Liputan6.com, Bandung - Sebanyak 20 cekungan air tanah di Indonesia berstatus rawan hingga rusak berdasarkan penelitian dari Pusat Air Tanah dan Geologi Tata Lingkungan (PAGTL) Badan Geologi Kementerian ESDM.
Cekungan air tanah yang kondisinya rawan dan rusak ini, termasuk dari 421 cekungan air tanah yang terakhir didata oleh otoritas tersebut.
Advertisement
Menurut Kepala Sub Koordinator Air Tanah (PAGTL) Badan Geologi Kementerian ESDM Budi Joko Purnomo, sebagian besar kondisi cekungan air tanah berstatus rawan hingga rusak ini berada di perkotaaan yang banyak terdapat proyek pembangunan.
"Setahu saya dari 421 cekungan air tanah itu yang istilahnya perlu mendapatkan perhatian atau kondisinya sudah ada yang dikatakan rawan, kritis, atau rusak itu sekitar 15 - 20 cekungan air tanah. Ya memang di kota-kota besar seperti Bandung, Jakarta kemudian Semarang, kemudian itu Serang, Tangerang ada. Metro, Kota Bumi di Lampung, Palangkaraya, Banjarmasin di Kalimantan serta Ngawi, Ponorogo," ujar Budi ditulis Bandung, Senin, 6 Juni 2022.
Budi mengatakan untuk wilayah Ngawi dan Ponorogo pemicu kerusakan cekungan air tanah ini terjadi karena penggunaan untuk kawasan irigasi.
Budi menjelaskan khusus di Jawa Barat, lokasi cekungan air tanah yang kini kondisinya kritis atau rusak antara lain cekungan air tanah Bandung-Soreang, Bogor, dan Purwakarta-Bekasi.
Namun, ucap Budi, kondisi cekungan air tanah selebihnya masih dalam keadaan baik. Terutama untuk daerah di luar Pulau Jawa yang masih banyak hutannya.
"Kalau di daerah hulu rata-rata hutannya masih ada, kalau di daerah Jawa hutannya sudah habis. Seperti contoh di Kabupaten Bandung Barat, memang sudah ada regulasinya ada rasio terbangun 30 persen tapi praktiknya seperti apa ? Tidak tahu persis," kata Budi.
Terpenting, sebut Budi, apa pun kegiatannya pasokan air tanah yang masuk di kawasan hutan atau gunung (hulu) tersebut berkurang. Sementara, di daerah lembahnya atau pengambilan air tanah diambil secara serampangan.
Simak video terkait berikut ini:
Butuh Puluhan Tahun Agar Pulih
Masyarakat umum pun diimbau agar berhemat saat menggunakan air. Setiap halaman rumah diminta agar tetap menyediakan area tanah sebagai resapan air.
"Sementara untuk kalangan industri, ikut berpartisipasi dalam menjaga konservasi air tanah. Misalnya dengan membuat sumur resapan atau sumur imbuhan untuk mengimbangi sekian meter per detik yang mereka ambil, ada juga mereka imbuhkan kembali ke dalam air tanah," jelas Budi.
Alasannya, ungkap Budi, proses ketersediaan air tanah ini cukup lama meski kerap turun hujan. Dibutuhkan waktu puluhan agar ketersediaan air tanah kembali ke posisi ideal.
Budi menerangkan air hujan yang jatuh ke tanah, diserap ke wilayah hulu atau dataran selama satu hingga dua tahunan. Untuk itu kapasitas wilayah resapan di daerah imbuhan harus terjaga.
"Jadi air hujan itu tidak banyak diserap malah jadi air limpasan yang sering menjadi banjir dan tanah longsor. Dan itu sebanyak mungkin harus diresapkan ke air, sehingga mengimbuh air tanah. Itu prosesnya lama, terutama tanah dalam," ucap Budi.
Budi melanjutkan, beda halnya dengan air yang diserap oleh tanah dangkal. Hal itu dapat berproses secara langsung, terutama di daerah vulkanik atau gunung api atau volume air di sumur gali masyarakat naik.
Namun, untuk resapan air di tanah bagian dalam yang diambil oleh industri atau irigasi pertanian, Budi menambahkan butuh waktu yang lama untuk mengimbuhnya.
Cekungan air tanah (CAT) ini merupakan daerah resapan air yang acapkali dialihfungsikan. Sehingga cadangan air tanah yang ada di beberapa daerah di Indonesia mulai berkurang.
Kurangnya persediaan air tanah ini karena tidak terserap dengan baik karena kondisi tanah yang sudah berubah.
Advertisement