Berat Badan Bayi Tidak Bertambah, Waspada Anemia

Data Riskesdas 2018 menunjukkan 38,5 persen anak usia di bawah 5 tahun mengalami anemia.

oleh Dyah Puspita Wisnuwardani diperbarui 09 Jun 2022, 09:53 WIB
Ilustrasi bayi bersama sang ibu/copyright shutterstock.com/KieferPix

Liputan6.com, Jakarta - Anemia bisa dialami individu usia berapa pun. Bahkan, bayi juga dapat mengalami kondisi tersebut.

Anemia atau kondisi kurang darah tidak bisa dianggap sepele. Pasalnya, darah memiliki fungsi penting bagi kesehatan tubuh. Dijelaskan nutritionist Dr Rita Ramayulis, DCN, M.Kes, darah berfungsi membawa oksigen serta nutrisi yang diperlukan ke seluruh tubuh, termasuk ke otak.

"Darah dalam tubuh kita punya peran vital. Dialah yang bawa oksigen ke otak, ke otot, ke sel-sel kita. Dia juga yang bawa zat gizi," terang Rita, dikutip dari Vodcast BKKBN Waktu Indonesia Berencana, Kamis (9/6/2022).

"Bisa kebayang enggak sih, kalau seseorang itu kurang darah, berarti oksigen dan zat gizinya enggak sampai tuh ke otak, ke sel-sel. Terus gimana yang terjadi? Pasti akan banyak gangguan," tambahnya.

Data Riskesdas 2018 menunjukkan sebanyak 38,5 persen anak usia di bawah 5 tahun mengalami anemia. Rita mengatakan, data tersebut menggambarkan kondisi nasional, namun jika dilihat per wilayah atau kabupaten, bisa saja angkanya mencapai dua kali lipat dari data nasional.

Guna mendeteksi kondisi anemia diperlukan pemeriksaan kadar hemoglobin.

"Jadi kadar hemoglobin itu mengindikasikan apakah seseorang anemia gizi besi atau tidak," ujar Rita.

 


Tanda-Tanda Anemia pada Bayi

Ada beberapa kondisi yang bisa dicermati orangtua yang bisa menjadi tanda bayi atau balita mengalami anemia. 

Pertama, kata Rita, mengalami keterlambatan pertumbuhan yakni kenaikan berat badan bayi tidak sesuai dengan seharusnya. 

"Kalau bayi anemia pasti telat tumbuhnya," ujar Rita. 

"Jadi tuh kenaikan berat badannya jadi enggak sesuai dengan yang seharusnya. Kan yang namanya bayi setiap bulan bertambah berat badan. Kalau bayinya anemia pasti enggak tambah berat badannya," jelasnya.

Jika tidak segera ditangani, kondisi telat tumbuh itu lama-lama bisa menjadi gagal tumbuh. Kondisi tersebut juga dijelaskan Rita sebagai cikal-bakal stunting. 

Tanda-tanda lain bayi mengalami anemia yakni terlihat lebih pucat, rewel, cengeng, lemas dan terlihat seperti tidak bertenaga. Bayi yang mengalami anemia cenderung tidak merespons stimulasi yang diberikan. 

Anemia pada bayi disebabkan oleh rendahnya asupan zat besi, protein dan asam folat. Ketiganya merupakan zat utama pembentuk hemoglobin. Karenanya para ibu perlu memerhatikan asupan gizi buah hati. Bagi bayi yang masih dalam fase ASI eksklusif, ibu perlu mencermati kandungan zat besi dalam ASI serta frekuensi bayi menyusu. 

Penyebab lain bayi dapat mengalami anemia adalah karena infeksi. Infeksi pada ISPA atau saluran cerna dapat menyebabkan kadar hemoglobin bayi menurun. 

"Karena infeksi akan memakan zat besi lebih banyak, akan memakai asam folat lebih banyak, sehingga zat itu menjadi berkurang untuk membangun hemoglobin," Rita menjelaskan. 

 

 


Prevalensi Perempuan dengan Anemia di Indonesia

Di Indonesia, perempuan dengan anemia mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mencatat bahwa pada 2013 jumlahnya sebesar 37,1 persen, merangkak naik jadi 48,9 persen pada 2018.

Dengan proporsi anemia ada di kelompok umur 15 sampai 24 tahun dan 25 sampai 34 tahun.

Melihat kondisi anemia yang masih merajalela di Indonesia, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo mengingatkan kembali para calon pengantin muda untuk tidak sibuk dengan pre-wedding tapi melupakan pentingnya memerhatikan pre-konsepsi.

Lebih lanjut pria yang juga dokter spesialis kebidanan dan kandungan konsultan menjelaskan bahwa angka kekurangan energi kronis (KEK) pada wanita usia subur (WUS) mengalami penurunan.

 


Pentingnya Pemeriksaan Kesehatan bagi Pasangan Usia Subur

Berdasarkan Riskesdas 2018 sebesar 17,3 persen untuk WUS KEK hamil dan 14,5 persen WUS KEK tidak hamil.

Sedangkan pada 2013 jumlahnya sebesar 24,2 persen WUS KEK hamil dan 20,8 persen WUS KEK tidak hamil.

"Padahal kesehatan remaja sangat menentukan keberhasilan pembangunan kesehatan terutama dalam upaya mencetak kualitas generasi penerus bangsa di masa depan. Namun, adanya anggapan yang salah pada remaja mengenai ukuran kecantikan yang diidentikan dengan langsing atau badan kurus menjadi tantangan besar dalam upaya pencegahan stunting," kata Hasto pada akhir 2021 lalu.

Deputi Bidang Keluarga Sejahtera-Pemberdayaan Keluarga (KSPK) BKKBN, Nopian Andusti SE MT menambahkan bahwa setiap calon pengantin atau calon PUS (pasangan usia subur) harus memeroleh pemeriksaan kesehatan dan pendampingan selama tiga bulan pra-nikah serta mendapatkan bimbingan perkawinan dengan materi pencegahan stunting.

"Harapannya faktor risiko yang dapat melahirkan bayi stunting pada calon pengantin atau calon PUS dapat teridentifikasi dan dihilangkan sebelum menikah dan hamil," katanya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya