Kisah-Kisah Pangeran Diponegoro di Titik Nadir

Peristiwa ini dimulai saat Belanda berhasil merampas sebagian arsip pemerintahan Pangeran Diponegoro.

oleh Tifani diperbarui 07 Jun 2022, 04:00 WIB
Foto ilustrasi dan lukisan tentang Pangeran Diponegoro (Foto koleksi Peter Carey)

Liputan6.com, Yogyakarta - Perjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajah tak selalu berjalan mulus. Ada kalanya perjuangan Pangeran Diponegoro cukup menyulitkannya.

Hal tersebut pernah terjadi ketika rakyat malah berbalik melawan Pangeran Diponegoro yang tengah melakukan perang gerilya pada saat itu. Dikutip dari berbagai sumber, peristiwa ini dimulai saat Belanda berhasil merampas sebagian arsip pemerintahan Pangeran Diponegoro.

Saat itu Pangeran Ngabehi, salah satu paman Pangeran Diponegoro mengirim surat untuk salah satu panglima perang. Dalam surat tersebut, Ngabehi mengabarkan bahwa ada salah satu pemungut pajak yang dihukum cambuk lantaran mengambil pajak melebihi ketentuan.

Pada saat yang sama suplai makanan untuk rakyat semakin menipis. Pejabat-pejabat lokal yang semua mendukung Pangeran Diponegoro menjadi berbalik.

Para pejabat tersebut juga banyak yang mengungsi ke wilayah yang berada di bawah kendali Belanda, sebab dirasa lebih terjamin. Rakyat pun juga banyak yang berbalik melawan pejabat Pangeran Diponegoro yang dirasa culas dan serakah.

Para komandan perang Belanda juga semakin memperkeruh suasana dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan baru. Mereka berhasil merebut hati penduduk setempat dengan menjanjikan pemberian bajak geratis, hewan penghela, dan benih geratis jika mereka mau pindah ke wilayah Belanda. Termasuk kebijakan Belanda adalah menurunkan pajak, mengurangi kewajiban kerja bakti dan menaikkan upah buruh harian di sekitar benteng. Tujuannya, agar para petani dan keluarga mereka tetap betah tinggal di dekat benteng.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:


Rusak Ikatan Kepercayaan

Akhirnya pada September tahun 1829, perlawanan terorganisasi terhadap Belanda di daerah-daerah yang subur pangan di Jawa bagian selatan berakhir. Ikatan rasa saling percaya dan kerja sama antara pasukan Diponegoro dan penduduk desa setempat sudah rusak.

Pangeran Diponegoro tentu tidak mungki terus menjalankan perang gerilya tanpa dukungan rakyat. Para panglima perang Pangean Diponegoro pun juga banyak yang tewas mapun menyerahkan diri.

Pangeran Diponegoro sudah berada di titik nadir pada 21 September tahun 1829. Kemudian Pangeran Ngabehi, panglima senior yang tersisa, bersama dua putranya, terbunuh dalam pertempuran sengit di Pegunungan Kelir di perbatasan Bagelen-ataram.

Tak berselang lama, pada 11 November 1829 Pangeran Diponegoro nyaris tertangkap di Pegunungan Gowong oleh pasukan gerak cepat ke-11 yang dikomandoi Mayor A.V. Michiels. Pangeran Diponegoro akhirnya memutuskan masuk ke hutan-hutan di sebelah barat Bagelen dengan hanya ditemani dua punakawan atau pengiring terdekat, yakni Bantengwareng dan Roto, yang melayani segala kebutuhan Pangeran Diponegoro dan bertindak sebagai penunjuk jalan dan penasihatnya.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya