahas di DPR

Rencana pemerintah untuk mengatur ulang soal Pertalite dan Solar ini nampaknya sudah dibahas dengan DPR.

Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto mengatakan bahwa parlemen telah bertemu dengan PT Pertamina (Persero) dan BPH Migas membicarakan terkait aturan pembelian BBM bersubsidi.

Dalam pertemuan itu, Pertamina mengharapkan agar aturan pembelian bisa ditata supaya penyaluran BBM subsidi dan penugasan bisa lebih tepat sasaran.

"Ketika harga Solar yang tidak disubsidi semakin meningkat, artinya disparitas semakin tinggi, ini semakin rawan, sehingga solar harus diatur. Kemudian ketika menyusul Pertamax ikut naik terjadi hal yang serupa ada gap yang tinggi antara Pertalite dan Pertamax," ujar politisi PKS tersebut.

Pemerintah kini tengah merumuskan konsumen yang berhak menerima BBM bersubsidi. Sekarang secara umum yang berhak menerima BBM bersubsidi adalah usaha kecil, usaha mikro, petani kecil lahannya di bawah dua hektare, kendaraan umum.

Dalam berbagai forum, lanjut Mulyanto, ia cenderung mengusulkan agar pemerintah memperketat pembelian Pertalite, di mana mobil mewah maupun mobil dinas tidak diperbolehkan menggunakan Pertalite termasuk juga Solar.

"Kami arahkan agar pembelian lebih tepat sasaran kepada yang membutuhkan. Jadi, itu urgensinya," pungkas Mulyanto.

 

 

Infografis Beli Pertalite dan Solar Bakal Dibatasi (Liputan6.com/Triyasni)

Mekanisme Pembatasan

Mesin pengisian ulang bahan bakar minyak di salah satu SPBU, Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Masih soal pembatasan konsumsi Pertalite dan Solar, Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) mendorong penggunaan aplikasi MyPertamina sebagai salah satu cara.

Anggota Komite BPH Migas Saleh Abdurrahman menjelaskan, ke depan yang berhak mengisi Solar dan Pertalite harus melakukan registrasi di aplikasi My Pertamina, yang selanjutnya akan diverifikasi oleh BPH Migas.

“Ya solar kan JBT (jenis BBM tertentu), pertalite Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP) kemudian kuotanya sudah ditentukan masing-masing 15,1 juta kiloliter dan 23,05 juta kiloliter, sementara kita proyeksikan kebutuhan lebih dari itu,” kata Saleh kepada Liputan6.com.

Sehingga penyaluran JBT dan JBKP harus tepat sasaran. Oleh sebab itu konsumen solar ini mesti tercatat atau registrasi dulu di MyPertamina, kemudian diverifikasi. Jika berhak bisa mendapatkan solar.

Apabila telah disetujui, maka konsumen memiliki akses dan dapat membeli solar subsidi. Tentunya, agar petugas Pertamina tahu maka pembeli dihimbau untuk menunjukkan bukti sudah akses MyPertamina dengan bukti seperti QR Code.

Begitupun sebaliknya, bagi yang tidak terverifikasi. Maka konsumen tersebut tidak berhak menerima subsidi, dan harus membeli Jenis BBM umum (JBU).

Lebih lanjut, untuk menerapkan kebijakan pembelian BBM bersubsidi melalui MyPertamina, perlu dilakukan revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Lantaran, Perpres tersebut mengatur siapa saja yang berhak membeli BBM subsidi.

“Betul (harus direvisi), tujuannya untuk menyesuaikan konsumen pengguna,” pungkasnya.

Kriteria Pengguna Pertalite dan Solar

Pjs. Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, SH C&T Pertamina Irto Ginting menjelaskan, saat ini pemerintah masih memfinalisasi kriteria penerima BBM subsidi.

"Saat ini masih finalisasi kriteria penerima subsidi," jelas dia kepada Liputan6.com.

Dia menuturkan jika revisi kriteria penerima subsidi nantinya akan dituangkan dalam revisi peraturan presiden (perpres) nomor 191 tahun 2014 tentang tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.

Saat ini dikatakan jika penerima atau konsumen yang menikmati BBM subsidi masih sangat luas. Untuk itu perlu diatur dengan tepat.

Bila telah ada revisi, diharapkan nanti aturannya bisa lebih jelas mana yang bisa dan yang tidak boleh. "Sehingga implementasi di lapangan bisa clear. Tidak ada lagi perdebatan antara operator SPBU dan konsumen," jelas dia.

Namun dia mengatakan, pemerintah dan regulator masih memfinalisasi perihal pihak yang berhak menerima BBM subsidi.

Infografis Beli Pertalite dan Solar Bakal Pakai MyPertamina (Liputan6.com/Triyasni)

Harapan Operator Penyalur BBM

Petugas SPBU mengisi bahan bakar jenis pertalite kepada pengguna sepeda motor di Pamulang, Tangerang Seatan, Banten. (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Pemerintah tengah mengkaji penerapan pembatasan pembelian bahan bakar minyak jenis Solar dan Pertalite. Sementara, PT Pertamina masih menunggu terbitnya regulasi lengkap yang mengatur hal tersebut.

Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting berharap regulasi yang nantinya diterbitkan berkaitan dengan pembatasan itu tak akan menimbulkan masalah. Diantaranya perselisihan antara operator SPBU dan masyarakat sebagai konsumennya.

“Diharapkan revisinya juga dapat membuat implementasi di lapangan lebih clear, artinya tidak ada lagi perselisihan antara operator SPBU dengan konsumen,” katanya kepada Liputan6.com, Kamis (2/6/2022).

Aturan yang dimaksud yakni revisi Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak. Revisi ini disebut akan mengatur penunjukkan teknis pembelian bahan bakar minyak bersubsidi jenis Solar dan BBM penugasan jenis Pertalite.

Irto tak berkomentar lebih jauh terkait dampak rencana penerapan pembatasan itu terhadap Pertamina. Ia memilih untuk menunggu hasil revisi yang tengah dilakukan pemerintah.

“Kita tinggi revisi Perpres 191 ya, biar clear siapa yang berhak, nanti kan harus diverifikasi juga oleh pemerintah,” kata dia.

Jika nantinya pembatasan dilakukan, ia tetap menegaskan akan mengacu pada aturan baru nantinya. Pada dasarnya, Pertamina akan menjalankan hasil revisi Perpres 191 tersebut.

“Kami sebagai operator tentunya akan melaksanakan sesuai penugasan yang diberikan regulator,” tegasnya.

Konsumsi Pertalite dan Solar

Informasi, menurut data yang dihimpun Liputan6.com, konsumsi BBM jenis Pertalite dan Solar mengalami peningkatan.

Peningkatan Pertalite diketahui terjadi akibat adanya penyesuaian harga BBM jenis Pertamax, sehingga sejumlah pengguna memilih migrasi ke Pertalite.

Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), realisasi Pertalite hingga 2 April 2022 tercatat sebanyak 6,48 juta kiloliter.

Sementara kuota yang disediakan sebanyak 23,05 juta kiloliter, sehingga sisa kuota yang tersedia sebanyak 16,57 juta kiloliter.

Sementara itu, realisasi Solar hingga 2 April 2022 mencapai 4,08 juta kiloliter dari subsidi sebanyak 15,10 juta kiloliter. Sehingga sisa kuota yang tersedia sebanyak 11,02 juta kiloliter.

Terpisah, Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengungkap konsumsi BBM Subsidi jenis Solar ini diakui mengalami kelebihan realisasi dari kuota yang ditetapkan.

Realisasi tiga bulan pertama 2022 hingga 27 Maret 2022 tercatat realisasi solar yang dilakukan PT Pertamina sebanyak 3.767.512 kiloliter, kemudian realisasi dari PT AKR Corporindo sebanyak 29.360 kiloliter.

Sedangkan, kuota yang ditetapkan untuk tiga bulan pertama itu sebanyak 3.499.525 kiloliter. Dua perusahaan energi ini adalah yang ditunjuk oleh Kementerian ESDM untuk menyalurkan BBM jenis Solar.

“Dari penyaluran BBM februari maret itu melampaui kuota yang ada sudah di atas kuota, dan perhitungan Januari itu over kuota 10 persen dan di tanggal 27 maret itu agak sedikit mengalami penurunan kalau digabungkan, realisasi Pertamina dan AKR sekitar 8,5 persen,” kata Nicke.

“Di tiga bulan pertama ini kita sudah melihat adanya over kuota dan ini apabila kegiatan ekonomi meningkat kemungkinan besar kuota BBM yang ditetapkan 1 juta KL tak cukup hingga akhir tahun,” tambahnya.

Infografis Siapa Boleh Beli Pertalite dan Solar? (Liputan6.com/Triyasni)

Dapat Dukungan

Petugas melayani pengisian BBM kendaraan konsumen di SPBU kawasan Jakarta, . (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Rencana pemerintah untuk memperketat penggunaan Pertalite dan Solar ini nampaknya dipandang positif. Seperti ddikatakan Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan.

"Kalau saya setuju untuk dilakukan pembatasan (konsumsi pertalite dan solar). Karena memang saat ini sudah terlalu over-kuota ya untuk pertalite maupun solar subsidi. Apalagi kita tahu saat ini bahwa harga minyak mentah dunia terus mengalami kenaikan, dengan demikian beban kompensasi yang harus ditanggung pemerintah untuk Pertalite ini terus mengalami kenaikan," kata Mamit kepada Liputan6.com.

Selain itu, Mamit juga menyebut, sudah saatnya Pemerintah memberikan subsidi kepada orang bukan lagi dalam bentuk barang.

"Jadi dengan adanya pembatasan ini saya kira ini akan sangat membantu pemerintah, karena beban (keuangan) akan berkurang. Karena subsidi ini tepat sasaran, tidak lagi (pemerintah) subsidi kepada barang, tetapi nanti subsidinya kepada orang," ujar dia.

Mamit pun menyampaikan dukungannya atas insiatif penggunaan aplikasi MyPertamina untuk pembelian BBM jenis Pertalite, yang bakal segera dibatasi.

"Mengenai mekanismenya kalau tidak salah sudah disiapkan yaitu melalui aplikasi MyPertamina, saya kira itu juga merupakan solusi yang bagus karena ini sudah paling siap tanpa harus mengeluarkan aplikasi baru," pungkasnya.

Sementara terkait hal yang masih perlu diperhatikan dari mekanisme tersebut, Menurut Mamit, masih dibutuhkan perluasan infrastruktur telekomunikasi agar informasi mengenai aplikasi MyPertamina untuk pembelian pertalite bisa secara efektif diakses masyarakat di seluruh negeri.

"Infrastruktur telekomunikasi ini kan masih belum siap. Belum ada di semua daerah, ini yang menjadi kesulitan untuk mengakses aplikasinya (MyPertamina). Kedua, bahwa saat ini rata-rata masyarakat usia tua/lansia yang mungkin masuk kategori penerima kompensasi ini belum paham betul soal teknologi. Maka dari itu, diperlukan sosialisasi kembali. Pemerintah juga perlu memberikan edukasi kepada masyarakat," jelas Mamit.

Dia juga mengungkapkan, bisa subsidi tepat sasaran, hal ini bisa mendongkrak konsumsi pertamax.

"Ketika pembelian pertalite dan solar ini dibatasi, saya kira bisa mendongkrak (pembelian pertamax) bahkan di angka 30-40 persen. Karena memang tepat sasaran," beber dia.

Kata Produsen Kendaraan 

Agen Pemegang Merek (APM) kendaraan di Indonesia juga masih menunggu peraturan resmi terkait rencana pembatasan pembelian Pertalite dan Solar. 

Yusak Billy, Business Innovation and Sales & Marketing PT Honda Prospect Motor (HPM) menjelaskan, saat ini mayoritas pengguna mobil asal Jepang tersebut sudah tidak menggunakan bahan bakar dengan RON 90 seperti pertalite.

"Berdasarkan survei, sebagian besar konsumen Honda sudah menggunakan bahan bakar minyak (BBM) RON 91 atau lebih," UJSR Billy, melalui pesan elektronik kepada Liputan6.com, Kamis (2/6/2022).

Secara umum dengan kenaikan biaya untuk konsumsi BBM, memang bisa berpengaruh kepada pasar secara keseluruhan. "Namun, karena aturan ini masih digarap, kami juga akan mempelajari dampak aktualnya seperti apa," tegas Billy.

Sri Agung Handayani, Direktur Marketing dan Direktur Corporate Planning & Communication PT Astra Daihatsu motor (ADM) juga menegaskan masih wait and see terkait wacana pembatasan pembelian Pertalite dan Solar subsidi tersebut.

"Karena peraturan ini masih wacana, masih dalam pembahasan, kami memang masih menunggu dan melihat terlebih dahulu. Belum bisa berkomentar banyak terkait hal tersebut," ujar Agung kepada Liputan6.com, melalui sambungan telepon.

Donny Saputra, 4W Marketing Director PT Suzuki Indomobil Sales (SIS) menjelaskan, berharap apapun keputusan yang akan diambil pemerintah, lebih ke arah untuk mempercepat pemulihan ekonomi.

"Saat ini, ekonomi sudah menggelit. Dengan diperbolehkan mudik, kondisi pandemi yang semakin membaik, kita berharap ke depan, keputusan yang diambil lebih ke arah untuk mempercepat pemulihan ekonomi," pungkasnya.


Sejalan dengan Target Penurunan Emisi

Petugas mengisi BBM pada sebuah mobil di salah satu SPBU, Jakarta. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukih Kumara, menilai jika pembatasan pembelian Pertalite dan Solar saat ini masih wacana.

Bila pembatasan tersebut sudah jelas, asosiasi kendaraan di Tanah Air selama akan mengikuti peraturan pemerintah termasuk spesifikasi roda empat yang dipasarkan di dalam negeri.

"Gasoline misalkan, sudah Euro4 dan spesifikasi bahan bakar sebenarnya di atas Pertalite. Pemilik kendaraan harus sadar penggunaan bahan bakar seperti apa, RON seperti apa. jika menggunakan di luar spesifikasi, akan cepat rusak," jelas Kukuh saat dihubungi Liputan6.com melalui sambungan telepon, Kamis (2/6/2022).

Sementara itu, terkait kendaraan diesel bahkan saat ini penerapan standar emisi gas buang Euro4 sudah berlaku sejak 12 April 2022. Sehingga, pada dasarnya pemilik memang harus menggunakan bahan bakar yang sesuai dengan peraturan berlaku.

"Jika masih ada yang tidak menggunakan bahan bakar yang sesuai, itu tanggung jawab pribadi masing-masing. Bahkan, ketika kendaraan keluar dari pabrik, memang sudah sesuai dengan spesikasi mesin dan bahan bakar. Tapi kemudian, jika ada sopir tembak yang nakal, yang menggunakan bahan bakar tidak sesuai," tegas Kukuh.

Selain itu, jika melihat satu sisi lainnya, dengan menggunakan BBM yang memang sesuai spesifikasi mesin dengan RON yang tepat atau lebih tinggi, maka target penurunan emisi untuk menuju green mobility akan tercapai.

"Secara nasional, tidak akan mencapai target penurunan emisi menuju green mobility, kalau semua belum memberlakukan menggunakan bahan bakar sesuai spesifikasi. Kita juga harus lihat secara gambar besarnya," tegas Kukuh.

Pembatasan Pertalite dan solar ini, kabarnya juga akan menyasar pengguna mobil mewah. Meskipun, hingga saat ini memang aturan teknis masih terus digodok oleh pemerintah.

"Mobil mewah definisinya apa, kalau tidak salah ada dalam peraturan pemerintah, seperti supercar dengan persyaratan pajaknya beda. Tidak masuk akal, mobil dengan teknologi tinggi pasti menuntut bahan bakar lebih bagus. Bahkan Euro6, lebih mahal dari Euro4," ujar Kukuh.

Dengan begitu, terkait penggunaan bahan bakar untuk mobil mewah, merupakan masalah kepatuhan dari pemilik.

"Kalau kita itu, menyiapkan kendaraan dan menjual itu sesuai dengan ketentuan pemerintah. Prinsipal juga pasti menyesuaikan itu," pungkasnya.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya