Liputan6.com, D.C - Kementerian Luar Negeri China pada Kamis (2/6) menanggapi dengan marah pengumuman bahwa akhir bulan ini pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden akan mulai memberlakukan undang-undang baru yang melarang impor produk-produk buatan tenaga kerja paksa di provinsi Xinjiang ke Amerika Serikat.
Undang-undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur (UFLPA), yang ditandatangani Biden pada Desember lalu, mulai berlaku pada 21 Juni mendatang. Di bawah undang-undang tersebut, badan Perlindungan Perbatasan dan Bea Cukai AS akan memperlakukan barang apa pun yang dibuat di Xinjiang, baik seluruhnya atau sebagian, sebagai produk kerja paksa, kecuali jika importir bisa menunjukkan “bukti yang jelas dan meyakinkan” bahwa barang itu bukan produk kerja paksa.
Advertisement
Undang-undang itu disahkan dengan dukungan bipartisan yang kuat, seiring bergabungnya para anggota Kongres AS dari kedua partai untuk mengutuk perlakuan China terhadap minoritas Muslim Uighur, demikian seperti dikutip dari VOA Indonesia, Sabtu (4/6/2022).
Amerika, Kanada, Inggris, Belanda dan berbagai kelompok hak asasi manusia menuduh China melakukan genosida terhadap warga Uighur, dengan rezim yang mencakup aksi pemenjaraan massal dan kerja paksa, pendirian kamp “pendidikan ulang” besar-besaran, sterilisasi paksa, pengawasan secara menyeluruh terhadap warga Uighur, serta pemisahan anak-anak dari keluarga mereka.
China sendiri telah membantah berbagai tuduhan yang dialamatkan kepadanya dengan tegas. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian pada Kamis (2/6) mengulangi bantahan tersebut sambil mengutuk pengumuman AS bahwa UFLPA akan segera berlaku.
“Kami telah berulang kali menegur kebohongan-kebohongan AS terkait Xinjiang,” ungkapnya dalam konferensi pers. “Apa yang disebut sebagai Undang-undang Pencegahan Kerja Paksa Uighur yang mengabaikan fakta itu, dengan jahat menodai kondisi HAM di Xinjiang, China, sangat mencampuri urusan dalam negeri China, sangat melanggar hukum internasional dan norma-norma dasar yang mengatur hubungan internasional, serta melanggar aturan pasar dan etika dagang.”
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Konsekuensi Mengerikan
Zhao memperingatkan konsekuensi mengerikan yang akan dikenakan menyusul diberlakukannya undang-undang tersebut.
“Apabila diberlakukan, undang-undang itu akan secara serius mengganggu kerja sama normal antara para pengusaha China dan Amerika, merusak stabilitas rantai pasokan global, dan pada akhirnya merugikan kepentingan AS sendiri,” katanya.
“Kami mendesak AS untuk menahan diri agar tidak memberlakukan undang-undang itu, berhenti menggunakan isu terkait Xinjiang untuk mencampuri urusan dalam negeri China dan menahan perkembangan China. Apabila AS tetap bertekad melakukannya, maka China akan mengambil tindakan tegas untuk membela kepentingan dan martabatnya sendiri dengan tegas.”
Belum jelas seperti apa tanggapan China nantinya, namun sudah tentu akan muncul reaksi, kata Marcus Noland, wakil presiden eksekutif dan direktur studi di Peterson Institute for International Economics.
Sebelumnya, kata Noland, China pernah menggunakan sanksi “anti-dumping” untuk membalas apa yang dianggapnya sebagai penghinaan politik. Misalnya, negara itu memberlakukan sanksi terhadap jelai, daging sapi dan anggur Australia setelah negeri Kangguru menyerukan penyelidikan atas asal-muasal COVID-19 di wilayah China daratan.
Beijing juga membatasi impor salmon Norwegia setelah Komite Nobel memberikan Hadiah Nobel Perdamaian kepada tokoh pembangkang China, Liu Xiao Bao.
Advertisement
Dugaan Pelanggaran HAM di Uighur, Ini Tanggapan Jerman
Jerman prihatin dengan situasi hak asasi manusia di wilayah Xinjiang China, juru bicara pemerintah mengatakan pada Rabu (25/5), mendesak China untuk transparan tentang perkembangan di provinsi tersebut.
Negara-negara Barat dan kelompok hak asasi menuduh pihak berwenang Xinjiang menahan dan menyiksa orang Uighur dan minoritas lainnya di kamp-kamp.
Beijing membantah tuduhan itu dan menggambarkan kamp-kamp itu sebagai fasilitas pelatihan kejuruan untuk memerangi ekstremisme agama, demikian dikutip dari laman Channel News Asia, Kamis (26/5/2022).
Kebijakan China Berlin "sedang dikembangkan," kata juru bicara itu dalam konferensi pers reguler pemerintah.
"Sejauh menyangkut situasi di Xinjiang, saya dapat mengatakan pada prinsipnya bahwa pemerintah federal - dan di sini kami setuju dengan mitra UE kami - terus melihat perkembangan situasi hak asasi manusia di provinsi itu dengan sangat prihatin," juru bicara itu menambahkan, mendesak Beijing untuk memastikan transparansi tentang perkembangan di provinsi tersebut.
Setelah laporan media baru tentang pelanggaran hak asasi manusia di Daerah Otonomi Uighur Xinjiang, menteri ekonomi Jerman mengatakan pada Selasa lalu bahwa Berlin mengubah cara menangani China dan akan memberikan prioritas yang lebih tinggi pada masalah hak asasi manusia.
Kementerian luar negeri China menanggapi pada Rabu (25/5), mengatakan bahwa Beijing dengan tegas menentang upaya menggunakan disinformasi dan kebohongan untuk menodai China.
BBC, Der Spiegel dan platform media lainnya pada hari Selasa mengatakan, mereka memiliki cache data yang sangat besar yang mengungkapkan secara rinci belum pernah terjadi sebelumnya penggunaan China dari apa yang disebut kamp "pendidikan ulang" dan penjara formal sebagai dua sistem massa yang terpisah tetapi terkait.
Juru bicara pemerintah Jerman mengatakan, Berlin akan "mengevaluasi lebih detail" laporan tersebut.
Diplomat China Marah Usai Jepang Bela Muslim Uighur
Media pemerintah China melancarkan kecaman terhadap DPR Jepang karena merilis resolusi yang membela HAM di wilayah China, termasuk bagi kelompok Uighur.
Dilaporkan Xinhua, Rabu (2/2/2022), juru bicara Kementerian Luar Negeri, Zhao Lijian, menyebut resolusi dari Jepang sebagai hal yang "luar biasa busuk" dan "mengabaikan fakta."
Zhao Lijian, yang dikenal sebagai diplomat "pendekar serigala" akibat retorikanya yang blak-blakan, juga berkata Jepang telah ikut campur ke urusan internal China.
Selain mendukung HAM untuk kelompok Uighur, resolusi dari Jepang juga menyorot Tibet, Mongolia Dalam dan Hong Kong. Isu-isu tersebut merupakan hal yang sensitif bagi pemerintahan China.
Zhao menolak adanya komentar tak bertanggungjawab oleh pihak luar terkait kedaulatan dan integritas wilayah China.
"Ini adalah provokasi politik yang kuat terhadap rakyat China," kata Zhao.
Jepang juga dituding punya pelanggaran HAM masa lalu ketika perang, sehingga disebut tidak pantas membahas masalah di China.
Advertisement