Liputan6.com, Jakarta Industri masih dihadapkan pada sejumlah tantangan. Salah satunya yaitu potensi bahaya produk BPA pada AMDK yang masih terus menjadi perbincangan hangat. Namun demikian, pemerintah telah memastikan untuk melindungi masyarakat dari potensi bahaya tersebut.
Pakar Sumber Daya Air dan Founder Indonesian Water Institut (IWI) Firdaus Ali memberikan pandangannya soal tantangan menjamin keamanan BPA pada penggunaan kemasan AMDK.
Advertisement
Dengan beban populasi yang ada sekitar 274 juta jiwa, negara baru mampu melayani sekitar 21 persen dari total populasi untuk penyediaan air bersih per pipa. Lainnya masih menggunaakan air dari nonpemipaan.
“Artinya sebagian besar masih menggunakan air nonpemipaan dari perhitungan kualitas, keamanan, dan lain sebaginya menjadi pertanyaan bersama. Kita masih jauh tertinggal dari negara lain. Dari cakupan layanan air bersih perpipaan,” kata Firdaus, dikutip Jumat (3/6/2022).
Firdaus Ali pun menekankan bahwa tidak ada alasan untuk memusuhi plastik. “Bagaimanapun manusia harus hidup dengan plastik karena peradaban manusia tidak akan maju tanpa plastik. Plastik menjadi musuh kita, ketika kita kembali ke budaya primitif dengan membuangnya kesembarang tempat dan plastik berakhir di sungai atau di laut," tutur dia.
Ia memaparkan, ada sejumlah tantangan dalam pengawasan air minum dalam kemasan. Diantaranya adalah melakukan tata ulang ringkronisasi/harmonisai kembali regulasi dan standar AMDK, menata ulang parmeter uji dan metode sampling produk AMDK, melakukan komunikasi dan edukasi publik secara intensif untuk mencerdaskan konsumen terkait dengan produk AMDK berkualitas dan terdaftar.
Ia juga menekankan pada tata ulang sistem pelabelan terkait dengan informasi kandungan parameter pada kemasan AMDK.
Sedangkan Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan, Badan POM Rita Endang memastikan jika pemerintah terus melakukan perlindungan masyarakat dari potensi bahaya produk BPA pada air minum dalam kemasan (AMDK).
Rita mengatakan, isu BPA bukan merupakan isu lokal, dan bukan pula isu nasional saja, melaikan sudah menjadi isu Internasional.
“Jadi, BPA merupakan isu global. Beberapa negara sudah meregulasi dan melakukan pelabelan BPA pada AMDK," kata dia.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Dampak ke Lingkungan
Sementara itu, Kasubdit Tata Kelola Produsen, Direktorat Pengurangan Sampah, KLHK Ujang Solihin Sidik memaparkan soal dampak terhadap AMDK pada lingkungan. “Berbicara dampak pada lingkungan pada akhirnya tentu saja akan berdampak juga pada kesehatan,” kata Ujang Solihin Sidik.
“Secara global dan juga berlaku di Indonesia ada sejumlah tanangan dan perhatian bagi kita semua. Ternyata, dari sampah kemasan menjadi persoalan. Pada Studi atau riset, kemasan plastik khususnya AMDK adalah dari minyak bumi, kita melihat bagaimana eksploitasi minyak bumi semakin banyak. Tak hanya untuk bijih plastik namun juga kita melihat ekploitasinya juga sangat meningkat. Dan sebagaiman kita ketahui minyak bumi jumlahnya semakin terbatas dan tidak bisa diperbarui,” ujar Sidik.
Sebagimana diketahui, kemasan plastik yang paling populer digunakan adalah Polyethylene Terephthalate (PET), High Density Polyethylene (HDPE), Low-Density Polyethylene (LDPE), dan Polycarbonate (PC) yang merupakan jenis plastik yang sangat umum digunakan pada kemasan makanan, khususnya pada AMDK.
Dari ekstraksi sumber daya alam yang digunakan menjadi kemasan plastik yang didaur ulang menjadi botol minuman kembali, jumlahnya masih sangat kecil. Sidik menekankan pentingnya Circular Economy dimana pendaurulangan produk plastik menjadi bahan berdayaguna kembali adalah jawaban yang tepat dan menguntungkan secara ekonomi. Sebagian besar kemasan plastik yang kembali dapat didaurulang adalah jenis PET.
Advertisement
Daur Ulang
Maka melihat kenyataan ini, maka KLHK mendorong para produsen untuk, Pertama, merancang kemasan minumannya untuk bisa digunakan ulang. Sebab, dengan begitu menjadi salah satu langkah kongkrit untuk mengurangi dampak terhadap lingkungan, mencegah sampah, dan melakukan penghematan sumber daya alam pembentukan keamasan platik merupakan langkah konkrit dari circular economy.
Kedua, merancang kemasannya untuk mudah didaur ulang. “Ketika dirancang sekali pakai, kami memang tidak melarang hal tersebut. Namun produsen bisa bertanggungjawab untuk menarik kembali kemasan pascaproduksi untuk kembali dijadikan bahan baku untuk menjadi kemasan baru,” ujar Sidik.
Bagi KLHK kata Sidik, pilihannya adalah ada kemasan daur ulang, sebab hal itu menjadi hal yang utama. Selain itu, industri kemasan harus melakukan inovasi untuk mencari jenis kemasan pakai ulang yang bebas BPA. Dalam pandangan KLHK, dalam konteks daur ulang maka ukuran kemasan menjadi lebih penting juga.